Dengarkan debur ombak di pantai, gemercik air sungai, derau air terjun Sitapigagan dan Sibontar, desau angin di pucuk pepohonan, kicau burung, lenguh kerbau, dan dendang anak-anak.
Rasakan pula sejuknya udara Kaldera Toba pada kulit, dinginnya air sungai di kaki, dan lembutnya ujung-ujung daun padi muda di telapak tangan.Â
Lalu, setelah semua itu, jangan lupa mampir ke sebuah kedai untuk sekadar menyesap secangkir kopi hitam khas Tanah Batak.
Warga desa Bonandolok itu ramah -- keramahan khas Batak, tentu saja. Itu bagian yang haram dilewatkan. Berbincanglah dengan mereka di manapun bersua. Nikmati suara keras yang akrab dan senyum lebar yang ditebar.
Ekologi budaya sawah di Bonandolok adalah hasil interaksi antara tanah-air, tanaman padi, dan para petani. Keindahan dan ketenangan yang dipancarkan hamparan sawah itu adalah buah komunikasi antara ketiganya.
Air Terjun yang Sakral
Air dalam kosmologi Batak adalah zat sakral. Air berfungsi menyucikan roh dan mencuci tubuh. Selain juga, tentu saja, sumber kehidupan. Semisal untuk pengairan sawah, minum, mandi, dan cuci.
Dalam religi asli Batak. Boru Saniangnaga dipercaya sebagai dewi segala badan air. Mulai dari mata air, sungai, sampai danau Kaldera Toba. Dialah yang menciptakan banjir, ombak danau, dan ketenangan air danau.Â
Karena itu warga Bonandolok, sebagaimana orang Batak umumnya, ketat menjaga sakralitas sumber air mereka. Di sana sumber air itu adalah air terjun kembar Sitapigagan dan Sibonntar.Â
Sakralisasi air terjun itu dikuatkan dengan sejumlah larangan. Dilarang berbuat tak senonoh di lingkungan air terjun. Dilarang berkata-kata kotor. Dilarang mengotori air dengan sampah.Â
Dikatakan juga, air terjun itu memiliki roh penunggu. Konon roh tersebut menyukai warna merah. Karena itu pengunjung air terjun dilarang mengenakan pakaian merah. Agar tehindar dari risiko diculik roh penunggu tersebut.