Sejak masa leluhur Batak abad ke-12 lalu, orang Batak sudah mengenal konsep lalo (gempa bumi) dan suhul (doa meredam gempa). Jika terjadi lalo maka warga akan meneriakkan mantra "Suhul!" berulang-ulang, agar gempa berhenti.Â
Dalam mitologi Batak dikisahkan dewata bumi, Rajapadoha telah diikat dan dipaku dengan pedang ke perut bumi oleh Boru Deakparujar, dewi pencipta tanah Batak (bumi).Â
Jika Rajapadoha menggeliat, maka terjadilah gempa. Warga meneriakkan mantra "Suhul!" dengan harapan Rajapadoha diam, takut bila suhul, gagang pedang ditekan semakin menusuk tubuhnya.
Makna mitos itu, orang Batak sebagai ahli waris Kaldera Toba harus siap hidup di atas jalur gempa bumi. Dalam arti mampu mengatasi dampak gempa yang hingga kini terjadi setiap tahun. Serta mampu mengelola tanah kaldera dengan kaidah-kaidah pelestarian.
Pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan diri sebagai manusia kaldera adalah keharusan bagi orang Batak yang hidup di sana. Dengan begitu mereka juga menerima tanggung-jawab sebagai pemanfaat dan pelestari utama keragaman geologis, biologis, dan budaya Kaldera Toba. Merekalah ahli waris penentu utama masa depan kaldera itu.
Tapi tentu saja tak hanya warga Batak (dan non-Batak) setempat. Pengunjung kaldera, yaitu para wisatawan, juga perlu diberi informasi secukupnya tentang asal-usul Kaldera Toba sebagai situs bencana global -- mengingat dampaknya yang mengglobal.Â
Di balik keindahan Danau Toba, para wisatawan perlu tahu mereka sedang berada di situs super volcano yang nyaris memusnahkan kehidupan di bumi.
Kini ada sekurangnya dua institusi khusus lingkup pemerintah yang bertanggung jawab pada pengelolaan Kaldera Toba.Â
Pertama, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang berorientasi pada eksploitasi potensi ekonomi wisata Kaldera Toba.Â
Kedua, Badan Pengelola Geopark Global Kaldera Toba (BPGGKT) yang berorientasi pada konservasi keragaman geologis, biologis, dan budaya Kaldera Toba.
Memang orientasi eksploitasi potensi ekonomi (BPODT) berdiri hadap-hadapan dengan orientasi konservasi alam dan budaya (BPGGKT). Namun dengan menempatkan kepentingan pelestarian dan pengembangan ekologi manusia Kaldera Toba sebagai simpul komunikasi, niscaya kedua institusi itu bersama kekuatan civil society setempat dapat bahu-membahu mewujudkan Kaldera Toba yang lebih menghidupi secara berkelanjutan. (eFTe)