Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dari Siantar ke Parapat: 50 km Jalan Kaki Bersandal Jepit

15 Maret 2024   05:22 Diperbarui: 16 Maret 2024   13:00 1907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama kelas Secunda Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematang Siantar Angkatan 1974 di depan gedung Pastoran/Seminari Agung Parapat tahun 1975. Duduk nomor 4 dari kiri adalah Pastor Simon Sinaga, OFM Cap (Alm.). (Foto: Koleksi Gabriel Chanfary)

Senin awal minggu ini (11/3/2024) seorang kawan masa SMP, Pastor Hen meneleponku. Itulah komunikasi verbal pertama antara kami berdua, setelah 4 minggu tergabung dalam satu WAG, dan setelah 48 tahun terpisah oleh ruang sosial dan geografis.

Kami berpisah tahun 1976, tepat pada akhir tahun ajaran SMP Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar. Aku dikeluarkan dari seminari dengan alasan "kebahagiaanku ada di luar biara". Dia lanjut dan kemudian menjadi satu dari empat orang yang terpilih menjadi pastor dari angkatan kami.

Kini kawanku itu kembali lagi ke SMCS Siantar. Bukan untuk belajar lagi, tapi untuk membimbing para remaja calon pastor di sekolah itu.

"Hari ini libur Hari Raya Nyepi. Guru-guru pergi keliling Samosir. Anak-anak long march" Pastor Hen berkabar. 

"Bah, masih ada juga kegiatan long march itu? Baik sekali itu," tanggapku.

"Masih. Tadi malam ada satu kelas yang jalan ke Parapat."

"Ah, seperti kita dulu, ya, Pastor Hen."

Pikiranku langsung melayang jauh mundur ke tahun 1975. Waktu itu kelas kami, Secunda atau kelas 2 SMP, menjalani kegiatan long march dari Siantar ke Parapat.

Kenangan tertayang seperti sebuah film di layar ingatanku.

Gedung Gereja Katolik St. Antonius Padua, Tigadolok. Sejak 2010cmenjadi Paroki Tigadolok. Tahun 1975, waktu kami mampir, gereja ini masih setengah tembok (Foto: facebook.com @Gedung Gereja Katolik)
Gedung Gereja Katolik St. Antonius Padua, Tigadolok. Sejak 2010cmenjadi Paroki Tigadolok. Tahun 1975, waktu kami mampir, gereja ini masih setengah tembok (Foto: facebook.com @Gedung Gereja Katolik)

Tangan Tuhan Menuntun Kami

Kegiatan long march, sekali setahun, tak pernah gagal melambungkan animo anak-anak SMCS. Kalau bukan memicu adrenalin remaja.

Tak terkecuali dengan long march kelas Secunda tahun 1975. Kali ini dari Siantar ke Parapat, sejauh 50 km.

Dua minggu sebelum hari H, kegiatan itu sudah menjadi bahan pembicaraan. Juga jadi amunisi untuk meledek kawan yang perawakannya kurus kecil. Apakah dia kuat jalan kaki sampai Parapat, atau harus digendong secara bergantian?

Tapi itu cuma bercanda. Semasa kelas Prima, kelas 1 SMP, kami sudah pernah long march ke Tigadolok. Itu sebuah kota kecamatan antara Siantar dan Parapat, 25 km jaraknya. Semua tiba dengan kaki sendiri di tujuan. Tak seorang pun yang minta digendong.

Di Tigadolok itu kami melepas lelah dengan bermandi-ria di Telaga Manigom. Air telaga biru itu konon bocoran dari Danau Toba. Kata seorang tukang cerita, pernah ada jerami dan dayung sampan keluar dari mata airnya. Kalau dia ngarang, biarlah Tuhan mengampuni dosanya.

Kalau dipikir-pikir, long march ke Tigadolok itu semacam ujicoba long march ke Parapat. Kalau kuat menempuh jarak 25 km, tentu kuat juga menempuh 50 km. Percuma naik ke kelas Secunda kalau begitu saja tak kuat.

Kami, kalau tak salah 27 orang plus dua orang anak Rhetorica, kelas 7 (pra-novisiat) sebagai pendamping, berangkat dari depan asrama SMCS tepat pukul 22.00 WIB. Jarak 50 km ke Parapat ditaksir memakan waktu paling cepat 10 jam. Artinya pukul 08.00 WIB kami diharapkan tiba di Parapat, tepatnya di Komplek Seminari Agung Parapat.

