Belum diketahui sejak kapan orang Batak mengenal budidaya tanaman padi. Mungkin saja sudah seusia kehadiran komunitas Batak pertama di lembah Sianjurmula-mula, di kaki Gunung Pusukbuhit di sisi barat kaldera.Â
Dalam kosmologi Batak disebutkan Boru Deakparujar, pencipta Tanah Batak, mendapatkan benih aneka tumbuhan dan bibit aneka hewan dari Dewata Mulajadi Nabolon. Lalu salah seorang putri Guru Tateabulan, generasi kedua Batak, diberi nama Boru Pareme, Dewi Padi. Itu mengindikasikan padi sudah dibudidayakan sejak generasi pertama Batak.
Tapi biarlah para arkeolog, dengan spesialisasi arkeologi pertanian, kelak menyingkap artefak tinggalan leluhur Batak untuk  memastikan usia budidaya padi dalam ekologi budaya Batak.Â
Untuk sementara ini disimpulkan saja padi itu adalah inti budaya asli Batak. Artinya padi sudah menjadi penciri utama agroekologi Batak di Kaldera Toba sejak awal.
Belum diketahui juga ragam varietas padi lokal yang dibudayakan orang Batak sejak, katakanlah, abad ke-13. Tapi sekurangnya sampai tahun 1980-an padi varietas lokal, yaitu padi dalam (umur panjang) dataran tinggi, masih meraja di lembah-lembah lingkar Kaldera Toba.
Seturut pengalamanku sebagai anak petani di Panatapan (pseudonim) Uluan Toba, warga kampungku tahun 1980-an masih menanam padi varietas lokal.Â
Di sawah ditanam varietas-varietas Sihamansan, Siperak (gabahnya berekor), dan Sirambe. Sedangkan di huma, lahan kering, ditanam antara lain varietas-varietas Siarias dan Sisidung yang berasnya aromatik.
Dalam masyarakat Batak Toba, produk olahan gabah/beras tak semata sasagun. Ada juga ombus-ombus atau lepat, kini oleh-oleh khas Siborong-borong. Atau tipa-tipa, emping beras, oleh-oleh khas Porsea. Serta dolung-dolung, kue putu bundar dibungkus daun bambu, oleh-oleh khas Parapat.
Tapi memang tak ada yang lebih fenomenal dibanding sasagun. Jenis kue kering berbentuk tepung gongseng ini telah menjadi penanda budaya untuk perayaan Natal dan Tahun Baru bagi orang Batak Toba. Dua hari besar itu dipersepsikan tidak sah apabila tak ada sajian sasagun di dalam rumah. Â
Pembuatan kue sasagun itu semacam ritual tersendiri bagi orang Batak. Prosesnya dimulai dua atau satu hari sebelum hari Natal tiba. Di kampungku dulu para perempuan, gadis-gadis dan ibu-ibu, mengawali pembuatannya dengan merendam beras selama 5 jam. Kemudian beras itu ditumbuk di lumpang kayu dan diayak menjadi tepung. Lazim dilakukan secara bersama, tolong-menolong khas komunitas agraris.
Tepung beras itu kemudian dicampur dengan kelapa parut serta gula enau -- gula ini opsional. Campuran itu lalu disangrai (tanpa minyak) dalam wajan, dengan nyala api sedang, sampai kering berwarna kecoklatan.Â