Seandainya Pulau Tulas berada di Kepulauan Seribu, mungkin seorang pengusaha Jakarta telah membeli dan menjadikannya resort pribadi. Tak seorang pun boleh masuk ke pulau itu kecuali pemilik dan tamunya.
Untunglah Pulau Tulas itu bukan di Kepulauan Seribu. Jadi, setidaknya untuk sementara waktu ini, dia masih aman dari raupan serakah para kapitalis.
Pulau kecil yang eksotis itu masih aman di sana, di kepungan biru air Tao Silalahi, sisi utara danau Kaldera Toba. Dari kejauhan, dari atas punuk Bukit Burung di tenggaranya, pulau itu tampak ibarat sebutir permata hijau yang muncul dari dasar danau. Indah sekali.
Barangkali memang tidak semua pulau harus dihuni manusia. Ada saja pulau yang hadirnya hanya untuk memancarkan keindahan saja, demi memanjakan mata manusia.Â
Pulau Tulas rupanya ditakdirkan untuk menjadi seperti itu.
Pulau Milik Marga Siboro
Pulau Tulas itu masuk dalam wilayah Desa Siboro, Sianjurmula-mula Samosir. Karena itu kerap disebut juga Pulau Tulas Siboro.
Tulas sendiri merujuk nama huta, kampung Tulas, di bagian utara Desa Siboro. Kampung ini, seperti kebanyakan kampung di Samosir, masih memelihara tradisi religi asli Batak. Di samping, tentu saja, menganut agama samawi Kristen Protestan dan Katolik.
Di kampung ini masih ada tempat doa kepada leluhur dan Mulajadi Nabolon, Dewata Agung religi Batak. Tempat itu, di tepi pantai Tulas, dikenal sebagai Bona-bona. Di situ ada altar semen (dulu batu) berbentuk segitiga, seperti mata panah menunjuk ke arah Tao Silalahi. Di samping juga altar semen persegi tempat meletakkan cawan-cawan berisi air dan sajen.
Jika terjadi misalnya kemarau panjang, maka para tetua kampung akan melakukan ritual minta hujan di Bona-bona. Di situ mereka menyampaikan sesajen dan berdoa kepada leluhur dan Mulajadi Nabolon. Mohon agar hujan diturunkan di kampung itu.
Pertanyaan menarik kemudian, bagaimana kisahnya sehingga desa dan pulau itu menyandang nama marga Siboro?Â
Diketahui lembah Sagala, yaitu rangkaian lembah-lembah di baratdaya sampai utara Gunung Pusukbuhit tempat desa itu berada, terbilang wilayah milik marga Sagala, belahan Batak Tateabulan. Kok bisa marga Siboro, belahan Batak Sumba (Isumbaon) punya kampung dan pulau di sana?
Ceritanya, sebuah legenda, begini.
Dikisahkan leluhur langsung marga Siboro itu adalah Datu Parulas (marga) Purba Sigulangbatu, kemudian disebut sebagai Siboro I. Nama Parulas disandangnya karena dia dukun sakti yang mampu mengungkap suatu masalah yang tak diketahui orang (ulas, ungkap). Kelak namanya menjadi Datu Parulas Parultop, karena dia juga seorang parultop, penembak burung pakai ultop atau sumpit, yang sangat piawai.
Datu Parulas, Batak generasi ke-12 Belahan Sumba dihitung dari Siraja Batak, semula berdiam di Siboro Gaung-gaung, sebuah kampung rintisannya di Haranggaol sekarang. Kampung awal Siboro ini segaris lurus utara-selatan terpisah Tao Silalahi dengan Pulau Tulas atau Desa Siboro di sisi barat-selatan danau.
