Harga tinggi kopi Sigararutang itu menjadikannya seperti "emas hitam". Kategori filter roasted beans manual brew misalnya di lokapasar bisa dihargai Rp 160,000 per 250 gram. Secangkir kopi Sigararutang di gerai Starbuck kini Rp 38,000 (Americano).
Suatu ironi kemudian tampil ke permukaan. Humbahas itu penghasil kopi Sigararutang terbaik. Tapi kedai-kedai kopi kelas "rakyat" di tepi jalan di sana tak menjual kopi Sigararutang. Alasannya karena harganya terlalu mahal. Sulit menjual secangkir kopi Sigararutang dengan harga Rp 10,000 - 20,000. Pelanggan lebih memilih kopi olahan lokal, varietas acak, dengan harga Rp 3,000 per gelas.
Ada anekdot begini. Seorang petani kopi Sigararutang tak mau mengolah biji kopinya untuk diminum sendiri karena harganya terlalu mahal. Dia memilih untuk menjual biji kopi itu, kemudian mampir ke kedai memesan secangkir kopi asalan seharga Rp 3,000 per gelas.Â
Jelas ada masalah di hilir pada rantai bisnis kopi Sigararutang. Sektor hilir masih dikuasai perusahaan besar domestik dan luar negeri. Akibatnya, walau harga biji kopi Sigararutang tinggi, sebenarnya pengusaha hilirlah yang menikmati margin tinggi. Mereka yang menetapkan standar mutu, jenis produk olahan, dan harganya.Â
Gambarannya begini. Harga biji kopi kering di tingkat petani di Humbahas kini sekitar Ro 300,000 per kaleng (13.3 kg), atau Rp 22.500/kg. Di tangan pengusaha hilir kopi itu diolah lalu dijual dengan harga Rp 90,000 - 150,000 per 250 gram, atau Rp 600,000/kg untuk varian termahal. Harga yang diterima petani Humbahas hanya 3.75 persen dari harga itu untuk per kilogram.
Tentang ironi itu, bisa dikatakan kopi Sigararutang kini telah menjangkau pusat-pusat ekonomi dunia, tapi meninggalkan mayoritas warga Kaldera Toba dalam status periferalnya di lingkup ekonomi lokal.Â
Ya, periferalitas, keterpinggiran. Frasa itu tepat menggambarkan Humbahas yang mampu menghasilkan biji kopi "kelas dunia", tapi tak mampu memastikan warganya bisa membeli secangkir kopi "kelas dunia" itu.
Atau cafe dan hotel di sana hanya bisa menyajikan secangkir kopi Sigararutang yang mahal itu bagi tamunya yang ingin mencecap kenikmatan kopi itu sambil menikmati keindahan danau kaldera. Tidak bagi warga lokal yang berdaulat atas tanah tempat tumbuh kopi itu.
Karena itu sebuah gugatan bolehlah disampaikan kepada Pemkab Humbahas. Tidakkah lebih manfaat untuk mengembangkan agroindustri kopi Sigararutang -- juga sebenarnya andaliman dan haminjon -- ketimbang mengurusi food estate Pollung yang kini cuma jadi bahan pollung, obrolan kosong itu?
Pemerintah kabupaten sudah mulai membenahi hulunya, yaitu standarisasi dan sertifikasi benih dan bibit kopi Sigararutang. Tengahnya, budidaya, juga sudah mulai dibenahi agar sesuai kaidah-kaidah praktek baik pertanian. Tinggal kini sektor hilirnya, pengolahan dan pemasaran, yang perlu dibenahi agar lebih memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat dan daerah setempat.
Bila program hilirisasi itu dilakukan, maka tak akan ada lagi senyum kecut dari seorang pelanggan kedai kopi di Humbahas, saat ditanya apakah secangkir kopi yang diseruputnya Sigararutang? [eFTe]