Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Riset Skripsi di Tulangbawang Lampung Tahun 1984 (Bagian 6, Habis)

25 Oktober 2023   17:35 Diperbarui: 25 Oktober 2023   17:40 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Unit II Tulangbawang sekarang telah berkembang menjadi pasar modern. Jalan poros Tulangbawang yang melewati pasar ini telah menjadi ruas Jalintim Sumatra (Foto: rama/tabikpun.com)

Dari segi luas penguasan tanah, petani transmigran di Tulangbawang itu homogen. Sebab masing-masing keluarga mendapat jatah 0.50 ha lahan pekarangan dan 2.0 ha lahan perkebunan.

Karena itu tak ada gunanya mengambil sampel survei berdasar luas penguasaan tanah.  

Sebenarnya bisa saja kriteria samplingnya luas pengusahaan tanah.  Tapi itu harus didahului dengan sensus luas pengusahaan tanah dulu.  Itu mustahil dilakukan.  Populasi transmigran terlalu besar.

Karena alasan homogenitas itu, maka aku mengambil sampel secara acak sederhana saja.  Aku minta dulu daftar nama petani menurut kelompok tani kepada PPL di tiga UPT sampel.  Secara acak kemudian aku pilih dua kelompok tani sampel per UPT, sehingga didapat 6 kelompok tani sampel.  

Dari masing-masing kelompok tani aku pilih secara acak 5 petani sampel, sekaligus responden.  Maka dari 6 kelompok tani terpilih total 30 petani sampel sekaligus responden.  Aku tambahkan 1 petani lagi per kelompok tani sebagai cadangan -- mengantisipasi adanya pencilan (kasus ekstrim) pada 30 petani sampel.  Sehingga total petani sampel sekaligus responden adalah 36 orang petani transmigran.

Selesai pemilihan sampel, lanjut ke wawancara dengan petani responden.

Wawancara Petani Transmigran

Isi kuesioner untuk keperluan wawancara secara garis besar meliputi data demografis responden, luas pengusahaan tanah, data usahatani (jenis dan luas tanaman, jenis dan dosis saprotan, biaya usahatani, produksi usahatani, dan penjualan hasil usahatani), peranserta dalam kelompok tani, frekuensi ikut kegiatan penyuluhan pertanian, dan respon adopsi inovasi yang disuluhkan PPL.

Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat tertutup dan semi terbuka.   Bahasanya dibuat sesederhana mungkin, sehingga mudah ditangkap responden.

Untungnya semua responden lancar berbahasa Indonesia.  Itu sangat memudahkan proses wawancara.

Kesulitan dalam wawancara ini lebih pada penyesuaian waktu.  Tidak semua responden bisa diwawancarai siang hari.  Sebabnya petani transmigran umumnya bekerja di lahan pertanian pada siang hari.  Tidak etis jika harus mengabil waktu kerja mereka untuk wawancara.

Karena itu aku lebih sering melakukan wawancara pada malam hari.  Untuk memudahkan teknis pelaksanaan, aku minta tolong agar responden dapat kumpul bersama di rumah ketua kelompok tani. Berdua atau bertiga.  Sayangnya, responden terlalu bersemangat sehingga di tiga kelompok tani, responden datang berlima -- semua responden dalam satu kelompok.

Itu menjadi mimpi buruk karena satu kuesioner memerlukan waktu 1 jam wawancara.  Jadi aku harus wawancara non-stop 5 jam. Padahal idealnya wawancara itu adalah 3 responden per hari.  

Maka wawancara bisa berlangsung sampi dini hari.  Untungnya para responden itu tak keberatan.  Pembicaraan tetap gayeng. Mereka heppi-heppi saja.

Mungkin karena faktor konsumsi dan rokok yang disediakan atas biayaku sendiri.  Kopi, gorengan, dan rokok filter adalah "pemikat" yang bisa membuat pantat para responden lekat di bangku sampai dini hari.

Hal konsumsi dan rokok itu sudah kuperhitungkan sebelumnya.  Sebab kalau mau menggali data dari petani transmigran, jangan cuma modal congor saja. nanti mereka akan menjawab ogah-ogahan.  Kopi, gorengan, dan rokok akan membuat mereka menjadi sangat terbuka.  Bahkan mau menceritakan hal-hal yang tak ditanyakan tapi penting diketahui.

Wawancara dengan responden itu adalah bagian yang paling menguras energi. Beberapa kali aku harus bermalam seadanya di rumah transmigran karena sudah terlalu lelah dan mengantuk untuk pulang ke UPT IV.  Takutnya Binter tidak sampai ke pondokan, tapi mampir di selokan tepi jalan.

Mennonite Central Commitee

Dari responden di UPT IX aku mendapat informasi penting.  Selain mendapat penyuluhan dari PPL Transmigrasi, ternyata sebagian transmigran di unit itu jug mendapat penyuluhan pertanian dari LSM Mennonite Central Committe (MCC).  LSM MCC ini semacam utusan dari Gereja Anabaptis Mennonite yang berpusat di Kanada.  Gereja Anababtis itu Kristen tapi bukan Katolik bukan juga Protestan Reformasi. 

Mendapat informasi seperti itu, aku lalu mengunjungi kantor MCC di UPT IX. Ternyata kantornya merangkap rumah tinggal. Seorang aktivis MCC, orang Kanada, tinggal di situ bersama keluarganya. Dia memanfaatkan pekarangan untuk percobaan usahatani dan demonstrasi plot.

Aku mewawancarai aktivis MCC itu tentang program-program kerja penyuluhan pertanian yang dijalankannya di UPT IX. Pada intinya dia menjelaskan tujuan program-program MCC itu adalah peningkatan produktivitas usahatani dalam rangka mencegah rawan pangan di daerah transmigrasi.

Boleh dibilang kasus MCC ini sebagai serendipitas, temuan tak terduga.  Temuan itu memungkinkan aku untuk membanding kinerja PPL Transmigrasi dan PPL (aktivis) MCC di daerah transmigrasi. 

Pembandingan seperti itu tak direncanakan dalam proposal.  Temuan di lapangan itulah yang mendasari analisis perbandingan itu dalam laporan praktek lapang atau skripsi.

From Tulangbawang with Akar Pasakbumi

Setelah genap sebulan lamanya melakukan riset skripsi di Tulangbawang, akhirnya tiba waktunya aku pulang ke Bogor.  Ini bukan sesuatu yang menggembirakan.  Sebab aku sudah mulai menikmati menjadi bagian dari orang-orang transmigran.  Ingin rasanya tinggal di sana lebih lama lagi.

Tapi kalender akademik harus diikuti.  Prof. Sayogyo sudah berpesan bahwa aku harus lulus dan diwisuda pada bulan Mei 1984.  Itu artinya hanya tersedia waktu dua bulan untuk mengolah dan menganalisis data, seminar, menulis laporan skripsi, dan ujian skripsi. Jadi tak ada pilihan.  Dengan berat hati aku harus pulang.

Sehari sebelum pulang, aku teringat pesan teman-teman satu kost di Bogor.  Mereka minta dibawakan oleh-oleh akar pasakbumi (Eurycoma longifolia).  Konon akar pasak bumi itu berkhasiat sebagai obat kuat lelaki, peningkat stamina, dan pembangkit gairah.

Beruntung teman sekamar di pondokan tahu di mana bisa mendapatkan akar pasak bumi. Jadilah kami berdua hari itu blusukan ke hutan sekunder di UPT IV untuk mencari tanaman pohon itu.  Ketemu dua pohon ukuran sedang.  Segera kami menggali akarnya sampai satu meteran ke dalam tanah.

Sesuai namanya, akar pasakbumi itu tegak lurus menghunjam jauh ke dalam tanah.  Itu sebabnya disebut "pasak bumi". 

Besok harinya, setelah berpamitan dengan Mas Heri dan istrinya serta teman-teman di pondokan,  aku pulang kembali ke Bogor.  Di dalam ranselku ada dua akar pasakbumi, oleh-oleh untuk teman-teman.

Tapi tak urung terbit juga tanya dalan hatiku. Untuk apa teman-teman memesan akar pasakbumi? Bukankan mereka belum menikah? (Habis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun