Saat fajar menyingsing, kami sudah mencapai ruas jalan di atas Desa Sibaganding, sebuah desa di pantai timur Danau Kaldera Toba. Tampak permukaan air danau terhampar luas, biru berkilauan seperti cermin raksasa.Â
Di kejauhan barat tampak dinding biru Pulau Samosir, membentang di belakang kampung Tomok, Tuktuk, dan Ambarita. Terbaca pada dinding itu frasa "RIMBA CIPTAAN". Formasi tulisan itu dibentuk dengan tanaman pinus.
Indah, sungguh indah sejauh dan seluas mata memandang. Seakan kami melihat "Tanah Terjanji", padang hijau danair bening".
Selewat jembatan Sibaganding, dari sisi kanan jalan sudah tampak jelas kota Parapat di depan mata. Gereja Katolik dan Gedung Seminari Agung tampak anggun di puncak bukit Parapat. Seperti dalam jangkauan tangan saja.Â
Tapi tujuan itu masih jauh, walau sudah terbilang dekat. Sekitar lima kilometer lagi. Butuh waktu sejam lagi untuk mencapainya.Â
Mentari pagi sudah sempurna menerangi Kaldera Toba. Aku perkirakan waktu sudah pukul 07.00 WIB.Â
Tujuan sudah di depan mata. Semangat!
Tapi kondisi kaki tak mampu mengimbangi gebu semangat. Aku merasa tulang-tulang di pergelangan kedua kakiku seakan remuk setiap kali menjejak aspal. Rasanya sakit sekali. Kawan-kawanku juga merasakan hal serupa.
Kami menapaki jalan sambil menahan rasa sakit. Satu sama lain saling menyemangati. Keindahan Danau Kaldera Toba menyuntikkan gairah baru.
Akhirnya gerbang kota Parapat tercapai juga. Dengan kondisi pergelangan kedua kakiku semakin remuk rasanya.
Sekitar 200 meter dari gerbang kota, tepat di depan sebuah hotel, ada jalan menyimpang ke kiri mendaki sebuah bukit. Itulah jalan menuju Seminari Agung. Di puncak bukit itulah tujuan akhir kami menanti.