***
Kaldera Toba pada dasarnya adalah suatu ekologi manusia. Â Pola interaksi kekayaan geologis, biologis, dan kultural di sana akan menentukan apakah kaldera itu akan menjadi basis kehidupan dan kemajuan bagi penduduk, atau sebaliknya menjadi rura partangisan, lembah derita penuh ratapan.
Struktur geologis dan tutupan vegetasi kaldera itu sendiri sudah mengandung risiko bencana longsor dan banjir bandang. Manusia pemukim di sana, dengan budayanya, dapat berikhtiar dan melakukan langkah-langkah mitigasi atas potensi bencana tersebut. Â
Sejumlah langkah mitigasi bencana berikut kiranya dapat dilakukan secara kolaboratif antar berbagai stakeholder Kaldera Toba.
Pertama, penghentian secara permanen penebangan hutan (HPH) di lingkar Kaldera Toba. Â Kesepakatan luasan hutan di DTA Kaldera Toba adalah 143,840 ha (51% areal). Pada tahun 1985 tercatat luas hutan di sana adalah 78,558 ha (28% area). Â Tahun 2012, bukannya bertambah, malah berkurang menjadi 57,605 ha (15% area). Â Artinya kawasan darat Kaldera Toba semakin gundul, sehingga risikon banjir dan tanah longsor semakin besar. [1]
Kedua, reboisasi dinding kaldera dan perbukitan yang didominasi vegetasi semak-belukar dan alang-alang. Â Perbukitan terbuka dengan vegetasi pendek, walau tampak eksotis dengan julukan "bukit teletubbies", sejatinya menyimpan risiko longsor dan banjir bandang. Â Karena itu harus ada upaya reboisasi di sana, semisal dengan penanaman pohon-pohon buah-buahan. Â Sebagai contoh, dinding kaldera di Sigulatti, Sianjurmula-mula Samosir misalnya sudah mulai dihijaukan dengan pohon makadamia (macadamia nut).
Ketiga, pelarangan total penambangan batu dan pasir pada seluruh dinding Kaldera Toba. Selain merusak kekayaan geologis dan biologis, penambangan ini meningkatkan risiko instabilitas batuan dinding kaldera. Bencana longsor dapat terjadi dan merembet ke dinding kaldera sekitar pemukiman.
Keempat, pertanian berkaidah konservasi di dinding miring kaldera. Â Budidaya bawang merah di dinding kaldera misalnya wajib menerapkan teknologi terasering yang benar. Â Disamping juga dibarengi penanaman pohon buah-buahan untuk mengikat tanah pada kemiringan lereng.
Kelima, pendidikan mitigasi bencana alam di kawasan Kaldera Toba baik formal di sekolah-sekolah maupun non-formal di lingkungan komunitas-komunitas sosial setempat. Â Tujuannya untuk sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keselarasan tindakan manusia dengan lingkungan alam, khususnya lingkungan biologis dan geologis.
Sejatinya sudah ada suatu lembaga yang dibentuk untuk mengorkestrasi langkah-langkah mitigasi tersebut yaitu Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT). Barangkali kasus bencana Simangulampe bisa menjadi titik awal bagi BPGKT untuk proaktif meninisiasi dan mengorganisir program-program aksi mitigasi bencana alam kaldera tersebut. Â Tentu dengan melibatkan segenap stakeholder Kaldera Toba dalam perencanaan, pendanaan, dan pelaksanaannya.