Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Menjajal Kuliner Arus Bawah di Kota Solo

3 Mei 2024   05:16 Diperbarui: 3 Mei 2024   17:54 5535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung tahu kupat "Sido Mampir" di Jalan Ahmad Yani, Jebres, Solo (Dokpri)

Inilah masalah sosio-psikisku setiap kali berkunjung ke satu kota. Sulit menahan diri untuk tak mencicipi kuliner setempat yang menerbitkan liur.

Rasanya serupa anak batita yang baru saja bisa menjejak, belajar berjalan. Abai terhadap risiko tersandung, terantuk, terjerembab, dan terpelanting.

Begitupun aku, abai atas risiko berbagai jenis kuliner terhadap kesehatan seorang lelaki lansia. Bahwa makanan berlemak tinggi bisa mengurangi usia, atau sekurangnya menguras tabungan untuk membayar layanan rumah sakit.

Pokoknya, soal makanan aku susah diingatkan, bahkan oleh orang terkasih. Bukannya tak mau mendengar. Cuma ingin bebal saja.

Seperti pada hari Rabu  lalu (2/5/2024) di Solo, kota para raja, presiden, dan wakil presiden. Alir liurku harus dipuaskan di pinggir jalan.

Warung tenda Timlo Bu Suratinah di pojok perempatan Jalan Sutan Sjahrir (Widuran) dan Jalan Kusumoyudan, Solo (Dokpri)
Warung tenda Timlo Bu Suratinah di pojok perempatan Jalan Sutan Sjahrir (Widuran) dan Jalan Kusumoyudan, Solo (Dokpri)

Kuliner "Arus Bawah"

Sejatinya aku ingin membayar rindu yang masih terutang pada soto Triwindu. Tapi Rabu lalu dia libur. Jadi utang rindu tak terlunasi.

Tapi kemudian terpikir betapa gak asyiknya menikmati kuliner "arus utama" (mainstream). Semacam soto Gading, nasi liwet Wongso Lemu, timlo Sastro, sate kambing Bu Hj Bejo, bakmi Pak Dul dan lainnya yang sudah menjadi penciri Solo. 

Pikirku apalah nilai kejutnya bila makan di situ. Paling juga cuma bisa berbagi cerita sudah menikmati kuliner yang enak tapi mahal -- ana rasane ana regane. Atau sedikit bisa menyombong pernah makan soto dan sate kesukaan presiden. Syukur-syukur duduk di kursi yang pernah diduduki presiden.

Kurang lebih itu semacam kehebohan teman-temanku sepulang liburan dari pantai-pantai utama Jawa-Bali. Ada dari Anyer, Pangandaran, Parangtritis,  Kuta, dan Seminyak. Ketika kuberitahu aku dan keluarga baru pulang dari pantai Pameungpeuk, semua terdiam, heran, tak tahu di mana itu. Senang rasanya merasa menang. 

Tempat wisata tak terkenal semacam Pameungpeuk itu kupahami sebagai "arus bawah", kata lain untuk anti-arus utama. Sesuatu yang tersingkirkan dari incaran para pelancong.

Hal serupa berlaku pula untuk wisata kuliner. Warung kuliner pinggiran yang tak begitu dikenal kusebut sebagai kuliner "arus bawah".  Relung kuliner yang luput dari lidah wisatawan pemburu "wah dan wow".

Begitulah selumbari pagi, sepulang ziarah kubur dari TPU Untoroloyo, Mojosongo kami -- berlima sekeluarga -- mampir di warung tahu kupat "Sido Mampir" di pojokan pangkal Jalan Ahmad Yani, Jebres, Solo. 

Tempat itu baru untukku. Biasanya kalau mau menikmati tahu kupat aku akan pergi ke Jalan Gajahmada. Di situ berderet warung tahu kupat Solo, mulai dari yang rasanya biasa sampai luar biasa.

Tapi tahu kupat Sido Mampir di pinggiran Solo itu tak kurang lezatnya di lidahku. Isinya standar: potongan kupat, mie  telor, irisan kol, toge, potongan bakwan sayur, taburan kacang goreng,  dan tahu. Hanya saja tahunya agak beda, mirip tahu pong, kulitnya garing dalamnya putih lembut.

Kuahnya terbikin dari rebusan bumbu kecap, gula jawa, gula tebu, bawang putih, garam dan irisan daun jeruk. 

Tampilan sepiring tahu kupat
Tampilan sepiring tahu kupat "Sido Mampir" Solo (Dokpri)

Tahu kupat Solo itu adalah permainan tekstur dan rasa yang kaya. Campuran kacang yang garing, tahu yang garing dan lembut, kupat yang sedikit kenyal, bakwan yang garing kenyal, serta kol dan timun yang renyah dalam mulut adalah kenikmatan organoleptik level sembilan. 

Ketika rasa manis-manis gurih segar sedikit pedas dari kuahnya berpadu dengan tekstur bahan yang kaya tadi, maka kenikmatan level sepuluh sudah terperangkap di dalam mulut. Dari situ, lewat kerongkongan, dia turun ke lambung, mendorong ke bawah "udara lapar" ke duodenum.

Itulah suatu proses kenikmatan santap tahu kupat Solo yang kualami di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Kenikmatan yang diberikan kuliner arus bawah, sesuatu yang luput dari lidah para pemburu kuliner arus utama.

Lalu sore hari Rabu itu  aku berjalan kaki cari nyamikan ke Toko Roti Ganep di Jalan Ahmad Yani, dulu dinamai Widuran.  Tujuanku untuk membeli roti kecik dan mancho "Ganep" yang legendaris. Nyamikan yang terbikin dari tepung beras/ketan itu bisa bikin lidah punya pupik perindu.

Pulangnya, setelah menyeberang jalan, tak dinyana pandangan mata terbentur pada warung tenda "Timlo Bu Suratinah" di pojokan perempatan jalan. 

Sebenarnya aku tak ada rencana atau minat menikmati timlo. Bukan kuliner yang sepenuhnya baru untukku. Aku sudah menjajalnya di Salatiga dan Semarang sejak penghujung 1980-an.

Hal yang baru dan membuat liurku mendadak terbit, adalah harga per mangkoknya. Mangkoj besar Rp 6 000, mangkok kecil Rp 4,000. Pikirku macam mana pula rasanya timlo seharga itu?

Maka secara impulsif kuputuskan masuk ke dalam tenda, duduk di bangku panjang, lalu memesan satu mangkok besar.

Semangkok besar timlo itu cepat datangnya. Isinya minimalis.  Ada sekadar suwiran daging ayam, potongan sosis solo, irisan wortel, jamur kuping, keripik kentang, seperempat potong telur rebus, dan nasi. Semua itu tergenang dalam kuah bening. 

Di mana gerangan potongan rempela ati ayam? Oh, tidak ada. Harap diingat, ini timlo arus bawah.

Semangkok besar timlo Bu Suratinah (Dokpri)
Semangkok besar timlo Bu Suratinah (Dokpri)

Sesendok kuah menjadi yang pertama masuk mulut. Kemudian menyusul sesendok nasi, suwiran ayam, dan selembar jamur kuping. Selanjutnya sendokan susul-menyusul masuk mulut, lalu turun ke lambung, sampai tandas.

Kalau kubilang kekayaan tekstur dan rasa timlo Bu Sutinah itu sama seperti timlo Maestro atau Sastro, berarti aku berbohong. Rasa memang tak bisa diperdebatkan, tapi harga tak pernah bohong -- ana rega ana rasa.

Barangkali timlo Bu Sutinah itu bisa dibilang "timlo tipis-tipis".  Maksudku, aku masih tetap merasa sedang memakan timlo yang gurih dan segar saat menyendokinya ke dalam mulut. Tekstur dan rasa timlo tetap terasa walau tipis, ringan.

Tapi itu justru bagus mungkin untuk lansia macam aku. Timlo dengan tekstur dan rasa yang tebal dan kompleks mungkin tak bagus untuk kesehatan lansia. Timlo tipis-tipis itu, mungkin solusi bagi lansia yang masih getol memanjakan lidah. 

Aneka gudangan dan kerupuk pelengkap timlo Bu Suratinah (Dokpri)
Aneka gudangan dan kerupuk pelengkap timlo Bu Suratinah (Dokpri)

Merangkak dari Bawah

Jika ditelisik maka ada tiga pola utama penjenamaan kuliner di Solo dan, saya pikir, juga di kota-kota lain. 

Pertama, mengusung frasa persuasif sebagai nama  usaha, semisal "adem ayem" dan "sido mampir". 

Kedua, mengusung nama tempat sebagai nama usaha, seperti (bebek hitam) Manahan, (soto) Triwindu, dan (soto) Gading.

Ketiga, mengusung nama sendiri sebagai nama usaha, semisal Pak Manto, Bu Bejo, Mbak Lies, dan Yu Tentrem.

Di Solo terdapat belasan usaha kuliner yang telah naik menjadi arus utama dalam konteks wisata kuliner.. Tentu ada kerjasama ragam faktor di situ, antara lain faktor rasa (enak), tradisi (legendaris), layanan (ramah. cepat) dan tempat (strategis, bersih,  nyaman), dan ulasan promotif konsumen dan pemengaruh kuliner.

Pola itu pula rupanya yang  coba ditapaki oleh para pengusaha kuliner arus bawah. Mereka mencoba merangkak dari bawah, mengawali dari keterbatasan.

Begitulah pengusaha soto "Sido Mampir" di Jalan Ahmad Yani menapaki usahanya dari bawah dengan jenama itu. "Sido Mampir" telah menjadi jenama terbuka untuk usaha tahu kupat di Solo. Ada  sejumlah usaha kupat tahu dengan nama "Sido Mampir" di kota itu.

Usaha-usaha yang kini masih berada di arus bawah, berusaha naik ke atas.  Mereka mengikuti jejak usaha sejenis yang sudah menjadi arus utama, semisal  tahu kupat Sido Mampir Jalan Gajah Mada dan Sholihin.

Usaha timlo sahaja Bu Suratinah juga berusaha merangkak ke atas. Harapannya nama Suratinah memiliki tuah, sehingga suatu saat bisa menjadi jenama baru usaha tahu kupat arus utama . 

Sajian Bu Suratinah memang  adalah timlo tipis-tipis. Tapi bisa saja timlo semacam itu, dengan harga tipis juga, suatu ketika meraih kalangan penikmat sendiri.

Pertanyaannya kini, apakah para pengusaha kuliner arus bawah itu akan dibiarkan merangkak sendiri ke atas? Khusus untuk kota Solo, jawaban sangat dinanti dari walikotanya. [eFTe]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun