Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Organisasi, Pemimpin, dan Masa Depan Kaldera Toba

12 Desember 2023   06:58 Diperbarui: 13 Desember 2023   11:15 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika UNESCO memberi "kartu kuning" untuk Geopark Kaldera Toba (GKT) pada September 2023 lalu, ketakreprentatifan organisasi Badan Pengelola GKT (BPGKT) itu disebut sebagai salah satu kekurangannya.

Implisit di situ, pemimpin organisasi BPGKT tersebut juga takrepresentatif, atau setidaknya kurang representatif. Artinya tidak eligibel sebagai pimpinan BPGKT.

Boleh-boleh saja pimpinan BPGKT membela diri, atau bahkan membantah. Tapi "kartu kuning" dari UNESCO adalah indikator paling obyektif bahwa BPGKT tidak melakukan program aksi yang signifikan sejak 2020.

Implisit pihak UNESCO menganjurkan reorganisasi BPGKT, termasuk di situ opsi pergantian pimpinan. Sebab sudah terbukti BPGKT gagal menjalankan program aksi yang direkomendasikan UNESCO tahun 2020. Tak ada jaminan BPGKT yang sama akan mampu menjalankan rekomendasi UNESCO untuk menghindari "kartu merah".

Ringkasnya, tanpa reorganisasi BPGKT, dan pergantian pimpinan, kemungkinan besar GKT akan mengalami kemunduran. Risikonya UNESCO akan menjatuhkan "kartu merah". Dengan kata lain, GKT dikeluarkan dari keanggotaan Geopark Global UNESCO.

Tapi, entah kenapa, sudah empat bulan berjalan sejak "kartu kuning" dijatuhkan, belum juga ada inisiatif Gubernur Sumatera Utara (Sumut) untuk mereorganisir BPGKT dan mengganti pimpinannya.

Karena itu, sambil mendorong langkah reorganisasi BPGKT, ijinkan saya memberi masukan untuk pelaksanaannya.

Seorang penyanyi tradisional Batak dengan latar belakang dinding kaldera berupa Bukit Simargulang Ombun di Desa Tamba Dolok Samosir, Geopark Kaldera Toba (Foto: Tangkapan layar kanal YouTube
Seorang penyanyi tradisional Batak dengan latar belakang dinding kaldera berupa Bukit Simargulang Ombun di Desa Tamba Dolok Samosir, Geopark Kaldera Toba (Foto: Tangkapan layar kanal YouTube "Budaya Saya")

Organisasi "Double Peripheral"

Masalah utama organisasi BPKGT, yang membuatnya takrepresentatif, juga jadi lemah dan sulit bergerak, adalah statusnya yang bersifat double periflpheral. Penjelasannya begini.

Pertama, BPGKT periferal terhadap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut. 

Dibentuk tahun 2020 berdasar Pergub Sumut 48/2020, organisasi BPGKT itu ditempelkan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut. Ketua Umum dijabat oleh Kepala Disbudpar secara ex-officio. Sedangkan Ketua Harian dijabat Bupati Samosir, juga ex-officio.

Tugas BPGKT itu mengelola dan mengembangkan GKT. Rinciannya mencakup (Pasal 2 Pergub Sumut 48/2020):

  • Penataan dan pemeliharaan lingkungan geopark;
  • Pemanfaatan situs/warisan geologi serta keragaman geologi, hayati, dan budaya lokal;
  • Pengembangan ekonomi kreatif masyarakat kaldera;
  • Pengembangan destinasi wisata;
  • Pembangun amenitas dan infrastruktur pendukung wisata;
  • Penyediaan informasi keberadaan (visibilitas)'geopark;
  • Promosi nilai ilmiah geopark untuk wisata.

Pendanaan biaya kegiatan BPGKT itu dibebankan pada APBN, APBD Provinsi dan Kabupaten, serta sumber lain yang sah (Pasal 4 Pergub Sumut 48/2020). Tapi tidak ditetapkan mekanisme pelaksanaannya. Akibatnya dana BPGKT morat-marit.

Penempelan BPGKT seperti itu membuatnya menjadi subordinat Disbudpar. Implikasinya, program kerjanya dinomor-duakan. Ketua Umum, dalam statusnya sebagai Kepala Disbudpar lebih mengutamakan program kerja organik kedinasannya. Begitupun Ketua Harian lebih mengutamakan progam kerjanya sebagai bupati.

Akibatnya BPGKT dan program kerjanya menjadi terpinggirkan atau bahkan terlalaikan. Kalaupun dijalankan, program itu harus dipastikan mendukung tugas pokok dan fungsi Kadisbudpar Sumut atau Bupati Samosir.

Kedua, BPGKT periferal terhadap organisasi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).

Dibentuk tahun 2016 berdasar Perpres 49/2016, BPODT adalah Badan Layanan Umum  (BLU) Kementerian Parekraf. Tugasnya untuk melakukan percepatan pembangunan pariwisata terintegrasi di Kawasan Danau Toba, sebagai salah satu kawasan wisata strategis nasional atau Destinasi Wisata Prioritas Indonesia (Pasal 1). Secara garis besar wewenang BPODT itu mencakup dua jenis kegiatan berikut:

  • Otoritatif: perencanaan,
    pengembangan, pembangunan, pengelolaan, dan pengendalian di zona otorita Pariwisata Danau Toba target 500 ha);
  • Koordinatif: koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi perencanaan, pengembangan pembangunan, dan pengendalian investasi dan bisnis wisata di Kawasan Pariwisata Danau Toba (mencakup 7 kabupaten lingkar danau).

Healing dengan berendam di air danau di Geosite Situmurun Uluan, Geopark Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)
Healing dengan berendam di air danau di Geosite Situmurun Uluan, Geopark Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)

Diperhadapkan pada BPODT, maka BPGKT berada pada posisi periferal. Sedikitnya karena tiga alasan berikut.

Pertama, BPODT adalah organisasi pemerintah pusat di bawah Kementerian Parekraf, dengan dasar Perpres. Sementara BPKGT adalah organisasi pemerintah daerah propinsi yang ditempelkan pada Disbudpar, dengan dasar Pergub. Jadi sudah pasti kuasa dan wewenang BPODT jauh lebih besar dan luas dibanding BPGKT. 

Perhatikan bahwa BPODT punya fungsi otoritatif di atas kawasan Kaldera Toba dan fungsi koordinatif atas stakeholder investasi dan bisnis wisata di sana. Jelas bahwa BPGKT juga berada di bawah koordinasi BPODT.

Wilayah kerja BPODT dan BPGKT itu berhimpit yaitu kawasan Kaldera Toba. Kebijakan terkuat yang berlaku di kawasan itu adalah kebijakan BPODT, sebagai representasi pemerintah pusat.

Kedua, sebagai sebuah BLU pemerintah pusat, BPODT memiliki relatif otonomi, termasuk jaminan anggaran dari APBN untuk pelasanaan programnya. Tambahan lagi BPODT mengelola unit bisnis wisata di kawasan otoritanya. 

Sementara BPGKT tak punya otonomi karena dilekatkan pada Disbudpar Sumut. Selain itu juga tak punya jaminan anggaran baku baik dari APBN maupun APBD Propinsi dan Kabupaten. BPGKT juga tak punya unit komersil sebagai sumber pendapatannya.

Ketiga, fokus kegiatan BPODT adalah eksploitasi dan investasi untuk pengembangan potensi ekonomi wisata Kaldera Toba. Kegiatan ini relatif lebih menarik bagi stakeholder pemilik dana, khususnya investor, karena akan menghasilkan surplus langsung.

Sementara fokus BPGKT adalah konservasi kaldera dan pengembangan ekonomi rakyat setempat. Kegiatan ini kurang menarik bagi investor karena tidak menghasilkan surplus langsung, atau insentifnya terlalu kecil.

Sudah jamak ekploitasi oleh investor akan selalu dimenangkan terhadap konservasi oleh masyarakat sipil. Kegiatan BPGKT dengan demikian menjadi terpinggirkan, periferal.

Agar program-program aksi BPGKT dapat berjalan dengan baik, maka organisasi itu harus dibebaskan dari status periferal gandanya. Ringkasnya, BPGKT harus dijadikan organisasi otonom tingkat propinsi.

Caranya, Gubernur membentuk dulu Konsorsium Geopark Kaldera Toba (KGKT). Anggotanya tujuh kabupaten lingkar Kaldera Toba (Toba, Taput, Humbahas, Dairi, Karo, Simalungun, Samosir) ditambah Disbudpar Sumut, Dinas LHK Sumut, dan Bappeda Sumut. Berpedoman pada Pergub Sumut 48/2020, konsorsium kemudian membentuk organisasi BPGKT dan memilih pimpinannya. 

Entitas BPGKT itu, sebagai organisasi otonom, tetap bertanggungjawab kepada Gubernur. Tapi pertanggungjawaban diberikan lewat KGKT.

Bidang aktivitas BPGKT sebaiknya dipusatkan pada tiga bidang ini saja: penataan dan pemeliharaan lingkungan geopark; pemanfaatan situs/warisan geologi serta keragaman geologi, hayati, dan budaya lokal; dan pengembangan ekonomi kreatif masyarakat. 

Secara khusus kegiatan terkait wisata sebaiknya bersifat kolaboratif saja dengan BPODT. Sehingga tak ada tumpang-tindih atau bahkan persaingan dan konflik kegiatan.

Struktur organisasisasi BPGKT  sebaiknya simpel saja. Pimpinan tertinggi cukup seorang General Manager (GM). Di bawahnya ada Sekretaris Eksekutif dan empat Manager (Riset & Pengembangan; Konservasi Lingkungan; Pemberdayaan Masyarakat; Komunikasi dan Kerjasama). Lalu di lapangan ada 16 asisten manager untuk 16 geosite.

Pembentukan KGKT dengan sendirinya juga berimplikasi kontribusi dana dari setiap anggotanya untuk pembiayaan operasional BPGKT. Dengan demikian BPGKT mendapat jaminan anggaran untuk biaya rutin (head cost) dan biaya program (variable cost) untuk setiap tahun anggaran.

Untuk efisiensi dan efektivitas kerja, kantor BPGKT sebaiknya berada di tengah kawasan Kaldera Toba. Mungkin bisa di Parapat atau di Balige, untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi dengan BPODT (di Ajibata).

Saujana Gunung Pusukbuhit di Geosite Pusukbuhit-Sianjurmula-mula, Kaldera Toba (Foto: BPGKT, 2018)
Saujana Gunung Pusukbuhit di Geosite Pusukbuhit-Sianjurmula-mula, Kaldera Toba (Foto: BPGKT, 2018)

Pimpinan Kelas Dunia

Geopark Kaldera Toba itu anggota jaringan Geopark Global UNESCO. Karena itu GKT sejatinya geopark kelas dunia. Dengan demikian BPGKT seyogyanya adalah organisasi kelas dunia.

Karena merupakan organisasi kelas dunia, maka BPGKT juga semestinya dikepalai seorang pemimpin kelas dunia. Dengan pemimpin kelas dunia dimaksudkan adalah pemimpin yang memiliki visi transformsi "baik ke hebat" (J.C. Collins, 2001). 

Artinya, bagi seorang pemimpin kelas dunia, tak cukup menjadikan GKT "baik" (good) tapi harus "hebat" (great), tak ada duanya di dunia. 

Untuk mendapatkan pemimpin kelas dunia, maka seleksi pimpinan tertinggi BPGKT, katakanlah General Manager, oleh KGKT tak cukup hanya mempertimbangkan kriteria-kriteria kompetensi formal semisal riwayat pendidikan, bidang-bidang keahlian, dan daftar panjang pekerjaan terdahulu.

Lebih penting dari kompetensi formal adalah kapasitas kepemimpinan. Seorang pimpinan BPGKT semestinya memenuhi kriteria-kriteria dua jenis kapasitas  berikut.

Pertama, kapasitas pengendalian (steering capacity) yaitu kemampuan pengambilan keputusan terkait sasaran besar, strategi, kebijakan, dan program aksi pengelolaan dan pengembangan Kaldera Toba. 

Kapasitas ini bisa dinilai dari logika dan etika rencana pengelolaan dan pengembangan Kaldera Toba yang dipersiapkan seorang calon pimpinan. Apakah rencana itu masuk akal, realistis, dan dapat dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip geopark global? Dan apakah akseptabel secara geologis, ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya lingkup Kaldera Toba?

Kedua, kapasitas pelaksanaan (delivery capacity) yaitu kemampuan implementasi program kerja dan pemecahan masalah-masalah (problem solving) dalam proses-proses kegiatan di lapangan. 

Kapasitas ini bisa diukur dari praktek-praktek baik (good practices) yang pernah dijalankan seorang calon pemimpin dalam kegiatan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya lingkungan. 

Dalam konteks Kaldera Toba dapat diperiksa misalnya kisah-kisah sukses apa saja yang pernah dijalankan calon pemimpin dalam pengelolaan lingkungan hidup. Secara spesifik apakah punya kisah sukses misalnya dalam mencegah penebangan hutan, melakukan reboisasi, mencegah penambangan batu, pengendalian pencemaran danau, pelestarian situs geologi dan atau arkeologi, pengembangan usahatani konservasi, kerjasama pengelolaan kaldera, dan pemberdayaan komunitas lingkar kaldera?

Kisah-kisah sukses seperti itu sekaligus mencerminkan renjana (passion) seseorang calon pimpinan, bila misalnya terpilih menjadi General Manager BPGKT.

Untuk mendapatkan pemimpin kelas dunia bagi BPGKT, maka KGKT perlu membentuk panitia seleksi (pansel). Dengan skema seleksi terbuka untuk publik, pansel itulah yang bertanggungjawab menemukan seorang General Manager kelas dunia untuk BPGKT.

Salah satu sudut pantai Danau Toba di Geosite Balige-Meat, Geopark Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)
Salah satu sudut pantai Danau Toba di Geosite Balige-Meat, Geopark Kaldera Toba (Foto: calderatobageopark.org)

Hasahatan (Penutup)

Masa depan Kaldera Toba jauh lebih penting dari segala bentuk kepentingan individu dan kelompok atas kaldera itu. 

Kaldera Toba, dengan kekayaan geologi, biologi, dan budayanya adalah suatu komplek ekologi manusia. Kaldera Toba adalah ajang saling menghidupi antara lingkungan (geologi dan biologi) dan manusia (yang berbudaya).

Masa depan Geopark Kaldera Toba yang dibayangkan adalah geopark yang menjadi ekologi manusia terbaik di dunia. Suatu komplek ekologi yang tumbuh dan berkembang berdasar interaksi triangular saking-dukung antara kekayaan ekologi, biologi, dan budaya kaldera itu.

Karena itu saatnya kini setiap pihak menekan egonya sampai titik terendah, lalu mengambil langkah terbaik untuk masa depan Kaldera Toba. 

Tiga hal ini mendesak untuk dilakukan jika tak ingin GKT memvuruk lalu kena kartu merah UNESCO: reorganisasi BPGKT menjadi organisasi otonom tingkat propinsi, pembentukan Konsorsium GKT, dan pemilihan General Manager kelas dunia untuk BPGKT.

Kata sebuah umpasa Batak, "Hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni hata." (Memaksakan pendapat pribadi itu takwaras, kesepakatan bersama adalah yang terbaik). 

Semoga tulisan ini bukan "hata mamunjung hata lalaen". Tapi bisa diterima sebagai masukan untuk menjadi "hata torop sabungan ni hata".

Horas, Geopark Kaldera Toba! (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun