Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Riset Skripsi di Tulangbawang Lampung Tahun 1984 (Bagian 5)

24 Oktober 2023   20:00 Diperbarui: 25 Oktober 2023   15:51 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menemukan informan kunci itu susah-susah gampang.  Sudah ketemu pun, belum tentu juga mudah ditemui.  Faktor kesibukan informan di luar rumah kerap menjadi kendala.

Ada dua kategori informan yang kuperlukan untuk riset skripsi. 

Pertama, tokoh formal di tiga UPT (I, II, IX) lokasi riset yaitu Kepala UPT dan PPL Transmigrasi setempat.  Kepala UPT diperlukan sebagai sumber informasi tentang kondisi dan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat transmigrasi di UPT-nya. Sedangkan PPL diperlukan untuk memberi informasi rencana, pelaksanaan, dan hasil kegiatan penyuluhan pertanian di UPT yang menjadi WKPP-nya. 

Kedua, tokoh informal di tiga UPT lokasi riset yaitu kontak tani dan ketua kelompok tani. Aku menemukan kontak tani dalam prakteknya juga adalah ketua kelompok tani.

Informasi tentang nama-nama kontak tani dan ketua kelompok tani itu aku dapatkan dari PPL.  Demikian juga dengan alamat tinggalnya. 

Setelah mendapatkan nama-nama informan dan alamatnya, maka selanjutnya adalah kunjungan ke rumahnya untuk wawancara informal.  Tanpa daftar pertanyaan atau kuesioner.  Hanya bermodal pensil dan buku tulis untuk mencatat isi pembicaraan.

Transmigran Asal Jawa Barat Kurang Tangguh

Dari hasil wawancara informal dengan para informan, aku mendapat gambaran umum kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat transmigran.  Juga tentang kondisi pertanian pangan setempat dan masalah-masalah yang menyertainya.

Aku mendapat informasi tentang bagaimana beratnya tahun-tahun awal transmigran tiba di Tulangbawang.  Betul bahwa setiap keluarga mendapat satu unit rumah dan 0,50 hektar lahan pekarangan di belakangnya. Lalu tiap keluarga juga mendapat 2.0 hektar lahan usaha perkebunan.  

Tapi jangan dikira rumah langsung dapat ditinggali dan tanah pekarangan langsung dapat ditanami.  Jangan tanya tentanh 2.0 ha lahan usaha yang masih berupa hutan sekunder.  

Perlu kerja keras, sangat keras.  Rumah masih harus dibersihkan dari tunggul-tunggul kayu.  Begitupun lahan pekarangan masih harus dibersihkan dari semak belukar dan pohon-pohon besar. 

Enam bulan pertama transmigran belum bisa menghasilkan apapun dari tanah pekarangannya. Itu sebabnya mereka diberi pemerintah jatah hidup (jadup). Bahkan ada kalanya para suami pergi ke Bandarlampung untuk cari nafkah tambahan di sektor informal.

Tak jarang pula timbul sengketa dengan penduduk lokal yang mengklaim lahan transmigrasi sebagai tanahnya.  Bukan sekali dua kali golok teracung ke udara sebagai upaya mempertahankan hak.

Daya tahan dan daya juang transmigran betul-betul diuji.  Bukan hanya dalam 6 bulan pertama, tapi juga selama satu tahun pertama.

Di situlah terlihat perbedaan daya tahan transmigran berdasar etnis.  Para informan menuturkan, transmigran yang paling gigih dan berhasil adalah orang Bali.  Mereka menunjuk pada transmigran bedol desa Bali di Banjaragung, termasuh UPT II sebagai bukti nyata.  Orang Bali di situ membentuk satu komunitas yang utuh seperti di kampung asalnya Bali.  Rumah-rumahnya bagus dan usahataninya subur.

Kegigihan orang Jawa Tengah berada di bawah orang Bali.  Orang Jawa lazimnya tekun bekerja.  Sedapat mungkin lahan pekarangan diusahakan sebagai sumber pangan pendukung, semisal singkong, ubi jalar, jagung, dan buah-buahan.

Transmigran yang paling rendah daya tahannya adalah orang Jawa Barat.  Terbukti transmigran asal Jawa Barat ini yang paling banyak kabur pulang kampung setelah jadup habis.

Mereka yang kabur pulang kampung itu akan menjual rumah dan lahannya kepada tetangga atau sesama transmigran.  Uangnya digunakan untuk ongkos pulang dan modal usaha di kampung asal.  

Kadang ada juga transmigran yang telah kabur itu mendaftar ikut transmigrasi lagi. Semata-mata untuk memperoleh jatah lahan, lalu menjualnya lagi kepada transmigran lain setelah jadup habis.  Itu curang, tapi banyak terjadi.

Perilaku semacam itu memungkinkan terbentuknya petani besar di daerah transmigrasi.  Di UPT IX seorang informanku, kontak tani, memiliki tanah seluas 12 hektar.  Dia membeli tanah itu dari para transmigran yang kabur pulang kampung.

Hal serupa juga terjadi di UPT I dan II. Bahkan bukan hanya antar transmigran, tapi juga pendatang yaitu orang Batak. Orang Batak ini awalnya datang sebagai pedagang pengumpul hasil bumi.  Tapi kemudian mereka juga membeli tanah jatah milik transmigran yang kabur pulang kampung. Demikian caranya orang Batak punya kebun karet (atau sawit) di daerah transmigrasi.

Sebuah Kecelakaan Tunggal

Hilir-mudik dari satu ke lain UPT lokasi riset, membuat aku menjadi akrab dengan motor Binter milik Mas Heri dan jalan-jalan penghubung antar UPT.  Sedemikian akrabnya sehingga aku menjadi lalai pada suatu ketika.

Waktu itu aku memacu Binter dari Unir IX ke Unit II.  Hari sudah sore.  Perut terasa lapar. Aku membayangkan seporsi tongseng kambing di sebuah warung makan di Pasar Unit II. Ah, sedapnya.

Sreet brak!

Binter yang kutunggangi tiba-tiba saja tergelincir lalu rubuh ke jalan.  Aku ikut terseret dengan kaki kanan tertimpa badan motor. Hasilnya tulang kering kaki kananku luka cukup dalam di dua titik.

Gara-gara membayangkan tongseng kambing, aku tak sadar melindas jalan berlumpur.  Maka terjadilah kecelakaan tunggal itu.  

Tak ada orang lewat. Juga tak ada rumah tinggal di situ.  Aku harus menolong diri sendiri.  

Motor kupacu lagi membawa luka di kaki

Tujuan berubah sedikit. Aku harus pergi dulu ke Unit I.  Di sana ada seorang Bu Dokter, satu-satunya dokter di SPT Tulangbawang. Aku harus mengobati luka-lukaku ke sana.  

Setelah berobat ke dokter, aku kembali ke Pasar Unit II.  Buat apa lagi kalau bukan makan tongseng panas?

Sambil makan nasi dan lauk tongseng, aku memikirkan rencana riset selanjutnya. Wawancara dengan informan sudah rampung. Informasi sudah redundan.  Tak ada lagi hal baru.

Selanjutnya adalah survei kuantitatif. Wawancara menggunakan kuesioner. Berarti aku harus memilih sejumlah responden dari kalangan transmigran.

Aku harus mempersiapkan diri masuk pada bagian yang paling melelahkan. 

Hari sudah petang. Dengan perut kenyang, kupacu Binter pulang ke pondokan di Unit IV. (Bersambung ke Bagian 6)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun