Rasanya kedua kakiku tak bisa diajak melangkah lagi. Apalagi mendaki. Aku ingin berhenti di situ saja.
Tapi entah karena kerja Roh Kudus atau karena pikiran liar, tiba-tiba aku teringat Yesus mendaki Bukit Golgota dengan beban salib di pundak-Nya. Sedangkan aku? Jalan ke "Golgota"-ku beraspal mulus. Tak ada beban salib di pundakku. Hanya ada kantong kain berisi sepasang pakaian ganti tercangklong di bahuku.
Malu pada Yesus, kutapaki juga jalan mendaki itu dengan kawan-kawanku. Sesekali mukaku meringis, tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang semakin mendera pergelangan kaki.
Lalu, pada akhirnya, di puncak bukit itu, di depan pintu masuk gedung Seminari Agung, kami melihat beberapa orang frater menyambut kami sambil tersenyum ramah. Seorang frater menepuk-nepuk bahuku dan, ajaib, aku mendadak lupa rasa sakit di pergelangan kakiku.
Sekitar pukul 08.00 WIB semua anak Secunda sudah tiba di Seminari Agung. Tak ada seorang pun yang tercecer di tengah jalan. Semua pada akhirnya tertawa gembira. Tujuan, "padang hijaù dan air tenang" telah tercapai. Simbolnya adalah sarapan yañg teramat nikmat di ruang makan Seminari Agung.
Keajaiban tak lepas pula dari kami. Setelah menempuh long march sejauh 50 km, sandal jepit kami baik-baik saja. Tak ada satu pun tali sandal yang putus. Bukankah itu mukjizat?
Ujian Iman, Kasih, dan Harapan
Mengenang kembali long march Siantar-Parapat itu, terbersit dalam pikiranku betapa kegiatan itu sejatinya adalah bentuk ujian untuk para calon pastor.
Pertama, ujian iman. Apakah kami sungguh percaya dan berserah diri pada penyelenggaraan ilahi? Pergi berjalan kaki tanpa bekal di gelap malam, lewat jalan yang belum dikenal, sungguh menguji keteguhan iman. Tetap teguh percaya Tuhan akan menuntun langkah kami sampai ke tujuan, "padang hijau dan air tenang".
Kedua, ujian kasih. Apakah kami peduli satu sama lain? Ini soal solidaritas. Tak seorang kawan pun boleh ditinggal sendirian. Harus saling dukung dan jaga. Teman yang lambat ditunggu, teman yang cepat menanti. Long march itu bukan kompetisi melainkan kolaborasi.
Ketiga, ujian harapan. Apakah hatiku teguh melewati segala rintangan demi sebuah tujuan yang jauh? Sebuah tujuan adalah harapan yang harus diperjuangkan. Ada pengorbanan, kesakitan psikis dan fisik, semacam askese demi mewujudkan pengharapan.Â