Pulangnya, setelah menyeberang jalan, tak dinyana pandangan mata terbentur pada warung tenda "Timlo Bu Suratinah" di pojokan perempatan jalan.Â
Sebenarnya aku tak ada rencana atau minat menikmati timlo. Bukan kuliner yang sepenuhnya baru untukku. Aku sudah menjajalnya di Salatiga dan Semarang sejak penghujung 1980-an.
Hal yang baru dan membuat liurku mendadak terbit, adalah harga per mangkoknya. Mangkoj besar Rp 6 000, mangkok kecil Rp 4,000. Pikirku macam mana pula rasanya timlo seharga itu?
Maka secara impulsif kuputuskan masuk ke dalam tenda, duduk di bangku panjang, lalu memesan satu mangkok besar.
Semangkok besar timlo itu cepat datangnya. Isinya minimalis. Â Ada sekadar suwiran daging ayam, potongan sosis solo, irisan wortel, jamur kuping, keripik kentang, seperempat potong telur rebus, dan nasi. Semua itu tergenang dalam kuah bening.Â
Di mana gerangan potongan rempela ati ayam? Oh, tidak ada. Harap diingat, ini timlo arus bawah.
Sesendok kuah menjadi yang pertama masuk mulut. Kemudian menyusul sesendok nasi, suwiran ayam, dan selembar jamur kuping. Selanjutnya sendokan susul-menyusul masuk mulut, lalu turun ke lambung, sampai tandas.
Kalau kubilang kekayaan tekstur dan rasa timlo Bu Sutinah itu sama seperti timlo Maestro atau Sastro, berarti aku berbohong. Rasa memang tak bisa diperdebatkan, tapi harga tak pernah bohong -- ana rega ana rasa.
Barangkali timlo Bu Sutinah itu bisa dibilang "timlo tipis-tipis". Â Maksudku, aku masih tetap merasa sedang memakan timlo yang gurih dan segar saat menyendokinya ke dalam mulut. Tekstur dan rasa timlo tetap terasa walau tipis, ringan.
Tapi itu justru bagus mungkin untuk lansia macam aku. Timlo dengan tekstur dan rasa yang tebal dan kompleks mungkin tak bagus untuk kesehatan lansia. Timlo tipis-tipis itu, mungkin solusi bagi lansia yang masih getol memanjakan lidah.Â