Beginilah tampilan kami menjalani long march. Stelan kemeja dan celana pendek -- dalaman sempak dan singlet. Alas kaki sandal jepit, kecuali tiga atau empat orang kawan yang kreatif pakai sepatu kets. Sehingga kegiatan itu layak disebut "long march 5o km bersandal jepit". Aku termasuk anak bersandal jepit.

Kami tak membawa bekal makanan dan minuman. Hanya membawa sepasang baju ganti dalam tote bag atau kantong plastik. Itu mungkin meniru para murid Yesus, ketika diutus pergi berdua-dua ke segala penjuru mewartakan Kabar Gembira tanpa bekal makanan dan minuman.

Sama sekali tak terpikirkan waktu itu bahwa jalan kaki 50 km tanpa bekal makanan dan minuman adalah sebuah masalah besar. Sebagai calon pastor kami yakin Tuhan pasti menuntun langkah kami ke "padang hijau dan air bening". Halah!

Lagi pula siapa yang berpikir soal makan dan minum bila melangkah keluar melewati gerbang SMCS waktu itu adalah semacam memasuki "gerbang kemerdekaan"? 

Sejatinya pintu gerbang itu selalu terbuka dari pagi sampai sore. Tapi anak-anak "Golongan Kecil" atau kelas 1-3 SMP (Prima, Secunda, Tertia) terlarang melangkah keluar gerbang itu, kecuali saat acara jalan-jalan hari Minggu pagi. Hanya anak-anak "Golongan Besar" atau kelas 1-3 SMA (Grammatica, Sintaksis, Poesis) dan kelas 7 (Rhetorica) yang mendapat hak melewati gerbang itu untuk jalan-jalan sore.

Barangkali itu semacam ujian juga bagi anak-anak Golongan Besar dan Rhetorica yang sedang beger. Saat jalan-jalan sore mereka kerap bertemu dengan gadis-gadis manis sepanjang Jalan Lapangan Bola Atas, tempat SMCS berada. Itu menjadi ujian apakah setelah pertemuan itu mereka akan kembali lagi ke asrama, atau malah pergi kawin lari dengan gadis manis itu.

Tak terasa perjalanan sudah sekitar 4 jam. Melewati tepi kota Siantar, kota kecil Tigabalata, dan okampung-kampung yang membisu. Juga kebun sawit yang gelap dan sunyi di koridor jalan raya Siantar-Parapat. Hanya celoteh anak-anak yang berjalan dalam kelompok 3-5 orang yang terdengar. Dengan interupsi dari sorot lampu dan derum truk dan bus yang sesekali melintas membelah malam.

"Kita istirahat sebentar di sini," suara kakak Rhetorica memecah hening dini hari. Di sebelah kiri jalan tampak Gereja Katolik Stasi Tigadolok terang benderang bermandi cahaya petromaks. Tampak sejumlah bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja putra-putri menyambut dan mempersilahkan kami memasuki gedung gereja.

Puji Tuhan!

Di atas meja-meja di dalam gereja sudah tersedia makanan dan minuman. Ada roti, lampet, pisang goreng, dan singkong goreng. Lalu ada teh manis dan kopi, semuanya panas.

Kami adalah remaja omnivora yang sedang rakus-rakusnya, memenuhi tuntutan pertumbuhan tubuh dan bulu-bulunya. Tak ditawarkan pun sajian itu akan kami ludeskan secara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tidakkah benar bahwa Tuhan telah menuntun langkah kami ke "padang hijau dan air bening"? Tentu saja lewat tangan-tangan umat Katolik Tigadolok. Mauliate godang dari kami untuk mereka. 

Potret jalur Harangan Ganjang di jalan raya Siantar-Parapat tahun 2015. Tahun 1975 kondisinya lebih lebat dan sepi. (Foto: tumblr.com/andiksiboro-blog)
Potret jalur Harangan Ganjang di jalan raya Siantar-Parapat tahun 2015. Tahun 1975 kondisinya lebih lebat dan sepi. (Foto: tumblr.com/andiksiboro-blog)

Harangan Ganjang yang Mencekam

Sudah setengah jalan, tinggal 25 km lagi sampai sudah di Parapat. Tapi tak sesederhana itulah. 

Jalur Tigadolok-Parapat dalam long march itu justru yang paling mencekam. Soalnya harus melewati satu ruas jalan yang dikenal luas sebagai Harangan Ganjang (Hutan Panjang), suatu areal hutan lindung. Ruas itu berada di antara kampung Pondok Bulu dan kampung Aek Nauli.

Itulah jalur paling menakutkan antara Siantar dan Parapat. Jalur yang sepi, gelap, kiri-kanannya hutan lebat. Jalur itu terkenal sebagai sarang penyamun dan hantu.

Dari para orang tua di kampung, Uluan Toba, aku mendengar cerita kerap orang naik kereta (motor) kena begal di situ. Juga cerita para sopir kerap diganggu mahluk halus di jalur itu.

Sulit membuktikan kebenaran atau kebohongan cerita-cerita dari mulut ke mulut itu. Apakah benar-benar ada kejadiannya. Atau cuma karangan untuk menakuti orang yang berniat mencuri kayu di area hutan lindung itu.

Tapi jelas aku percaya pada cerita-cerita itu. Sekurangnya termakan olehnya. Sehingga sesaat setelah melewati kampung Pondok Bulu, lalu mulai menapaki jalur Harangan Ganjang, jantungku berdegup keras. Tanda aku mulai dicekam rasa takut, setidaknya khawatir.

Khawatir tiba-tiba ada gerombolan penyamun muncul dari kegelapan lantai hutan untuk merampok kami. Walau terpikir juga apa yang bisa dirampas dari kami anak-anak SMCS. Kami cuma anak kecil, calon pastor yang tak punya uang. Beda dengan pastor yang mungkin membawa uang kolekte atau sumbangan untuk umat.

Tapi tetap saja suasana di ruas jalan itu mencekam bagiku. Aku dan tiga orang teman dalam satu kelompok kecil perjalanan diam membisu. Hanya suara gesekan sandal jepit kami dengan aspal yang terdengar. Serta suara seribu jangkrik hutan yang, sumpah, meneror batin.

"Oiii!"

Aku meneriaki kelompok lain. Segera terdengar sahutan bersambungan dari teman-teman di depan dan belakang. Semuanya tak tampak mata, seakan ditelan gelap malam. Bulan mati, di langit tiada "Bintang Betlehem".

Saling teriak seperti itu wajib. Untuk memastikan semua peserta long march aman-aman saja. Tak ada misalnya yang menyimpang terjun ke jurang karena merasa melihat ada gadis cantik memanggilnya masuk rumah.

Situasi mencekam berangsur cair saat kami mulai mendekati Aek Nauli. Hari sudah menjelang subuh. Pucuk-pucuk pohon pinus di kiri dan kanan jalan mulai tampak sebagai siluet remang. Pertanda surya sebentar lagi datang membunuh malam.

Pastoran Katolik dan Seminari Agung Parapat berada di atas bukit, di antara kota pelabuhan Ajibata (latar depan) dan kota Parapat (di balik bukit). Siantar berada 50 km di utara, di balik pegunungan. (Foto: Tangkapan layar YouTube kQ guwataLk)
Pastoran Katolik dan Seminari Agung Parapat berada di atas bukit, di antara kota pelabuhan Ajibata (latar depan) dan kota Parapat (di balik bukit). Siantar berada 50 km di utara, di balik pegunungan. (Foto: Tangkapan layar YouTube kQ guwataLk)

Derita Pendakian "Bukit Golgota"

Saat fajar menyingsing, kami sudah mencapai ruas jalan di atas Desa Sibaganding, sebuah desa di pantai timur Danau Kaldera Toba. Tampak permukaan air danau terhampar luas, biru berkilauan seperti cermin raksasa. 

Di kejauhan barat tampak dinding biru Pulau Samosir, membentang di belakang kampung Tomok, Tuktuk, dan Ambarita. Terbaca pada dinding itu frasa "RIMBA CIPTAAN". Formasi tulisan itu dibentuk dengan tanaman pinus.

Indah, sungguh indah sejauh dan seluas mata memandang. Seakan kami melihat "Tanah Terjanji", padang hijau danair bening".

Selewat jembatan Sibaganding, dari sisi kanan jalan sudah tampak jelas kota Parapat di depan mata. Gereja Katolik dan Gedung Seminari Agung tampak anggun di puncak bukit Parapat. Seperti dalam jangkauan tangan saja. 

Tapi tujuan itu masih jauh, walau sudah terbilang dekat. Sekitar lima kilometer lagi. Butuh waktu sejam lagi untuk mencapainya. 

Mentari pagi sudah sempurna menerangi Kaldera Toba. Aku perkirakan waktu sudah pukul 07.00 WIB. 

Tujuan sudah di depan mata. Semangat!

