Itulah jalur paling menakutkan antara Siantar dan Parapat. Jalur yang sepi, gelap, kiri-kanannya hutan lebat. Jalur itu terkenal sebagai sarang penyamun dan hantu.
Dari para orang tua di kampung, Uluan Toba, aku mendengar cerita kerap orang naik kereta (motor) kena begal di situ. Juga cerita para sopir kerap diganggu mahluk halus di jalur itu.
Sulit membuktikan kebenaran atau kebohongan cerita-cerita dari mulut ke mulut itu. Apakah benar-benar ada kejadiannya. Atau cuma karangan untuk menakuti orang yang berniat mencuri kayu di area hutan lindung itu.
Tapi jelas aku percaya pada cerita-cerita itu. Sekurangnya termakan olehnya. Sehingga sesaat setelah melewati kampung Pondok Bulu, lalu mulai menapaki jalur Harangan Ganjang, jantungku berdegup keras. Tanda aku mulai dicekam rasa takut, setidaknya khawatir.
Khawatir tiba-tiba ada gerombolan penyamun muncul dari kegelapan lantai hutan untuk merampok kami. Walau terpikir juga apa yang bisa dirampas dari kami anak-anak SMCS. Kami cuma anak kecil, calon pastor yang tak punya uang. Beda dengan pastor yang mungkin membawa uang kolekte atau sumbangan untuk umat.
Tapi tetap saja suasana di ruas jalan itu mencekam bagiku. Aku dan tiga orang teman dalam satu kelompok kecil perjalanan diam membisu. Hanya suara gesekan sandal jepit kami dengan aspal yang terdengar. Serta suara seribu jangkrik hutan yang, sumpah, meneror batin.
"Oiii!"
Aku meneriaki kelompok lain. Segera terdengar sahutan bersambungan dari teman-teman di depan dan belakang. Semuanya tak tampak mata, seakan ditelan gelap malam. Bulan mati, di langit tiada "Bintang Betlehem".
Saling teriak seperti itu wajib. Untuk memastikan semua peserta long march aman-aman saja. Tak ada misalnya yang menyimpang terjun ke jurang karena merasa melihat ada gadis cantik memanggilnya masuk rumah.
Situasi mencekam berangsur cair saat kami mulai mendekati Aek Nauli. Hari sudah menjelang subuh. Pucuk-pucuk pohon pinus di kiri dan kanan jalan mulai tampak sebagai siluet remang. Pertanda surya sebentar lagi datang membunuh malam.