Setelah genap sebulan lamanya melakukan riset skripsi di Tulangbawang, akhirnya tiba waktunya aku pulang ke Bogor. Â Ini bukan sesuatu yang menggembirakan. Â Sebab aku sudah mulai menikmati menjadi bagian dari orang-orang transmigran. Â Ingin rasanya tinggal di sana lebih lama lagi.
Tapi kalender akademik harus diikuti. Â Prof. Sayogyo sudah berpesan bahwa aku harus lulus dan diwisuda pada bulan Mei 1984. Â Itu artinya hanya tersedia waktu dua bulan untuk mengolah dan menganalisis data, seminar, menulis laporan skripsi, dan ujian skripsi. Jadi tak ada pilihan. Â Dengan berat hati aku harus pulang.
Sehari sebelum pulang, aku teringat pesan teman-teman satu kost di Bogor. Â Mereka minta dibawakan oleh-oleh akar pasakbumi (Eurycoma longifolia). Â Konon akar pasak bumi itu berkhasiat sebagai obat kuat lelaki, peningkat stamina, dan pembangkit gairah.
Beruntung teman sekamar di pondokan tahu di mana bisa mendapatkan akar pasak bumi. Jadilah kami berdua hari itu blusukan ke hutan sekunder di UPT IV untuk mencari tanaman pohon itu. Â Ketemu dua pohon ukuran sedang. Â Segera kami menggali akarnya sampai satu meteran ke dalam tanah.
Sesuai namanya, akar pasakbumi itu tegak lurus menghunjam jauh ke dalam tanah. Â Itu sebabnya disebut "pasak bumi".Â
Besok harinya, setelah berpamitan dengan Mas Heri dan istrinya serta teman-teman di pondokan, Â aku pulang kembali ke Bogor. Â Di dalam ranselku ada dua akar pasakbumi, oleh-oleh untuk teman-teman.
Tapi tak urung terbit juga tanya dalan hatiku. Untuk apa teman-teman memesan akar pasakbumi? Bukankan mereka belum menikah? (Habis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H