Tapi kondisi kaki tak mampu mengimbangi gebu semangat. Aku merasa tulang-tulang di pergelangan kedua kakiku seakan remuk setiap kali menjejak aspal. Rasanya sakit sekali. Kawan-kawanku juga merasakan hal serupa.

Kami menapaki jalan sambil menahan rasa sakit. Satu sama lain saling menyemangati. Keindahan Danau Kaldera Toba menyuntikkan gairah baru.

Akhirnya gerbang kota Parapat tercapai juga. Dengan kondisi pergelangan kedua kakiku semakin remuk rasanya.

Sekitar 200 meter dari gerbang kota, tepat di depan sebuah hotel, ada jalan menyimpang ke kiri mendaki sebuah bukit. Itulah jalan menuju Seminari Agung. Di puncak bukit itulah tujuan akhir kami menanti.

Rasanya kedua kakiku tak bisa diajak melangkah lagi. Apalagi mendaki. Aku ingin berhenti di situ saja.

Tapi entah karena kerja Roh Kudus atau karena pikiran liar, tiba-tiba aku teringat Yesus mendaki Bukit Golgota dengan beban salib di pundak-Nya. Sedangkan aku? Jalan ke "Golgota"-ku beraspal mulus. Tak ada beban salib di pundakku. Hanya ada kantong kain berisi sepasang pakaian ganti tercangklong di bahuku.

Malu pada Yesus, kutapaki juga jalan mendaki itu dengan kawan-kawanku. Sesekali mukaku meringis, tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang semakin mendera pergelangan kaki.

Lalu, pada akhirnya, di puncak bukit itu, di depan pintu masuk gedung Seminari Agung, kami melihat beberapa orang frater menyambut kami sambil tersenyum ramah. Seorang frater menepuk-nepuk bahuku dan, ajaib, aku mendadak lupa rasa sakit di pergelangan kakiku.

Sekitar pukul 08.00 WIB semua anak Secunda sudah tiba di Seminari Agung. Tak ada seorang pun yang tercecer di tengah jalan. Semua pada akhirnya tertawa gembira. Tujuan, "padang hijaù dan air tenang" telah tercapai. Simbolnya adalah sarapan yañg teramat nikmat di ruang makan Seminari Agung.

Keajaiban tak lepas pula dari kami. Setelah menempuh long march sejauh 50 km, sandal jepit kami baik-baik saja. Tak ada satu pun tali sandal yang putus. Bukankah itu mukjizat?

Tampak depan Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematang Siantar. Garis start Long March Siantar-Parapat kelas Secunda tahun 1975 (Foto: seminaripem.wordpres.com)
Tampak depan Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematang Siantar. Garis start Long March Siantar-Parapat kelas Secunda tahun 1975 (Foto: seminaripem.wordpres.com)

Ujian Iman, Kasih, dan Harapan

Mengenang kembali long march Siantar-Parapat itu, terbersit dalam pikiranku betapa kegiatan itu sejatinya adalah bentuk ujian untuk para calon pastor.

Pertama, ujian iman. Apakah kami sungguh percaya dan berserah diri pada penyelenggaraan ilahi? Pergi berjalan kaki tanpa bekal di gelap malam, lewat jalan yang belum dikenal, sungguh menguji keteguhan iman. Tetap teguh percaya Tuhan akan menuntun langkah kami sampai ke tujuan, "padang hijau dan air tenang".

Kedua, ujian kasih. Apakah kami peduli satu sama lain? Ini soal solidaritas. Tak seorang kawan pun boleh ditinggal sendirian. Harus saling dukung dan jaga. Teman yang lambat ditunggu, teman yang cepat menanti. Long march itu bukan kompetisi melainkan kolaborasi.

Ketiga, ujian harapan. Apakah hatiku teguh melewati segala rintangan demi sebuah tujuan yang jauh? Sebuah tujuan adalah harapan yang harus diperjuangkan. Ada pengorbanan, kesakitan psikis dan fisik, semacam askese demi mewujudkan pengharapan. 

Long march bersandal jepit sejauh 50 km dalam gelap malam, bagaimanapun sangat menguras energi, fisik dan mental. Tapi dengan iman, kasih, dan harapan, kami tiba juga di tujuan, "padang hujan dan air tenang" itu.

Begitulah refleksiku, 49 tahun setelah peristiwa long march itu. [eFTe]

*Artikel ini secara khusus kupersembahkan pada teman-temanku Prima 1974 dan Probatorium 1976 Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematang Siantar. Selamat jalan kepada beberapa teman yang sudah lebih dulu pergi ke Rumah Bapa di Surga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun