Bencana banjir bandang bukan hal baru bagi warga di desa-desa lingkar Kaldera Toba. Terutama di desa-desa yang menempati lembah-lembah di sisi barat dinding kaldera. Desa-desa Turpuk Sihotang, Sitio-tio, dan Sabulan di pantai sebelah barat-laut Bakkara bukan satu dua kali mengalaminya.Â
Banjir bandang tertua yang diingat dan diceritakan turun-temurun mungkin terjadi di Sabulan. Â Korbannya adalah keturunan Si Raja Lontung, generasi keempat orang Batak, yaitu marga-marga Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritongan, dan Siregar. Banjir bandang itu mendorong migrasi keturunan Si Raja Lontung ke Samosir (Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan) dan Muara (Simatupang dan Aritonang).
Struktur geologis lembah dan perbukitan di sisi barat Kaldera Toba memang rawan longsor dan banjir bandang. Â Pertama, dari segi vegetasi, perbukitan di sisi barat danau itu umumnya gundul. Â Vegetasinya dominan belukar dan alang-alang. Tutupan hutan terbilang sempit. Di musim penghujan, kawasan miskin vegetasi itu rawan erosi yang berujung pada banjir bandang di lembah-lembah pemukiman.
Kedua, struktur geologis tanah perbukitan di sana terdiri dari batuan ignimbrit (muntahan material bumi waktu letusan gunung) dan bekuan tuff atau lava andesit dan dasit. Lewat proses-proses geomorfologis, sebagian batu itu terpatrikan (welded) menjadi  lempeng batu raksasa di bawah permukaan tanah. Sebagian lagi takterpatri (non-welded), bersifat retak-retak atau rapuh. Jenis batuan terakhir ini labil, rawan terbongkar oleh aliran air dan meluncur ke arah danau dalam rupa banjir bandang.
Struktur geologis Bakkara seperti itu. Jika berkendara turun dari Doloksanggul ke lembah Bakkara, pada tebing di sisi jalan tampak singkapan ignimbrit, batu apung, dan batuan endapan tuff dari letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Kaldera Sibandang). Menjelang Bakkara, Â akan tampak batu-pasir di dinding jalan, endapan abu vulkanik dari letusan 840,000 tahun lalu (Kaldera Porsea). [1]
Struktur batuan pembentuk dinding kaldera seperti itu sejatinya rawan longsor pada musim hujan besar, atau saat gempa, lalu mengalir sebagai banjir bandang ke hilir. Kondisinya semakin riskan apabila lapisan tanah di atas batuan itu, endapan abu vulkanik juga, miskin vegetasi. Â Entah karena top soil terlalu tipis, kebakaran, penambangan batu, bukaan perladangan, atau pembalakan hutan.
Itulah yang terjadi di Simangulampe pada awal Desember 2023 ini.  Batuan pada dinding kaldera  juga menjadi dinding badan sungai Sibuni-buni tergolong batuan lempung, hasil pelapukan batuan metamorf atau endapan abu vulkanik, yang berstruktur remukan atau terurai (non-welded).  Struktur remukan itu mungkin terjadi karena tekanan tektonik atau gempa bumi di masa lalu. [2]
Pada Jumat malam, 1 Desember 2023, itu curah hujan di hulu Sungai Sibuni-buni mencapai 41 mm/hari. Â Curah hujan ini menghasilkan debit aliran 20.3 m3/detik. Sementara kapasitas pengaliran normal sungai itu adalah 2,8 m3/detik. Â Akibatnya air melimpas menerjang dan membongkar batuan yang membendung aliran sungai lalu tiba di Simangulampe dalam bentuk banjir bandang. [3]
Tingginya debit aliran itu juga karena daerah tangkapan air (DTA) di hulu Sungai Sibuni-buni tergolong lahan kritis. Tata-gunanya mencakup 321 ha lahan kering dan 158 ha semak-belukar.  Seluas 151 ha dari area itu tergolong lahan kritis, 134 ha agak kritis, dan 193 ha potensil kritis.  Areal hutan di sana sangat sempit (95 ha), akibat penebangan dan pembalakan liar. [3]
Jelas banjir bandang di Simangulampe, juga di desa-desa lain sepanjang pantai barat Kaldera Toba, adalah resultan dari kondisi geologis dan ulah manusia. Â Struktur batuan yang rawan longsor, vegetasi yang terbuka, dan ulah manusia membalak hutan dan membuka areal pertanian tanpa mengindahkan kaidah konservasi telah meningkatkan risiko banjir bandang di musim hujan.