Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mie Gomak Itu Bukan Spageti Batak

8 Mei 2024   08:35 Diperbarui: 9 Mei 2024   16:21 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangkok mie gomak sedang disiapkan pewarung di Onan Balige, Toba (Foto: Tangkapan layar TikTok @Darve Family, "Mie Gomak Ma' Renny")

"Mie gomak adalah mie Batak. Titik!"

Jangan merendahkan jenama unik "mie gomak" Batak, dengan cara meminjam jenama "spageti" (spaghetti) Italia yang telah mendunia itu.

Menyebut "mie gomak" sebagai "spageti Batak" sama dengan merendahkan nilai kuliner khas budaya Batak itu. Atau hal itu mencerminkan inferioritas budaya Batak terhadap budaya Barat, khususnya Italia dalam kasus tersebut.

Tak terbatas pada soal kasus mie gomak tapi juga merambah ke sejumlah relung ekologi budaya Kaldera Toba. Semisal kota Parapat disebut "Monako Sumatra", lembah dan pantai Meat Balige disebut "New Zealand Toba", dan alam Tao Sidihoni disebut "Swiss Samosir".

Silahkan tempelkan semua jenama wisata kelas dunia pada semua obyek atau destinasi wisata di Kaldera Toba, kupastikan itu tak akan pernah membuat Kaldera Toba menjadi destinasi wisata kelas dunia.

Begitupun dengan mie gomak. Selamanya dia akan terpuruk di bawah spageti Italia, tak pernah bisa naik mendunia, selama jenama pasta bule itu dilekat-lekatkan padanya. Orang bule sendiri mungkin tertawa geli, sebab rasa mie gomak itu gak ada spageti-spagetinya.

Jika mie gomak Batak harus mendunia, suatu saat, biarlah dia mendunia dengan jenama "mie gomak". Lalu dunia akan tahu, bahwa bila seseorang ingin menikmatinya, maka dia harus pergi ke Kaldera Toba. 

Di sana, di pasar-pasar atau kota-kota kecil di Pulau Samosir atau di garis-luar pantai Danau Toba, di ajang ekologi manusia aslinya, dia boleh menikmati kelezatan mie gomak yang tiada duanya.

Sambil menyesap kenikmatan mie gomak itu, sekalian dia boleh mendengar kisah kuliner asli Batak itu dari penjualnya yang tak pelit bercerita.

Semangkok mie gomak sedang disiapkan pewarung di Onan Balige, Toba (Foto: Tangkapan layar TikTok @Darve Family,
Semangkok mie gomak sedang disiapkan pewarung di Onan Balige, Toba (Foto: Tangkapan layar TikTok @Darve Family, "Mie Gomak Ma' Renny")

Makanan Antara

Inti budaya Batak adalah padi sawah. Karena itu konsep "makan" dalam masyarakat itu tak bisa lain kecuali menunjuk pada pangan "nasi". Orang Batak belum merasa makan jika belum makan nasi. 

Mie gomak, dengan demikian, bukan substitusi nasi bagi orang Batak. Sekalipun bahan baku mienya terbikin dari terigu.

Orang Batak di lingkar Kaldera Toba lazimnya makan mie gomak sebagai makanan antara. Entah itu antara sarapan dan makan siang (brunch) atau antara makan siang dan makan malam (makan sore).

Pengalamanku tahun 1960-an sampai 1970-an di Toba bisa memberi gambaran. Tahun 1960-an tiap hari Sabtu pagi kaum ibu di kampungku, Panatapan (pseudonim) pergi ke Onan Tigaraja, Parapat. Tujuannya menjual hasil bumi, lalu uangnya untuk membeli kebutuhan hidup seminggu dan lain sebagainya.

Menjelang tengah hari setelah urusan jual-beli rampung, lazim ibu-ibu itu mampir ke penjaja mie gomak di pasar. Lalu makan rame-rame di situ. Aku pernah ikutan beberapa kali.

Aslinya, sebelum muncul kedai-kedai mie gomak, mie khas Batak itu memang dijajakan di onan, pasar mingguan. Kalau mau makan mie gomak, ya, harus pergi ke onan.

Pada paruh kedua 1970-an mie gomak tak lagi hanya dijual di onan. Kedai-kedai makan dan kantin-kantin juga telah menyajikan mie gomak.

Waktu itu aku bersekolah di SMAN Narumonda, Porsea. Kantin sekolah itu menyajikan mie gomak kuah juga. Lazim juga disebut mitiao -- mungkin pelafalan mie tiaw ala Batak. 

Saat istirahat pukul 10.00 WIB kami, para murid, biasa jajan mie gomak di kantin itu. Kadang-kadang kami makan mie gomak dengan "lauk" pisang goreng.

Jangan heran. Orang Batak memang tak makan mie gomak dengan taburan kerupuk di atasnya. Tapi makan dengan pelengkap gorengan. Entah itu pisang goreng, singking goreng, atau lainnya.

Bumbu andaliman, bumbu pembeda sekaligus penciri pada kuliner mie gomak Batak (Foto: calderatobageopark.org)
Bumbu andaliman, bumbu pembeda sekaligus penciri pada kuliner mie gomak Batak (Foto: calderatobageopark.org)

Kritik Batak pada Bakmi Cina

Seperti etnis lainnya di nusantara, orang Batak juga mengenal makanan mie dari orabg Cina. Pertama dari Cina Medan, lalu Cina Siantar, dan akhirnya dari Cina yang datang ke Tanah Batak dan membuka kedai bakmi di situ.

Bakmi Cina itu enak tapu ada sesuatu yang kurang di lidah orang Batak. Apa lagi kalau bukan rasa getir-getir sedap andaliman yang ditingkahi gurih-gurih manis santan kelapa.

Kecuali nasi putih, sayur, lauk-pauk, dan makanan berkuah lainnya bukanlah kuliner Batak jika tanpa bumbu andaliman dan, untuk sebagian besar, santan kelapa. Lidah Batak akan protes bila tak terasa getir-getir hangat andaliman. 

Maka sebagai kritik pada rasa bakmi Cina -- yang diakui juga sedapnya -- itu orang Batak kemudian menciptakan masakan mie sendiri. Bahan utamanya mie lidi terigu yang besar, lentur, tapi lembut. Bumbu andaliman ditambahkan, juga santan pada kuahnya. Itulah inovasi kuliner mie Batak yang kemudian sohor dengan jenama "mie gomak".

Andaliman itulah terutama yang menjadi pembeda mie gomak dibanding mie-mie lainnya. Katakanlah mie Cina, mie Aceh, dan mie Jawa. Bumbu lainnya standar: cabai merah, bawang merah, bawang putih, laos, jahe, sereh, dan garam.

Tentu ada variasi dalam racikan bumbu. Itu menjadi faktor pembeda rasa juga dari satu ke lain warung mie gomak di Kaldera Toba sana. Kadang diklaim sebagai resep warisan nenek.

Misalnya di Aek Rangat, Pangururan ada mie gomak Kedai Sigalingging yang menambahkan bumbu kelapa sangrai. Itu memberi sensasi renyah-gurih di lidah dan wangi kelapa di hidung. Memang sedap kalilah itu.

Mie gomak disaji dengan cara digomak (Foto: Tangkapan layar TikTok @Darve Family,
Mie gomak disaji dengan cara digomak (Foto: Tangkapan layar TikTok @Darve Family, "Mie Gomak Ma' Renny") 

Aku Digomak maka Aku Enak

Bukan mie gomak namanya kalau tak digomak saat penyajiannya. Ya, namanya juga mie gomak.

Digomak (kata dasar gomak, Batak) artinya diraup dengan menggunakan kelima jari dan telapak tangan. Sanggomak, satu gomak berarti segenggam penuh menggunakan lima jemari dan telapak tangan. Itu takaran terbesar, lebih kecil dari itu sampohul (sekepal) dan paling kecil sanjomput (sejumput).

Caranya begini. Penjual manggomak mie yang sudah direbus -- ada yang polos ada juga yang berbumbu -- dan memasukkannya ke dalam mangkok. Lalu diguyur dengan kuah panas berbumbu andaliman dan kawan-kawannya. Sajikan pada pelanggan.

Itu kalau mie gomak kuah.

Kalau mie gomak goreng, ya, tumis dulu bumbu andaliman dan teman-temannya. Setelah wangi, cemplungkan sanggomak mie yang sudah direbus. Bolak-balik sampai bumbu tercampur. Lalu angkat, sajikan di atas piring.

Cara gomak dalam penyajian mie Batak itu menjamin dua hal.

Pertama, menjamin porsi semangkok mie gomak sesuai dengan harapan pelanggan. Sebab takaran sanggomak itu sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat Batak. Beda-beda sikit sesuai variasi ukuran telapak dan jemari tangan tak apalah.

Kedua, menjamin rasa enak, nikmat, yang timbul sebagai dampak psikis penyajian makanan langsung dengan tangan. Ada rasa kedekatan, keakraban, penjual manggomak mie dari panci besar, menaruhnya dalam mangkok, mengguyurkan kuahnya, lalu menyajikannya ke hadapan pelanggan. 

Itu rasanya seperti kamu disaji makanan langsung dari tangan ibu atau nenek yang mengasihimu. Kuncinya di situ "menyajikan dengan kasih", khas orang Batak tentu saja, maka langsung enak.

Tentu kemudian hari orang Batak kota -- yang merasa modern -- mulai menggugat higienitas cara saji gomak itu. Baiklah, kini ada sarug tangan plastik. Lalu penjaja mie gomak kini manggomak pakai sarung tangan plastik. Mau protes apa lagi?

Filosofi eksistensi mie gomak itu bagaimanapun, kalau merujuk Rene Descartes, adalah "aku digomak maka aku enak". 

Jadi kalau kamu pergi melancong ke Kaldera Toba, lalu memesan semangkok mie gomak di kedai, kamu sepantasnya meragukan rasa enaknya jika tak disajikan dengan cara manggomak.

Sekali lagi ingatlah filosofi eksistensi mie gomak, kuliner mie asli Batak: "Aku digomak maka aku enak." (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun