Kegiatan long march, sekali setahun, tak pernah gagal melambungkan animo anak-anak SMCS. Kalau bukan memicu adrenalin remaja.
Tak terkecuali dengan long march kelas Secunda tahun 1975. Kali ini dari Siantar ke Parapat, sejauh 50 km.
Dua minggu sebelum hari H, kegiatan itu sudah menjadi bahan pembicaraan. Juga jadi amunisi untuk meledek kawan yang perawakannya kurus kecil. Apakah dia kuat jalan kaki sampai Parapat, atau harus digendong secara bergantian?
Tapi itu cuma bercanda. Semasa kelas Prima, kelas 1 SMP, kami sudah pernah long march ke Tigadolok. Itu sebuah kota kecamatan antara Siantar dan Parapat, 25 km jaraknya. Semua tiba dengan kaki sendiri di tujuan. Tak seorang pun yang minta digendong.
Di Tigadolok itu kami melepas lelah dengan bermandi-ria di Telaga Manigom. Air telaga biru itu konon bocoran dari Danau Toba. Kata seorang tukang cerita, pernah ada jerami dan dayung sampan keluar dari mata airnya. Kalau dia ngarang, biarlah Tuhan mengampuni dosanya.
Kalau dipikir-pikir, long march ke Tigadolok itu semacam ujicoba long march ke Parapat. Kalau kuat menempuh jarak 25 km, tentu kuat juga menempuh 50 km. Percuma naik ke kelas Secunda kalau begitu saja tak kuat.
Kami, kalau tak salah 27 orang plus dua orang anak Rhetorica, kelas 7 (pra-novisiat) sebagai pendamping, berangkat dari depan asrama SMCS tepat pukul 22.00 WIB. Jarak 50 km ke Parapat ditaksir memakan waktu paling cepat 10 jam. Artinya pukul 08.00 WIB kami diharapkan tiba di Parapat, tepatnya di Komplek Seminari Agung Parapat.
Beginilah tampilan kami menjalani long march. Stelan kemeja dan celana pendek -- dalaman sempak dan singlet. Alas kaki sandal jepit, kecuali tiga atau empat orang kawan yang kreatif pakai sepatu kets. Sehingga kegiatan itu layak disebut "long march 5o km bersandal jepit". Aku termasuk anak bersandal jepit.
Kami tak membawa bekal makanan dan minuman. Hanya membawa sepasang baju ganti dalam tote bag atau kantong plastik. Itu mungkin meniru para murid Yesus, ketika diutus pergi berdua-dua ke segala penjuru mewartakan Kabar Gembira tanpa bekal makanan dan minuman.
Sama sekali tak terpikirkan waktu itu bahwa jalan kaki 50 km tanpa bekal makanan dan minuman adalah sebuah masalah besar. Sebagai calon pastor kami yakin Tuhan pasti menuntun langkah kami ke "padang hijau dan air bening". Halah!
Lagi pula siapa yang berpikir soal makan dan minum bila melangkah keluar melewati gerbang SMCS waktu itu adalah semacam memasuki "gerbang kemerdekaan"?Â