Keputusan itu merespon laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2020) yang memasukkan ihan ke dalam Red List Status of Threatened Species dengan klasifikasi terancam punah (endangered). Lebih buruk dibanding tahun 1996, saat diklasifikasikan rawan punah (vulnerable).
Fakta memburuknya status ihan dalam Red List menunjuk pada gejala pertumbuhan negatif populasi ikan itu. Jika kondisi itu dibiarkan demikian terus maka, dalam belasan tahun ke depan, populasi ihan bisa kritis (critically endangered) atau bahkan punah dari habitat aslinya (extinc in the wild).
Jika hal itu terjadi, maka salah satu kekayaan biologis (hayati) khas Kaldera Toba hilang. Ihan, ikan kebanggaan orang Batak itu, hanya akan dikenal generasi mendatang dalam rupa narasi.
Ihan, Ikan Adat Batak Sejati
Di masa lalu ihan adalah jenis ikan adat, yaitu ikan yang dugunakan untuk keperluan adat dan atau ritual keagamaan asli. Jika tak berhasil menangkapnya, maka penggantinya adalah ikan pora-pora (wader, Barbodes binotatus). Sama-sama keluarga Cyprinidae, ukuran pora-pora jauh lebih kecil dibanding ihan. Di dalam air pora-pora sekilas terlihat seperti anakan ihan.
Dua spesies ikan itu, ihan dan pora-pora, memenuhi kriteria dengke simudur-udur, ikan yang senantiasa bergerak beriringan dalam hidupnya. Jika ikan itu diberikan hula-hula (pemberi istri) kepada boru (penerima istri), maka itu simbol doa dan berkat agar boru hidup seiring sekata.
Ihan, seperti disinggung tadi, terbilang sebagai "ikan raja" dengan nilai sosial, budaya, dan ekonomi paling tinggi dalam masyarakat Batak Toba. Nilai penting ikan itu tercermin dari nama “ihan” yang disematkan padanya. “Ihan” adalah ikan Batak. Ikan lainnya disebut “dengke” (ikan).
Secara sosio-antropologis, posisi ihan memang ditinggikan fungsinya dalam budaya Batak.
Pertama, ihan diposisikan sebagai hidangan raja. Maksudnya hidangan untuk raja huta, raja kampung dalam konteks struktur pemukiman asli Batak.
Kedua, ihan diposisikan sebagai sajian utama upa-upa, permohonan berkat kepada Mulajadi Nabolon. Dalam upacara adat perkawinan pihak hula-hula (pemberi istri) menyajikan arsik ihan kepada boru (penerima istri). Pemberian itu disertai doa agar boru hidup seiring sejalan, seperti dengke simudur-udur. Sehingga hidupnya bisa mencapai kualitas hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon (kemuliaan).
Upa-upa serupa juga dilakukan hula-hula kepada boru-nya yang baru luput dari musibah. Intensinya paulak tondi, mengembalikan roh (yang sempat "terbang") ke dalam tubuh, sehingga semangat hidupnya pulih kembali.