Suatu waktu, mestinya karena dituntun kesaktiannya sebagai parulas, Datu Parulas menyeberangi Tao Silalahi ke lembah Sagala, tanah marga Sagala di kaki Gunung Pusukbuhit. Di situ dia berhasil menyelesaikan suatu masalah besar (entah apa), sehingga mendapat penghargaan dari marga Sagala.Â
Dikisahkan Datu Parulas kemudian menikah dengan Asang Pagar boru Sagala Hutabagas, putri Tuan Mula Ni Huta II Sagala. [1] Melalui pernikahan itu maka Datu Parulas menjadi boru (penerima istri) bagi Sagala yang menjadi hula-hula (pemberi istri) baginya.Â
Fakta bahwa Datu Parulas kemudian mendapat tanah untuk perkampungan dari Sagala, hula-hulanya, menjadi penanda bahwa dia terbilang sebagai boru sihabolonan, boru utama. Itulah dasar hukum adat bagi Datu Parulas alias Siboro I untuk mendirikan dan memiliki hak atas tanah Desa Siboro sekarang, termasuk Pulau Tulas.Â
Desa Siboro termasuk Pulau Tulas Siboro kemudian menjadi golat, tanah marga, untuk marga Siboro keturunan Datu Parulas Parultop dari istrinya Asang Pagar boru Sagala Hutabagas. Kelak keturunan Siboro juga migrasi ke sebelah utara, ke sebuah lembah yang kini dikenal sebagai Desa Bonandolok.
Perbukitan Dinding Kaldera
Berbeda dari Gunung Pusukbuhit yang merupakan kubah lava dasitan (lava dome), terbentuk pasca erupsi Kaldera Toba (Sibandang) 74,000 tahun lalu, Bukit Tulas dan Pulau Tulas bukan kubah lava. Perbukitan di Desa Siboro dan Pulau Tulas itu adalah perbukitan pada dinding kaldera di sisi barat Tao Silalahi.Â
Pulau Tulas itu adalah puncak bukit yang lebih rendah, dibanding misalnya puncak Bukit Tulas, Bukit Gu (Bonandolok), atau Bukit Sibea-bea (Turpuk Sihotang, Harian). Karena itu ketika kubah Samosir dan Uluan terangkat ke permukaan 30,000 tahun lalu, dan prmukaan air danau meningkat karena penyempitan ruang, sebagian kaki dan lereng perbukitan di Siboro terendam air, lalu menyisakan satu puncak yang kemudian dinamai Pulau Tulas Siboro.
Struktur batuan di perbukitan Siboro, termasuk Tulas, bukan dibentuk oleh lava dasitan. Perbukitan di sana aslinya adalah perbukitan batu gamping atau kapur (limestone) yang mengalami alterasi (perubahan) hidrotermal akibat kontak dengan aliran lava dasitan dari Gunung Pusukbuhit. [2]
Kontak itu menyebabkan batuan kapur di perbukitan Siboro dan Pulau Tulas mengalami perubahan komposisi mineralogi yang khas. Semisal penampang Pulau Tulas dibuka, maka akan tampak komposisi batuan kapur dan unsur-unsur mineral lava andesit di atasnya.
Komposisi batuan kapur yang khas Siboro itu menjadikan Pulau Tulas wajib dilestarikan sebagai kekayaan geologis Kaldera Toba. Sudah benar pulau itu dibiarkan kosong tanpa penghuni untuk memastikan kelestariannya. Juga sudah benar bahwa batu kapur di pulau itu tidak ditambang oleh otrang-orang serakah.
Hasilnya, Kaldera Toba kini memiliki bagian dinding yang menjadi sebuah pulau kecil yang elok dipandang di tengah kepungan biru air Tao Silalahi. Tao Silalahi ini adalah bagian tao (danau) yang paling luas dan dalam (905 m). Tao ini terbentuk dari dua kali letusan Kaldera Haranggaol Toba, yaitu 1.3 juta dan kemudian 501,000 tahun lalu.Â
Sebuah Pulau untuk Dipandang Saja
Pasti ada pertanyaan, Pulau Tulas Siboro itu sebaiknya didayagunakan untuk apa. Apakah cukup hanya sebagai obyek wisata pemandangan alam yang elok? Sebuah permata yang hijau oleh tutupan sabana di seluruh punggungnya?Â
Saya pikir sebaiknya memang seperti itu. Takdir Pulau Tulas itu adalah keindahan di tengah danau untuk memanjakan mata pelancong.
Dahulu warga Kampung Tulas pernah memanfaatkan pulau itu sebagai lajangan, padang pelepasan kerbau di alam. Tapi kerbau-kerbau itu ternyata selalu pulang berenang kembali ke Kampung Tulas. Karena itu warga berhenti memanfaatkannya sebagai padang pelepasan kerbau.Â
Pulau Tulas itu mulai santer dikenal luas sejak pertengahan 2010-an, bersamaan dengan penetapan Danau Kaldera Toba sebagai Destinasi Wisata Prioritas. Para pelancong muda yang suka berkelana ke alam bebas "menemukan" pulau indah itu. Lalu mereka menyebar-luaskan video dan fotonya lewat media sosial.
Para pelancong itu juga "menemukan" Bukit Tulas sebagai titik pandang terbaik untuk menikmati eksotisme pulau mungil itu. Bukit itu mereka juluki "Bukit Burung". Mungkin karena dari kejauhan bukit itu membentuk citra burung yang sedang minum air danau.
Pelancong-pelancong penikmat alam itu menemukan fakta bahwa Pulau tulas lebih indah dipandang dari jauh ketimbang dilihat dari dekat. Ada sejumlah pelancong yang pergi ke sana, naik perahu warga lokal dengan ongkos Rp 15,000 per kepala. Tapi sesuatu yang terlihat indah dari jauh, belum tentu tampak indah dari dekat. Seperti bulan yang indah hanya jika dilihat dari bumi.
Menggelar konser di Bukit Tulas atau Bukit Burung, dengan latar belakang Pulau Tulas, adalah satu cara terindah untuk menikmati keelokan pulau itu. Menikmati sekaligus harmoni alunan musik yang indah, lantunan vokal yang merdu, dan latar belakang pulau yang eksotis bukanlah pengalaman yang biasa-biasa saja. Alam Tulas serasa bernyanyi hanya untukmu.
Musisi Batak, Vicky Sianipar sudah membuktikan itu. Suatu hari di tahun 2021 dia dan teman-temannya, antara lain Aksan Sjuman, Titi DJ, Reza Artamevia, dan Alsant Nababan, mengelar konser "Nyanyian Danau Toba" di Bukit Tulas. Menonton konser itu di YouTube memberikan pengalaman luar biasa. Musik dan vokal penyanyi terdengar lebih indah, dan alam Pulau Tulas juga terlihat menjadi lebih indah.
[Video: Titi DJ menyanyikan lagu "Arga Do Bona Ni Pinasa" dengan latar belakang Pulau Tulas dalam konser "Nyanyian Danau Toba" tahun 2021.]
Ketiga unsur itu, musik, vokal, dan alam bersinergi menghasilkan keindahan baru yang sempurna. Semisal Titi DJ terlihat lebih cantik, suaranya terdengar lebih merdu, musik gondang dan seruling Batak terdengar lebih indah, gebukan drum Aksan terasakan lebih magis, dan Pulau Tulas tampak menjadi lebih elok.
Barangkali konser musik di bibir tebing Kaldera Toba, seperti dilakukan Vicky Sianipar dan kawan-kawan, adalah sebuah kemasan wisata mata, telinga, dan rasa yang layak dikembangkan di Tulas. Tidak cukup menggelar konser secara insidental, tapi baiklah jika dia menjadi agenda tetap dalam Kalender Wisata Kaldera Toba. Tak hanya Vicky Sianipar, tapi juga musisi lain yang berkaliber nasional atau internasional.
Bahkan tidak hanya konser musik. Suatu sendratari kolosal juga sangat pantas digelar di sana. Pun dengan sebuah pertunjukan "Opera Batak" -- paduan drama, tari, musik, dan nyanyi -- yang, tentu saja, sudah direvitalisasi menjadi sebuah pertunjukan "kelas dunia". (eFTe)
***
Catatan Kaki:
[1] "Apa sesungguhnya nama istri Datu Parulas Parultop?", marga.siboro.org.
[2] Dokumen "Master Plan Geopark Kaldera Toba Tahun 2018-2030" (mimeo.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H