Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kopi Sigararutang: Dari Kaldera Toba Merengkuh Dunia

11 Maret 2024   19:09 Diperbarui: 13 Maret 2024   08:23 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang inang petani sedang memanen kopi Sigararutang (Foto: via harianfikiransumut.com)

Tak banyak orang Batak seperti Juara Dungdang Siraja Pane. Tokoh antagonis dalam legenda Sipisosomalim ini terkenal sakti raga dan kata. 

Kesaktiannya diungkap dengan syair yang menggentarkan lawan. Dikatakan begini: "Juara Dungdang Siraja Pane, itullang so ra bugang ibodil so ra mate, dangka do dupang sae hata menggarar utang." Artinya: "Juara Dungdang Siraja Pane, ditombak tak kunjung luka dibedil tak kunjung mati, dahan adalah cabang cukup kata membayar utang."

Di masa lalu, utang bisa menjadi malapetaka bagi orang Batak. Ketakmampuan bayar utang bisa berakhir tragis, menggadai diri atau istri atau anak menjadi hatoban, budak bagi parsingir, pemiutang atau kreditur.

Itu tak berlaku bagi Juara Dungdang. Sihir kata-katanya mujarab untuk semua utangnya. Di masa kini itu mungkin seperti seorang bupati, gubernur, atau presiden yang mampu melunasi utang janji kampanye hanya dengan kata-kata.

Tapi dikemudian hari ada yang lebih jitu ketimbang kata-kata Juara Dungdang. Itulah kopi Sigararutang, jenis Arabika yang leluhurnya tumbuh di Ethiopia/Yaman. Kopi ini tampil sebagai juru selamat orang Batak, khususnya pekebun kecil, dari jeratan utang.

Kopi Sigararutang kini identik dengan kemakmuran, sekalipun itu dalam lingkup kampung, bagi orang Batak pekebun kopi di dataran tinggi Kaldera Toba. Atau setidaknya bagi pekebun kopi Humbang Hasundutan (Humbahas), tempat varietas kopi itu pertama kali ditemukan dan dibudidayakan. 

Profil kopi Sigararutang dari Kaldera Toba (Foto: tubasmedia.com)
Profil kopi Sigararutang dari Kaldera Toba (Foto: tubasmedia.com)

Riwayat Kopi Sigararutang

Dunia harus berterimakasih kepada Ompu Sopan boru Siregar. Di dalam kebunnyalah, di kampung Batugaja, Paranginan, Humbahas (1,400 mdpl) untuk pertama kalinya tahun 1988 kopi varietas Sigararutang ditemukan. Waktu itu tinggal tiga pohon yang masih hidup.

"Penemuan" kopi Sigararutang itu terjadi persis 100 tahun terhitung sejak penanaman pertama (1888) kopi Arabika di Humbahas, atau hampir 300 tahun sejak kopi Arabika pertama ditanam di Batavia (1696). 

Dikisahkan benih kopi pertama datang ke Tanah Batak membonceng tentara Kolonialis Belanda. Penanaman kopi, komoditas Cultuurstelsel atau Tanam Paksa, itu di Paranginan menandai penancapan kekuasaan penjajah di Tanah Batak.

Ada versi lain sejarah kopi di Tanah Batak. Katanya bukan tentara Belanda, melainkan pendeta Zending Protestanlah yang membawa bibit kopi kopi Arabika Abeesynia (asal Ethiopia) dari Mandailing. Varietas kopi tahan karat daun itu diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1928.[1]

Tapi kedua versi sejarah kopi itu tak perlu dipertentangkan. Pemerintah Hindia Belanda dan Zending Protestan memang sama-sama berperan memperkenalkan kopi kepada petani Humbahas.

Akan halnya kopi Sigararutang, tak pelak lagi, dia adalah kemurahan alam Kaldera Toba. Dikatakan begitu karena dia lahir dari persilangan alami kopi Typica dan Catimor. Dua varietas itu tadinya banyak ditanam warga Humbahas. Typica adalah varietas Arabika asal Ethiopia/Yaman. Sedangkan Catimor merupakan persilangan Arabica Caturra (Nikarakua) dan kopi Timor (persilangan Arabika dan Robusta). 

Karena asal-usul alaminya itu, Sigararutang kemudian teridentifikasi sebagai varietas arabika endemik Kaldera Toba. Bermula dari Humbahas, pertanaman kopi itu menyebar ke daerah lain di lingkar kaldera. Tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 1,000-1,500 mdpl, Sigararutang telah mendapatkan spesialitasnya dari keunikan geologis, geografis, dan klimatologis Kaldera Toba.

Seorang inang petani sedang memanen kopi Sigararutang (Foto: via harianfikiransumut.com)
Seorang inang petani sedang memanen kopi Sigararutang (Foto: via harianfikiransumut.com)

Tak ada kopi lain seperti Sigararutang. Itu sebabnya dia diakui secara nasional sebagai varietas kopi unggul asli Humbahas, Kaldera Toba (SK Mentan Nomor 205/Kpts/SR.120/4/2005). Pengakuan itu dikuatkan Kemenkumham dengan sertifikat indikasi geografis (IG) untuknya sebagai Kopi Lintong Arabika Sumatera (IG Nomor ID G 000000063, 21/12/2017).

Sebagai kopi unggul lokal, Sigararutang tergolong kopi katai (pendek, maksimal 2 m) yang produktif nyaris sepanjang tahun. Isi dombolan buahnya tak terlalu banyak, tapi ukuran per buah tergolong besar (196 gram/100 buah). Dengan asumsi 1,600 pohon/ha, produktivitas kopi ini berkisar 800-2,300 kg biji/ha, atau rata-rata 1,500 kg biji/ha.

Sigararutang adalah varietas unggul lokal utama dalam kelompok indikasi geografis Arabika Lintong Sumatera. Dia diidentifikasi sebagai "kopi specialty dengan citarasa excellent yang memiliki aroma floral, spicy, caramelly, lemony, herba dan earthy." Keasamannya terbilang rendah dan rasanya tidak terlalu pahit di lidah.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Sigararutang disebut Kopi Lintong padahal aslinya dia ditemukan di Paranginan? Alasannya sederhana. Sewaktu kopi itu ditemukan tahun 1988 di Paranginan, desa itu masih bagian dari Kecamatan Lintongnihuta. Karena itu nama "Lintong" terbawa sebagai identifikasi geografis.

Pengunjung Coffee Fest Toba menikmati sensasi minum kopi Sigararutang di sebuah kebun kopi sekitar Lokasi Wisata Sipinsur, Humbahas pada 2 Desember 2017 (Foto: Arjuna/tribunnews.com)
Pengunjung Coffee Fest Toba menikmati sensasi minum kopi Sigararutang di sebuah kebun kopi sekitar Lokasi Wisata Sipinsur, Humbahas pada 2 Desember 2017 (Foto: Arjuna/tribunnews.com)

Juru Selamat Ekonomi Petani

Sigararutang itu boleh dibilang "juru selamat" ekonomi petani kopi Humbahas khususnya, Kaldera Toba umumnya. Sejak penyakit karat daun meluluh-lantakkan kopi Arabika di Hindia Belanda tahun 1878, petani kopi mengalami masa lesu berkepanjangan. Tak terkecuali petani kopi di Humbahas, mulai dari Paranginan, Lintongnihuta, Doloksanggul, Pollung, Sijamapolang, sampai Onanganjang.

Sebagai pengganti Arabika, sebenarnya Pemerintah Hindia Belanda telah memperkenalkan kopi Robusta tahan karat daun tahun 1900-an. Tapi varietas itu kurang diminati petani. Soalnya preferensi pasar dunia condong kepada Arabika yang rasanya ringan dan tak terlalu pahit. Bukan pada Robusta yang rasanya kuat dan pahit. Harga pasaran Robusta pun lebih rendah dibanding Arabika.

Kemunculan tak terduga Arabika Sigararutang membuka fajar baru bagi ekonomi petani kopi Humbahas. Produktivitasnya yang terbilang tinggi dan berbuah sepanjang tahun memungkinkan petani mendapat penghasilan bulanan sepanjang tahun.

Tuturan seorang petani kopi Sigararutang di Lintongnihuta tahun 2017 bisa memberi gambaran. Dia punya 2,000 pohon kopi dalam areal sekirar 1 ha. Tiap minggu dia panen 100 kg biji kopi kering. Pada harga pasar Rp 25,000 per kg, dia memperoleh penghasilan Rp 2,5 juta/minggu, atau Rp 10 juta/bulan. Per tahun dia bisa meraih pendapatan total Rp 120 juta.[2]

Dengan penghasilan (bruto) Rp 10 juta per bulan, masuk akal jika kemudian petani kopi mampu membayar utang-utangnya. Entah itu utang sarana produksi ke kios, utang kepada kerabat kaya untuk biaya anak merantau, pinjaman ke koperasi/bank, dan sebagainya.

Luar biasanya, penghasilan dari kopi bisa digunakan untuk membayar utang saprotan padi sawah. Bisa dikatakan kopi mensubsidi padi di Humbahas. Sebab usahatani padi di sana umumnya bersifat subsisten, atau paling banter komersil gurem (petty commodity).

Begitulah asal-usulnya sehingga varietas kopi silangan Typica dan Catimor itu dinamai "Sigararutang" (sigarar = pembayar; utang = utang). Tak hanya memberi sekadar pendapatan, kopi itu juga menjadi andalan petani Humbahas mellunasi segala utang.

Kopi Sigararutang itu pula yang menjadi andalan petani menyekolahkan anak-anaknya. Tak hanya sampai lulus SMA tapi hingga lulus dari perguruan tinggi. Termasuk memodali anak "makan sekolahan" itu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji jauh di bawah Rp 10 juta per bulan. Ironis tapi menjadi PNS bergaji Rp 5 juta/bulan rupanya dianggap lebih terhormat ketimbang petani kopi berpenghasilan Rp 10 juta/bulan. 

Kini Sigararutang menjadi berkah tak hanya untuk petani Humbahas. Para petani kopi di kabupaten lain di lingkar Kaldera Toba dan di luarnyacjuga kini mengusahakan kopi Sigararutang. Bahkan petani kopi di luar Provinsi Sumatera Utara juga mulai mengusahakannya, semisal di Kabupaten Kerinci, Jambi.

Mencecap secangkir kopi Sigararutang di bibir dinding Kaldera Toba (Foto: tobaria.com)
Mencecap secangkir kopi Sigararutang di bibir dinding Kaldera Toba (Foto: tobaria.com)

Menjangkau Dunia tapi ...

Kini kopi Sigararutang telah menjangkau berbagai penjuru dunia. Di pasar internasional kopi Sigararutang dikenal dengan berbagai label antara lain Sumatra Blue Lintong, Sumatra Lintong Mandheling, Blue Batak, dan Sumatra Bean Coffee. Reputasinya kini menyamai kopi Mandheling dan Gayo yang telah mendunia lebih dulu.

Ekspor kopi Sigararutang kini sudah menjangkau berbagai negara di Eropah, Asia, dan Amerika. Khusus ekspor ke Amerika, sebuah perusahaaan swasta di Siborong-borong misalnya mengekspor 200 ton biji kopi kering per bulan ke Starbuck Amerika Serikat. Biji kopi itu disangrai Starbucks lalu dipasarkan lagi dengan label Sumatra dan Sumatra Decaf. Harganya Rp 95,000 per kemasan 250 gram. [3]

Harga tinggi kopi Sigararutang itu menjadikannya seperti "emas hitam". Kategori filter roasted beans manual brew misalnya di lokapasar bisa dihargai Rp 160,000 per 250 gram. Secangkir kopi Sigararutang di gerai Starbuck kini Rp 38,000 (Americano).

Suatu ironi kemudian tampil ke permukaan. Humbahas itu penghasil kopi Sigararutang terbaik. Tapi kedai-kedai kopi kelas "rakyat" di tepi jalan di sana tak menjual kopi Sigararutang. Alasannya karena harganya terlalu mahal. Sulit menjual secangkir kopi Sigararutang dengan harga Rp 10,000 - 20,000. Pelanggan lebih memilih kopi olahan lokal, varietas acak, dengan harga Rp 3,000 per gelas.

Ada anekdot begini. Seorang petani kopi Sigararutang tak mau mengolah biji kopinya untuk diminum sendiri karena harganya terlalu mahal. Dia memilih untuk menjual biji kopi itu, kemudian mampir ke kedai memesan secangkir kopi asalan seharga Rp 3,000 per gelas. 

Jelas ada masalah di hilir pada rantai bisnis kopi Sigararutang. Sektor hilir masih dikuasai perusahaan besar domestik dan luar negeri. Akibatnya, walau harga biji kopi Sigararutang tinggi, sebenarnya pengusaha hilirlah yang menikmati margin tinggi. Mereka yang menetapkan standar mutu, jenis produk olahan, dan harganya. 

Gambarannya begini. Harga biji kopi kering di tingkat petani di Humbahas kini sekitar Ro 300,000 per kaleng (13.3 kg), atau Rp 22.500/kg. Di tangan pengusaha hilir kopi itu diolah lalu dijual dengan harga Rp 90,000 - 150,000 per 250 gram, atau Rp 600,000/kg untuk varian termahal. Harga yang diterima petani Humbahas hanya 3.75 persen dari harga itu untuk per kilogram.

Tentang ironi itu, bisa dikatakan kopi Sigararutang kini telah menjangkau pusat-pusat ekonomi dunia, tapi meninggalkan mayoritas warga Kaldera Toba dalam status periferalnya di lingkup ekonomi lokal. 

Ya, periferalitas, keterpinggiran. Frasa itu tepat menggambarkan Humbahas yang mampu menghasilkan biji kopi "kelas dunia", tapi tak mampu memastikan warganya bisa membeli secangkir kopi "kelas dunia" itu.

Atau cafe dan hotel di sana hanya bisa menyajikan secangkir kopi Sigararutang yang mahal itu bagi tamunya yang ingin mencecap kenikmatan kopi itu sambil menikmati keindahan danau kaldera. Tidak bagi warga lokal yang berdaulat atas tanah tempat tumbuh kopi itu.

Karena itu sebuah gugatan bolehlah disampaikan kepada Pemkab Humbahas. Tidakkah lebih manfaat untuk mengembangkan agroindustri kopi Sigararutang -- juga sebenarnya andaliman dan haminjon -- ketimbang mengurusi food estate Pollung yang kini cuma jadi bahan pollung, obrolan kosong itu?

Pemerintah kabupaten sudah mulai membenahi hulunya, yaitu standarisasi dan sertifikasi benih dan bibit kopi Sigararutang. Tengahnya, budidaya, juga sudah mulai dibenahi agar sesuai kaidah-kaidah praktek baik pertanian. Tinggal kini sektor hilirnya, pengolahan dan pemasaran, yang perlu dibenahi agar lebih memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat dan daerah setempat.

Bila program hilirisasi itu dilakukan, maka tak akan ada lagi senyum kecut dari seorang pelanggan kedai kopi di Humbahas, saat ditanya apakah secangkir kopi yang diseruputnya Sigararutang? [eFTe]

***

Catatan Kaki:

[1] E-Indikasi Geografis Kopi Arabika Toba Sumatera ID G 000000063, 21 Desember 2017, ig.dgip.go.id

[2] "Toba, Kisah Kopi yang Mendunia", jelajah.kompas.id.

[3] "Kopi "Sigararutang" Tembus Pasar Internasional," antaranews.com, 10 Maret 2011; "Kopi Lintong Kini Dinikmati Petani," kpbn.co.id, 05 April 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun