"Tidak ada kedamaian alam yang menyimpan bencana seperti Kaldera Toba." -Felix Tani
Simangulampe, desa yang damai di ceruk bibir pantai Danau Toba di sebelah timur lembah Bakkara yang permai, tiba-tiba menjadi rura partangisan, lembah ratapan.
Jumat, 1 Desember 2023. Â Malam mulai merangkak di Simangulampe. Jarum jam berputar melewati angka angka 21.00 WIB. Warga sudah berangkat ke peraduan. Â
Di luar rumah, hujan deras tumpah dari langit Bakkara. Â Malam semakin gigil, warga semakin meringkuk dalam balutan selimut. Siap lelap menunggu fajar menyingsing esok pagi.
Sementara itu di hulu Sungai Sibuni-buni, yang bermuara di Simangulampe, alam bekerja mengikuti hukumnya sendiri. Â Curah hujan yang tinggi menaikkan debit air sungai, melebihi kapasitas alir badan sungai. Air melimpas, menumpas bendung-bendung batuan alam di alur sungai.Â
Bendung batuan itu, bagian dari dinding Kaldera Toba, tak kuat lagi menahan terjangan banjir.  Dinding bendungan  jebol, batuannya terbongkar lepas, lalu menunggang air bah ke hilir merupa banjir bandang. Â
Simangulampe di tengah malam itu tiba-tiba saja menemukan dirinya tertimbun lumpur, pasir, dan batu-batuan besar. Â Seorang warga ditemukan tewas, sebelas orang hilang, dan 14 rumah hancur berantakan.
Ketakutan, kepanikan, kebingungan, dan ratap-tangis melanda warga Simangulampe di kegelapan. Â Sisa malam masih panjang, tapi mata tak mungkin lagi terpejam.
***
Bencana banjir bandang bukan hal baru bagi warga di desa-desa lingkar Kaldera Toba. Terutama di desa-desa yang menempati lembah-lembah di sisi barat dinding kaldera. Desa-desa Turpuk Sihotang, Sitio-tio, dan Sabulan di pantai sebelah barat-laut Bakkara bukan satu dua kali mengalaminya.Â
Banjir bandang tertua yang diingat dan diceritakan turun-temurun mungkin terjadi di Sabulan. Â Korbannya adalah keturunan Si Raja Lontung, generasi keempat orang Batak, yaitu marga-marga Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritongan, dan Siregar. Banjir bandang itu mendorong migrasi keturunan Si Raja Lontung ke Samosir (Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan) dan Muara (Simatupang dan Aritonang).
Struktur geologis lembah dan perbukitan di sisi barat Kaldera Toba memang rawan longsor dan banjir bandang. Â Pertama, dari segi vegetasi, perbukitan di sisi barat danau itu umumnya gundul. Â Vegetasinya dominan belukar dan alang-alang. Tutupan hutan terbilang sempit. Di musim penghujan, kawasan miskin vegetasi itu rawan erosi yang berujung pada banjir bandang di lembah-lembah pemukiman.
Kedua, struktur geologis tanah perbukitan di sana terdiri dari batuan ignimbrit (muntahan material bumi waktu letusan gunung) dan bekuan tuff atau lava andesit dan dasit. Lewat proses-proses geomorfologis, sebagian batu itu terpatrikan (welded) menjadi  lempeng batu raksasa di bawah permukaan tanah. Sebagian lagi takterpatri (non-welded), bersifat retak-retak atau rapuh. Jenis batuan terakhir ini labil, rawan terbongkar oleh aliran air dan meluncur ke arah danau dalam rupa banjir bandang.
Struktur geologis Bakkara seperti itu. Jika berkendara turun dari Doloksanggul ke lembah Bakkara, pada tebing di sisi jalan tampak singkapan ignimbrit, batu apung, dan batuan endapan tuff dari letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Kaldera Sibandang). Menjelang Bakkara, Â akan tampak batu-pasir di dinding jalan, endapan abu vulkanik dari letusan 840,000 tahun lalu (Kaldera Porsea). [1]
Struktur batuan pembentuk dinding kaldera seperti itu sejatinya rawan longsor pada musim hujan besar, atau saat gempa, lalu mengalir sebagai banjir bandang ke hilir. Kondisinya semakin riskan apabila lapisan tanah di atas batuan itu, endapan abu vulkanik juga, miskin vegetasi. Â Entah karena top soil terlalu tipis, kebakaran, penambangan batu, bukaan perladangan, atau pembalakan hutan.
Itulah yang terjadi di Simangulampe pada awal Desember 2023 ini.  Batuan pada dinding kaldera  juga menjadi dinding badan sungai Sibuni-buni tergolong batuan lempung, hasil pelapukan batuan metamorf atau endapan abu vulkanik, yang berstruktur remukan atau terurai (non-welded).  Struktur remukan itu mungkin terjadi karena tekanan tektonik atau gempa bumi di masa lalu. [2]
Pada Jumat malam, 1 Desember 2023, itu curah hujan di hulu Sungai Sibuni-buni mencapai 41 mm/hari. Â Curah hujan ini menghasilkan debit aliran 20.3 m3/detik. Sementara kapasitas pengaliran normal sungai itu adalah 2,8 m3/detik. Â Akibatnya air melimpas menerjang dan membongkar batuan yang membendung aliran sungai lalu tiba di Simangulampe dalam bentuk banjir bandang. [3]
Tingginya debit aliran itu juga karena daerah tangkapan air (DTA) di hulu Sungai Sibuni-buni tergolong lahan kritis. Tata-gunanya mencakup 321 ha lahan kering dan 158 ha semak-belukar.  Seluas 151 ha dari area itu tergolong lahan kritis, 134 ha agak kritis, dan 193 ha potensil kritis.  Areal hutan di sana sangat sempit (95 ha), akibat penebangan dan pembalakan liar. [3]
Jelas banjir bandang di Simangulampe, juga di desa-desa lain sepanjang pantai barat Kaldera Toba, adalah resultan dari kondisi geologis dan ulah manusia. Â Struktur batuan yang rawan longsor, vegetasi yang terbuka, dan ulah manusia membalak hutan dan membuka areal pertanian tanpa mengindahkan kaidah konservasi telah meningkatkan risiko banjir bandang di musim hujan.
***
Kaldera Toba pada dasarnya adalah suatu ekologi manusia. Â Pola interaksi kekayaan geologis, biologis, dan kultural di sana akan menentukan apakah kaldera itu akan menjadi basis kehidupan dan kemajuan bagi penduduk, atau sebaliknya menjadi rura partangisan, lembah derita penuh ratapan.
Struktur geologis dan tutupan vegetasi kaldera itu sendiri sudah mengandung risiko bencana longsor dan banjir bandang. Manusia pemukim di sana, dengan budayanya, dapat berikhtiar dan melakukan langkah-langkah mitigasi atas potensi bencana tersebut. Â
Sejumlah langkah mitigasi bencana berikut kiranya dapat dilakukan secara kolaboratif antar berbagai stakeholder Kaldera Toba.
Pertama, penghentian secara permanen penebangan hutan (HPH) di lingkar Kaldera Toba. Â Kesepakatan luasan hutan di DTA Kaldera Toba adalah 143,840 ha (51% areal). Pada tahun 1985 tercatat luas hutan di sana adalah 78,558 ha (28% area). Â Tahun 2012, bukannya bertambah, malah berkurang menjadi 57,605 ha (15% area). Â Artinya kawasan darat Kaldera Toba semakin gundul, sehingga risikon banjir dan tanah longsor semakin besar. [1]
Kedua, reboisasi dinding kaldera dan perbukitan yang didominasi vegetasi semak-belukar dan alang-alang. Â Perbukitan terbuka dengan vegetasi pendek, walau tampak eksotis dengan julukan "bukit teletubbies", sejatinya menyimpan risiko longsor dan banjir bandang. Â Karena itu harus ada upaya reboisasi di sana, semisal dengan penanaman pohon-pohon buah-buahan. Â Sebagai contoh, dinding kaldera di Sigulatti, Sianjurmula-mula Samosir misalnya sudah mulai dihijaukan dengan pohon makadamia (macadamia nut).
Ketiga, pelarangan total penambangan batu dan pasir pada seluruh dinding Kaldera Toba. Selain merusak kekayaan geologis dan biologis, penambangan ini meningkatkan risiko instabilitas batuan dinding kaldera. Bencana longsor dapat terjadi dan merembet ke dinding kaldera sekitar pemukiman.
Keempat, pertanian berkaidah konservasi di dinding miring kaldera. Â Budidaya bawang merah di dinding kaldera misalnya wajib menerapkan teknologi terasering yang benar. Â Disamping juga dibarengi penanaman pohon buah-buahan untuk mengikat tanah pada kemiringan lereng.
Kelima, pendidikan mitigasi bencana alam di kawasan Kaldera Toba baik formal di sekolah-sekolah maupun non-formal di lingkungan komunitas-komunitas sosial setempat. Â Tujuannya untuk sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keselarasan tindakan manusia dengan lingkungan alam, khususnya lingkungan biologis dan geologis.
Sejatinya sudah ada suatu lembaga yang dibentuk untuk mengorkestrasi langkah-langkah mitigasi tersebut yaitu Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT). Barangkali kasus bencana Simangulampe bisa menjadi titik awal bagi BPGKT untuk proaktif meninisiasi dan mengorganisir program-program aksi mitigasi bencana alam kaldera tersebut. Â Tentu dengan melibatkan segenap stakeholder Kaldera Toba dalam perencanaan, pendanaan, dan pelaksanaannya.
Pada akhirnya, penting diingatkat, janganlah terlena oleh kedamaian hamparan danau biru dan perbukitan hijau. Â Sebab di dalam kedamaian itu bersembunyi risiko bencana banjir dan tanah longsor yang berdampak menghancurkan. Â Karena itu berjaga-jagalah selalu. (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] "Master Plan Geopark Kaldera Toba 2018-2030" (unofficial), BP-GKT, 2018.
[2] "Pakar Geoscience: Banjir Bandang Bakkara Murni Faktor Geologis Bukan Akibat Penggundulan Hutan", harianmistar.id, Â 4/12/2023.
[3] "Banjir Bandang Humbahas, KLHK Ungkap Area Daya Tangkap Air Kritis", cnnindonesia.com, 6/12/2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H