Merangkak dari Bawah
Jika ditelisik maka ada tiga pola utama penjenamaan kuliner di Solo dan, saya pikir, juga di kota-kota lain.Â
Pertama, mengusung frasa persuasif sebagai nama  usaha, semisal "adem ayem" dan "sido mampir".Â
Kedua, mengusung nama tempat sebagai nama usaha, seperti (bebek hitam) Manahan, (soto) Triwindu, dan (soto) Gading.
Ketiga, mengusung nama sendiri sebagai nama usaha, semisal Pak Manto, Bu Bejo, Mbak Lies, dan Yu Tentrem.
Di Solo terdapat belasan usaha kuliner yang telah naik menjadi arus utama dalam konteks wisata kuliner.. Tentu ada kerjasama ragam faktor di situ, antara lain faktor rasa (enak), tradisi (legendaris), layanan (ramah. cepat) dan tempat (strategis, bersih, Â nyaman), dan ulasan promotif konsumen dan pemengaruh kuliner.
Pola itu pula rupanya yang  coba ditapaki oleh para pengusaha kuliner arus bawah. Mereka mencoba merangkak dari bawah, mengawali dari keterbatasan.
Begitulah pengusaha soto "Sido Mampir" di Jalan Ahmad Yani menapaki usahanya dari bawah dengan jenama itu. "Sido Mampir" telah menjadi jenama terbuka untuk usaha tahu kupat di Solo. Ada  sejumlah usaha kupat tahu dengan nama "Sido Mampir" di kota itu.
Usaha-usaha yang kini masih berada di arus bawah, berusaha naik ke atas.  Mereka mengikuti jejak usaha sejenis yang sudah menjadi arus utama, semisal  tahu kupat Sido Mampir Jalan Gajah Mada dan Sholihin.
Usaha timlo sahaja Bu Suratinah juga berusaha merangkak ke atas. Harapannya nama Suratinah memiliki tuah, sehingga suatu saat bisa menjadi jenama baru usaha tahu kupat arus utama .Â
Sajian Bu Suratinah memang  adalah timlo tipis-tipis. Tapi bisa saja timlo semacam itu, dengan harga tipis juga, suatu ketika meraih kalangan penikmat sendiri.