Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menggagas Riset Ekologi Manusia Kaldera Toba

15 Januari 2024   17:31 Diperbarui: 16 Januari 2024   09:15 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun kopi rakyat di bibir Kaldera Toba (Foto: ottencoffee.co.id)

"Bias wisata dalam pengembangan potensi Kaldera Toba harus dikoreksi dengan paradigma ekologi manusia."[Felix Tani]

Kaldera Toba adalah bangunan sains yang kompleks. Darinya baru secuil yang terungkap. Mungkin, bisa ditamsilkan, baru sebatas puncak menara gereja.

Tamsil menara gereja itu aku pikir cocoklah. Puncak menara gereja itu bagian terindah. Dialah yang tampak jelas dari jauh. Mengundang umat untuk datang beribadah ke situ.

Begitupun Kaldera Toba. Yang sudah terungkap dan tersiarkan ke dunia barulah puncak "menara" dari "gereja" sains Kaldera Toba. Bahwa Kaldera Toba itu adalah danau vulkanik terluas di dunia, hasil erupsi Gunung Toba pada 74,000 tahun lalu, terdahsyat sepanjang sejarah bumi. Dia juga danau terindah sejagad, hasil evolusi geologi, biologi, dan sosial-budaya Batak yang unik selama puluhan ribu tahun.

Puncak "menara" itu kemudian diangkat menjadi nilai jual Kaldera Toba. Dia dikemas sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas (DWSP) dan dipoles supaya mengkilap. Lalu ditawarkan ke pasar domestik dan global sebagai produk wisata kelas dunia. 

Dua organisasi non-kedinasan kemudian dibentuk untuk mengembangkan potensi wisata Kaldera Toba itu.

Pertama, Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT). Badan ini dibentuk tahun 2014 dengan status "geopark nasional" dan naik kelas tahun 2020 menjadi "geopark global UNESCO".

Sejatinya, sasaran BPGKT itu adalah konservasi lingkungan, pendidikan kebumian, dan pemberdayaan sosionomi lokal yang berkelanjutan.

Tapi jika dibaca Master Plan GKT, maka sasarannya adalah pengembangan geowisata Kaldera Toba di 16 geosite. Sedangkan konservasi, pendidikan, dan pemberdayaan disubordinasikan sebagai pendukung geowisata. 

Kedua, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), dibentuk tahun 2016 dengan status Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Parekraf.

Badan ini punya dua bidang wewenang (otoritas) yaitu pengelolaan dan pengembangan suatu resort Kaldera Toba (387 ha di Kecamatan Ajibata) dan koordinasi/sinkronisasi perencanaan dan pengembangan kawasan pariwisata lingkar Kaldera Toba.

BPODT membagi Kaldera Toba ke dalam 6 Key Tourism Area (KTA) yaitu Parapat (MICE), Balige (Urban Heritage), Muara (Geo-Culture), Pangururan (Geotourism), Merek (Nature), dan Simanindo (Culture). Keenam KTA tersebut berimpit dengan 16 geosite BPGKT.

Boleh dikata pengembangan Kaldera Toba kini bersifat wisata sentris. Wisata menjadi sektor pemimpin (leading sector). Apa saja diimbuhi wisata. Danau, pantai, batu, sawah, hutan, bukit, air terjun, kuliner, tekstil, budaya, dan sebagainya dipoles menjadi potensi wisata.

Event kelas dunia juga digelar di sana dalam kerangka penjenamaan wisata kelas dunia. Semisal kejuaraan dunia powerboat F1H2O dan kejuaraan dunia Jetski Aquabike tahun 2023 yang lalu. 

Pertanyaan kritisnya apakah pengembangan Kaldera Toba hanya soal wisata semata? Seolah manusia kaldera itu hanya hidup dari wisata? 

Bukankah, sebelum wisata ada, manusia Kaldera Toba sudah berjuang membangun sistem pertanian pangan, hortikultura, kehutanan, perikanan, industri kerajinan, dan perdagangan? Juga bukankah sudah mengembangkan budayanya, sistem nilai, lewat pembentukan dan pelestarian ragam pranata dan organisasi religi dan adat?

Saatnya kini mengoreksi bias wisata dalam pengembangan potensi Kaldera Toba. Suatu paradigma yang bersifat holistik, yaitu ekologi manusia, bisa mengoreksinya.

Dalam rangka koreksi itu juga, pengembangan Kaldera Toba mestilah berbasis riset saintifik. Dengan demikian suatu riset ekologi manusia kaldera harus dilakukan secara berkelanjutan di sana.

Seorang nelayan sedang mardoton, menjaring ikan di Danau Kaldera Toba (Foto: Facebook Laketoba samosir via bisnis.com)
Seorang nelayan sedang mardoton, menjaring ikan di Danau Kaldera Toba (Foto: Facebook Laketoba samosir via bisnis.com)

Teba Riset Ekologi Manusia Kaldera

Sebagai suatu ekologi manusia, Kaldera Toba merupakan hasil interaksi tiga pilar ekologi. 

Pertama, kebumian atau geografi fisik Kaldera Toba khususnya aspek-aspek rupa bumi (geomorfologi), tata-air (hidrologi), tanah (pedologi), dan iklim (klimatologi dan metereologi).

Kedua, organisme atau keragaman hayati, mencakup keragaman tetumbuhan (botani) dan hewan (zoologi) di Kaldera Toba.

Ketiga, manusia atau entitas sosial yang memiliki dan membangun budaya sebagai pedoman interaksi dengan kebumian dan organisme di sekitarnya. Budaya di sini mencakup unsur-unsur organisasi, pengetahuan, religi, pencaharian, teknologi, bahasa, dan seni.

Interaksi dan ko-evolusi triangular antara tiga pilar itu menghasilkan ekologi manusia Kaldera Toba sebagai resultannya. Rona ekologi manusia itu ditentukan oleh perubahan-perubahan internal pilar dan interaksi antar pilar. 

Sebaliknya juga begitu. Perubahan dinamis pada rona ekologi manusia membawa implikasi perubahan pada tiga pilarnya.

Ekologi manusia Kaldera Toba dengan demikian merujuk pada resultan interaksi triangular manusia dengan geografi fisik dan organisme sekitar, sebagai bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan hidupnya. 

Untuk lebih jelasnya, bisa diambil satu relung ekologi manusia sebagai contoh yaitu persawahan di lembah Tipang, Baktiraja Humbang Hasundutan. (Lihat foto di bawah ini).

Sebuah relung ekologi manusia Kaldera Toba di lembah Tipang, Baktiraja Humbang Hasundutan (Foto: calderatobageopark.org)
Sebuah relung ekologi manusia Kaldera Toba di lembah Tipang, Baktiraja Humbang Hasundutan (Foto: calderatobageopark.org)

Hamparan sawah di Tipang itu adalah pengolahan areal lembah (pilar: geografi) yang landai untuk budidaya tanaman padi (pilar: organisme dan budaya/teknologi). Karena konturnya landai, maka petani mencetak sawah dengan pola bertingkat di sana (pilar: geografi dan budaya/teknologi).

Untuk keperluan pengairan, warga Tipang membangun saluran irigasi menyusur dinding tebing (pilar: geografi dan budaya) dari daerah hulu Sungai Sipultakhoda. Warga Tipang membentuk lembaga gotong-royong sihali aek, penggali air (pilar: budaya) untuk mengelola, memelihara, dan memastikan saluran irigasi itu tetap berfungsi baik.

Kegiatan budidaya padi sawah itu dilakukan warga Tipang secara marsialapari, tolong-menolong (pilar: budaya). Mulai dari kegiatan penanaman, penyiangan, sampai pemanenan. Khusus kegiatan panen, warga memulainya dengan upacara mangamoti, makan bersama hasil panen pertama dengan lauk daging babi (pilar: budaya).

Pada kasus persawahan di Tipang itu, jika hendak dikembangkan dengan berbasis riset saintifik, maka paradigma ekologi manusia mempersyaratkan riset holistik. Mulai dari riset geografi fisik (tanah, tata-air, iklim), organisme (varietas padi, hama, gulma), dan budaya (struktur sosial, pola penguasaan tanah, moda produksi, organisasi produksi, teknologi, kearifan lokal, pola konsumsi, pasca-panen, dan pasar).

Berdasarkan hasil riset ekologi manusia yang bersifat holistik seperti itu, barulah dapat dirancang suatu program pengembangan pertanian padi sawah di Tipang. Tujuannya tentu saja untuk pembaruan teknologi, peningkatan produksi dan pendapatan, dan penguatan posisi tawar di pasar pangan.

Pada lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup kawasan Kaldera Toba, teba riset saintifik sebangun dengan riset relung ekologi persawahan di Tipang itu. Teba riset itu mencakup tiga pilar ekologi Kaldera Toba dan pola interaksi antara ketiganya berikut resultannya.

Pertama, riset geografi fisik Kaldera Toba: topografi atau bentang alam, tipe dan kondisi batuan/tanah (subur, sub-optimal, kritis) kegempaan/pergerakan tanah, tata-air, dan iklim/agroklimat.

Kedua, riset organisme Kaldera Toba: keaneka-ragaman tanaman pangan (padi sawah, padi gogo, jagung, ubi-ubian) dan sayuran (bawang, kubis, hewan dan ternak (peternakan), ikan (perikanan), tanaman perkebunan (kopi, andaliman, mangga, enau, dan sebagainya), tanaman hutan (kemenyan, kayu bangunan, dan lain-lain), sampai organisme pengganggu tanaman (hama, penyakit, gulma).

Ketiga, riset budaya manusia Kaldera Toba: struktur dan organisasi sosial, sistem pertanahan, religi, teknologi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, pola pemukiman, gerak penduduk, pasar, bahasa, dan kesenian. 

Sebenarnya topik-topik riset di atas sudah banyak juga digarap para peneliti dalam dan luar negeri sejak lama. Namun riset-riset itu bersifat disipliner, atau jika ada lintas-disiplin, jumlahnya tak banyak. Hasil-hasil riset itu memang menambah akumulasi pengetahuan dalam disiplin-disiplin ilmu tertentu. Tapi kurang memberi pengetahuan dan pemahaman holistik tentang Kaldera Toba.

Riset ekologi manusia dimaksudkan untuk meenghasilkan pengetahuan dan pemahaman holistik tentang Kaldera Toba. Sasarannya adalah pembentukan tubuh pengetahuan ilmiah tentang Kaldera Toba sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang bersifat holistik. 

Kebun kopi rakyat di bibir Kaldera Toba (Foto: ottencoffee.co.id)
Kebun kopi rakyat di bibir Kaldera Toba (Foto: ottencoffee.co.id)

Urgensi Pusat Riset Ekologi Manusia Kaldera Toba

Jika disepakati pentingnya riset ekologi manusia sebagai dasar pembangunan Kaldera Toba yang bersifat holistik, maka selanjutnya timbul pertanyaan tentang lembaga atau organisasi pelaksananya.

Dua organisasi pengelolaan potensi Kaldera Toba yaitu BPODT dan BPGKT jelas tidak memadai sebagai organisasi pelaksana riset semacam itu. Sebabnya, aktivitas BPODT terpumpun pada peningkatan dan pengembangan investasi pariwisata di kawasan Kaldera Toba.

Sementara BPGKT, walau punya divisi riset, aktivitasnya lebih terarah pada konservasi lingkungan, pendidikan kebumian, dan pemberdayaan sosio-budaya lokal.

Jelas juga bahwa riset ekologi manusia bukanlah kompetensi organisasi BPODT dan BPGKT. Kegiatan kedua organisasi itu lebih pada aspek praktikal ketimbang teori dan empiri.

Kegiatan riset ekologi manusia Kaldera Toba itu idealnya dikelola oleh suatu pusat riset di Perguruan Tinggi. Preferensinya adalah Perguruan Tinggi yang ada di sekitar kawasan Kaldera Toba. Dari sejumlah perguruan tinggi setempat, Institut Teknologi Del Laguboti tampaknya paling layak, dilihat dari segi kelengkapan sarana dan prasarana riset dan kedekatan dengan ajang riset.

Institut Teknologi Del sejauh ini juga sudah merintis program riset bioteknologi, khususnya tanaman obat, secara bekerjasama dengan Universitas Zhejiang, Tiongkok. Untuk keperluan riset itu suatu Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura di Pollung, Humbang Hasundutan. 

Artinya Institut Teknologi Del, walau sejauh ini fokus pada teknologi, memiliki potensi untuk membangun suatu Pusat Riset Ekologi Manusia Kaldera Toba. Pusat itu diproyeksikan sebagai rujukan utama untuk kepentingan perencanaan dan pembangunan Kaldera Toba yang bersifat holistik, tidak bias pariwisata.

Artikel ini hanya semacam penawaran gagasan untuk pembangunan ekologi manusia Kaldera Toba yang bersifat holistik dan berbasis riset saintifik. Tujuannya untuk menghindari bias sektoral, semisal bias wisata.

Bias sektoral semacam itu berisiko meminggirkan bidang-bidang kehidupan masyarakat kaldera yang telah ditekuni dan dikembangkan secara otonom sejak lama. Akibatnya pada suatu titik nanti mayoritas warga kaldera bisa saja teralienasi di Kaldera Toba. Dampak negatif semacam itu haruslah dicegah sejak dini. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun