Wilayah kerja BPODT dan BPGKT itu berhimpit yaitu kawasan Kaldera Toba. Kebijakan terkuat yang berlaku di kawasan itu adalah kebijakan BPODT, sebagai representasi pemerintah pusat.
Kedua, sebagai sebuah BLU pemerintah pusat, BPODT memiliki relatif otonomi, termasuk jaminan anggaran dari APBN untuk pelasanaan programnya. Tambahan lagi BPODT mengelola unit bisnis wisata di kawasan otoritanya.Â
Sementara BPGKT tak punya otonomi karena dilekatkan pada Disbudpar Sumut. Selain itu juga tak punya jaminan anggaran baku baik dari APBN maupun APBD Propinsi dan Kabupaten. BPGKT juga tak punya unit komersil sebagai sumber pendapatannya.
Ketiga, fokus kegiatan BPODT adalah eksploitasi dan investasi untuk pengembangan potensi ekonomi wisata Kaldera Toba. Kegiatan ini relatif lebih menarik bagi stakeholder pemilik dana, khususnya investor, karena akan menghasilkan surplus langsung.
Sementara fokus BPGKT adalah konservasi kaldera dan pengembangan ekonomi rakyat setempat. Kegiatan ini kurang menarik bagi investor karena tidak menghasilkan surplus langsung, atau insentifnya terlalu kecil.
Sudah jamak ekploitasi oleh investor akan selalu dimenangkan terhadap konservasi oleh masyarakat sipil. Kegiatan BPGKT dengan demikian menjadi terpinggirkan, periferal.
Agar program-program aksi BPGKT dapat berjalan dengan baik, maka organisasi itu harus dibebaskan dari status periferal gandanya. Ringkasnya, BPGKT harus dijadikan organisasi otonom tingkat propinsi.
Caranya, Gubernur membentuk dulu Konsorsium Geopark Kaldera Toba (KGKT). Anggotanya tujuh kabupaten lingkar Kaldera Toba (Toba, Taput, Humbahas, Dairi, Karo, Simalungun, Samosir) ditambah Disbudpar Sumut, Dinas LHK Sumut, dan Bappeda Sumut. Berpedoman pada Pergub Sumut 48/2020, konsorsium kemudian membentuk organisasi BPGKT dan memilih pimpinannya.Â
Entitas BPGKT itu, sebagai organisasi otonom, tetap bertanggungjawab kepada Gubernur. Tapi pertanggungjawaban diberikan lewat KGKT.
Bidang aktivitas BPGKT sebaiknya dipusatkan pada tiga bidang ini saja: penataan dan pemeliharaan lingkungan geopark; pemanfaatan situs/warisan geologi serta keragaman geologi, hayati, dan budaya lokal; dan pengembangan ekonomi kreatif masyarakat.Â
Secara khusus kegiatan terkait wisata sebaiknya bersifat kolaboratif saja dengan BPODT. Sehingga tak ada tumpang-tindih atau bahkan persaingan dan konflik kegiatan.