Itu kalau mie gomak kuah.
Kalau mie gomak goreng, ya, tumis dulu bumbu andaliman dan teman-temannya. Setelah wangi, cemplungkan sanggomak mie yang sudah direbus. Bolak-balik sampai bumbu tercampur. Lalu angkat, sajikan di atas piring.
Cara gomak dalam penyajian mie Batak itu menjamin dua hal.
Pertama, menjamin porsi semangkok mie gomak sesuai dengan harapan pelanggan. Sebab takaran sanggomak itu sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat Batak. Beda-beda sikit sesuai variasi ukuran telapak dan jemari tangan tak apalah.
Kedua, menjamin rasa enak, nikmat, yang timbul sebagai dampak psikis penyajian makanan langsung dengan tangan. Ada rasa kedekatan, keakraban, penjual manggomak mie dari panci besar, menaruhnya dalam mangkok, mengguyurkan kuahnya, lalu menyajikannya ke hadapan pelanggan.Â
Itu rasanya seperti kamu disaji makanan langsung dari tangan ibu atau nenek yang mengasihimu. Kuncinya di situ "menyajikan dengan kasih", khas orang Batak tentu saja, maka langsung enak.
Tentu kemudian hari orang Batak kota -- yang merasa modern -- mulai menggugat higienitas cara saji gomak itu. Baiklah, kini ada sarug tangan plastik. Lalu penjaja mie gomak kini manggomak pakai sarung tangan plastik. Mau protes apa lagi?
Filosofi eksistensi mie gomak itu bagaimanapun, kalau merujuk Rene Descartes, adalah "aku digomak maka aku enak".Â
Jadi kalau kamu pergi melancong ke Kaldera Toba, lalu memesan semangkok mie gomak di kedai, kamu sepantasnya meragukan rasa enaknya jika tak disajikan dengan cara manggomak.
Sekali lagi ingatlah filosofi eksistensi mie gomak, kuliner mie asli Batak: "Aku digomak maka aku enak." (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H