Karena itu aku lebih sering melakukan wawancara pada malam hari. Â Untuk memudahkan teknis pelaksanaan, aku minta tolong agar responden dapat kumpul bersama di rumah ketua kelompok tani. Berdua atau bertiga. Â Sayangnya, responden terlalu bersemangat sehingga di tiga kelompok tani, responden datang berlima -- semua responden dalam satu kelompok.
Itu menjadi mimpi buruk karena satu kuesioner memerlukan waktu 1 jam wawancara. Â Jadi aku harus wawancara non-stop 5 jam. Padahal idealnya wawancara itu adalah 3 responden per hari. Â
Maka wawancara bisa berlangsung sampi dini hari. Â Untungnya para responden itu tak keberatan. Â Pembicaraan tetap gayeng. Mereka heppi-heppi saja.
Mungkin karena faktor konsumsi dan rokok yang disediakan atas biayaku sendiri. Â Kopi, gorengan, dan rokok filter adalah "pemikat" yang bisa membuat pantat para responden lekat di bangku sampai dini hari.
Hal konsumsi dan rokok itu sudah kuperhitungkan sebelumnya. Â Sebab kalau mau menggali data dari petani transmigran, jangan cuma modal congor saja. nanti mereka akan menjawab ogah-ogahan. Â Kopi, gorengan, dan rokok akan membuat mereka menjadi sangat terbuka. Â Bahkan mau menceritakan hal-hal yang tak ditanyakan tapi penting diketahui.
Wawancara dengan responden itu adalah bagian yang paling menguras energi. Beberapa kali aku harus bermalam seadanya di rumah transmigran karena sudah terlalu lelah dan mengantuk untuk pulang ke UPT IV. Â Takutnya Binter tidak sampai ke pondokan, tapi mampir di selokan tepi jalan.
Mennonite Central Commitee
Dari responden di UPT IX aku mendapat informasi penting. Â Selain mendapat penyuluhan dari PPL Transmigrasi, ternyata sebagian transmigran di unit itu jug mendapat penyuluhan pertanian dari LSM Mennonite Central Committe (MCC). Â LSM MCC ini semacam utusan dari Gereja Anabaptis Mennonite yang berpusat di Kanada. Â Gereja Anababtis itu Kristen tapi bukan Katolik bukan juga Protestan Reformasi.Â
Mendapat informasi seperti itu, aku lalu mengunjungi kantor MCC di UPT IX. Ternyata kantornya merangkap rumah tinggal. Seorang aktivis MCC, orang Kanada, tinggal di situ bersama keluarganya. Dia memanfaatkan pekarangan untuk percobaan usahatani dan demonstrasi plot.
Aku mewawancarai aktivis MCC itu tentang program-program kerja penyuluhan pertanian yang dijalankannya di UPT IX. Pada intinya dia menjelaskan tujuan program-program MCC itu adalah peningkatan produktivitas usahatani dalam rangka mencegah rawan pangan di daerah transmigrasi.
Boleh dibilang kasus MCC ini sebagai serendipitas, temuan tak terduga. Â Temuan itu memungkinkan aku untuk membanding kinerja PPL Transmigrasi dan PPL (aktivis) MCC di daerah transmigrasi.Â
Pembandingan seperti itu tak direncanakan dalam proposal. Â Temuan di lapangan itulah yang mendasari analisis perbandingan itu dalam laporan praktek lapang atau skripsi.