Berada di ujung utara Pulau Samosir, di sebuah pantai eksotis di Desa Sintadame, Simanindo, Batu Hoda adalah lambang cinta sejati hingga akhir hayat. Pantai itu sendiri kemudian dinamai Pantai Batu Hoda, sebagai kenangan akan seekor kuda betina yang setia menanti kekasihnya hingga mati membatu.
Dikisahkan oleh legenda, dahulu kala seekor kuda betina warna hitam berenang menyeberangi Tao Silalahi dari arah utara. Dia mendarat di pantai utara Pulau Samosir, tepatnya di Kampung Malau, bagian dari Desa Sintadame sekarang.Â
Kuda betina itu setiap hari berdiri saja di tepi pantai, memandang ke arah danau, seakan menunggu sesuatu. Ketika warga menanyainya, dia bilang sedang menunggu kedatangan kekasihnya, seekor kuda jantan merah, dari seberang danau. Mereka, katanya, sudah berjanji untuk bertemu di pantai itu.Â
Setelah bertahun-tahun menunggu tapi si kuda jantan tak kunjung datang, warga yang iba membujuk kuda betina itu agar kembali ke seberang. Sebab mungkin saja kuda jantan kekasihnya itu telah mati atau, lebih buruk lagi, kawin dengan betina lain.
Tapi kuda betina itu bergeming. "Aku akan tetap menanti di sini walau sampai mati membatu," katanya. Dan jadilah seperti itu. Kuda betina itu akhirnya mati membatu karena jantan kekasihnya tak kunjung datang.
Legenda itu kemudian dikisahkan berulang-ulang sebagai tudosan, pengibaratan kesejatian dan kesetiaan cinta seorang perempuan kepada lelaki kekasihnya. Faktanya perempuan Batak di masa lalu memang terkenal setia menunggu pulang suami atau kekasihnya yang pergi merantau tanpa kabar. Dahulu, ya, entah kalau sekarang.
Hasahatan
Tujuh batu yang dibeber di sini hanya sebagian kecil dari banyak batu yang punya legenda asal-usul sendiri di Kaldera Toba. Tapi apapun kata legenda, satu hal yang jelas, batu-batu itu adalah produk erupsi Gunung Toba puluhan atau ratusan ribu tahun lalu. Entah itu batuan dasar yang tersingkap atau, terutama, batuan lava dasit dan andesit yang mengalami pembekuan dan peretakan.
Legenda disematkan pada batu-batu itu sebagai wahana ajaran moral dalam masyarakat Batak. Semisal kebebasan memilih pasangan hidup (batu gantung), pelestarian lingkungan (batu basiha), larangan inses (batu maranak dan batu marompa), persatuan kerabat (batu hobon), kerukunan (batu guru), dan kesetiaan cinta (batu hoda).
Legenda dengan aroma mistis, atau sakralisasi, juga disematkan pada batu-batu itu untuk menjaga kelestariannya. Sakralisasi mencegah orang merusak batu-batu itu dan lingkungan sekitarnya.
Legenda dan sains sama-sama menyumbang nilai untuk eksistensi batu-batu itu. Legenda menyumbangkan nilai-nilai moral, sedangkan sains menyumbangkan pengetahuan ilmiah tentang asal-usul batu-batu itu.
Suatu saat bila mengunjungi batu-batu itu, maka tahulah kamu bahwa mereka lahir dari rahim Gunung Toba, padanya warga setempat menyematkan legenda sebagai ajaran nilai moral. (eFTe)