"Mentalitas Kaledonia Baru: Sekecil apapun peluang menang, hal itu bukan alasan kalah." -Felix Tani
Simak kata-kata kapten Kaledonia Baru U-17, Jythrim Upa merespon kekalahan 0-9 dari Brasil:
"... kami bangga bisa bermain lagi di piala dunia. Ini penampilan kedua kami sejak debut tahun 2017. Menurut saya, kehadiran kami di sini sangat positif untuk perkembangan sepak bola Kaledonia Baru."[1]
Sebelumnya Kaledonia Baru, wakil dari Oseania bersama Selandia Baru, telah digunduli 0-10 oleh Inggris di laga Grup C. Kalau Brasil diibaratkan telah membotakinya, maka Iran mungkin akan mengulitinya nanti.
Memang timpang. Di Grup C itu Kaledonia Baru ibarat pelanduk masuk sarang gajah.
Walau begitu para pemain dan pelatih Kaledonia Baru itu santuy saja. Pelatih utama Leonardo Lopez bahkan enteng saja menanggapi kekalahan timnya:
"Memang hasil yang sangat buruk, jumlah [kebobolan] terlalu banyak bagi sepak bola kami dan di sepak bola modern." [2]
Ya, mengapa pula harus diratapi. Terima saja faktanya. Inggris dan Brasil menang spektakuler dan itu artinya Kaledonia Baru juga kalah spektakuler.
Inggris, Brasil, dan Iran itu terbilang tim-tim papan atas. Kalah dari mereka adalah sebuah kebanggaan belajar. Seperti kekalahan Timnas Indonesia 0-2 dari Timnas Argentina juga dibangga-banggakan, bukan?
Tapi bangga dan sedih itu dua hal beda, ya. Anak-anak Kaledonia Baru itu tetap sedih. Ekspresi memelas kipernya, Nicolas Kutran mewakili kesedihan tim anak-anak remaja itu.Â
"Jadi kiper kok gini amat, ya." Mungkin begitu keluhnya karena harus memungut 19 kali bola yang bersarang di gawangnya.
Jangan dipikir anak-anak Kaledonia baru itu gak punya perasaan.