Sedih, kecewa, dan prihatin campur aduk. Gara-gara Geopark Kaldera Toba (GKT) mendapat "kartu kuning" dari UNESCO per September 2023 lalu.
Sia-sia rasanya perjuangan 9 tahun (2011-2020) untuk meyakinkan UNESCO, hingga  Kaldera Toba diakui sebagai anggota global geopark.
"Kartu kuning" dari UNESCO bukan tanpa dasar.  Revalidasi oleh tim asesor UNESCO (31 Juli - 4 Agustus 2023) menyimpulkan aksi pengelolaan dan pengembangan GKT oleh Badan Pengelola (BP) sangat minim.  Jauh dari rekomendasi  UNESCO saat meresmikan GKT sebagai anggota Global Geopark UNESCO (GGU) tahun 2020.Â
Implikasi "kartu kuning" itu sangat serius. Harus ada perbaikan pengelolaaan dan pengembangan GKT secara signifikan dalam satu tahun ke depan.  Jika tidak, maka GKT akan mendapat  "kartu merah" tahun 2024. Dengan kata lain dikeluarkan dari keanggotaan GGU. [1]Â
Bila hal itu sampai terjadi, betapa Indonesia dipermalukan di mata dunia. Â Dianggap tak becus mengelola situs warisan dunia.
Minimnya Aksi Pengembangan GKT
Fokus manajemen geopark adalah pengembangan diversitas geologi (geodiversity), hayati (biodiversity), dan budaya (cultural diversity) secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuannya kelestarian tiga diversitas itu dan, secara berkaitan, perkembangan ekonomi rakyat setempat.Â
Untuk itu pada tahun 2020Â UNESCO menyampaikan enam butir rekomendasi untuk dijalankan BPGKT. [2]Â Enam rekomendasi itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga gugus program.
[1] Gugus Riset dan Pengembangan:Â
- Riset dan pengembangan keterkaitan antara diversitas geologi, hayati, dan budaya. Termasuk diseminasi hasilnya kepada stakeholder wisata setempat (operator, pemandu, warga);Â
- Penguatan peran Geopark Kaldera Toba dalam kegiatan penelitian, konservasi, Â dan promosi budaya/bahasa penduduk asli setempat.
[2]Â Gugus Kemitraan:
- Kemitraan dengan stakeholder bidang akomodasi, transportasi, konsumsi, dan produksi barang/jasa lokal;Â
- Kesertaan dalam kegiatan dan kemitraan Global Geoparks Network (GGN) untuk promosi nilai-nilai  internasional Kaldera Toba.
[3] Gugus Pendidikan:
- Pendidikan tematik Geopark Kaldera Toba melalui kerjasama dengan Geopark UNESCO lainnya;Â
- Pendidikan tematik mitigasi bencara alam dan perubahan iklim di sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas lokal.
Sebenarnya rekomendasi UNESCO sangat gamblang. Â Badan pengelola GKT tinggal menurunkannya ke dalam program-program aksi spesifik.
Nyatanya tidak demikian. Â Merujuk website GKT, sepanjang tahun 2020-2023 tercatat hanya ada lima kegiatan BPGKT yang konsisten dengan rekomendasi UNESCO yaitu: [3]
- Sosialisasi pelestarian cagar budaya di kawasan geosite (Muara Sibandang, Tipang Bakkara, Simanindo)
- Edukasi geopark di sekolah sekitar geosite (SD Silahisabungan, SD Sianjurmula-mula, SMK Laguboti).
- Pengembangan UMKM Â di kawasan GKT (Onan/Bazaar).
- Sosialisasi mitigasi bencana alam dan perubahan iklim.
- Pelatihan pemandu wisata lokal.
Lima kegiatan itu bersifat insidental dan acak. Bukan bagian dari suatu program rutin yang bersifat periodik. Misalnya periode 2020-2024, sesuai masa berlaku status keanggotaan GGU.
Lain dari itu ada juga MoU dan perjanjian kerjasama BPGKT dengan organisasi mitra. Ada MoU kerjasama pengembangan potensi wisata, SDM, budaya, dan ekonomi rakyat (Serikat Media Siber Indonesia, Akademi Pariwisata ULCLA, Institut teknologi Del). Serta perjanjian kerjasama konservasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan transportasi (PT Horasindo Wisatanusa, Yayasan TB Silalahi Center, BPODT).
Tapi semua MoU dan Perjanjian Kerjasama itu masih di atas kertas. Belum ada realisasi yang signifikan.
Karena itu masuk akal jika UNESCO kemudian memberi "kartu kuning" untuk GKT. Aksi BP-GKT terkait rekomendasi UNESCO memang minim. Kebanyakan ikut konferensi, rapat koordinasi, festival, dan seremoni saja.
Rekomendasi Pencegahan "Kartu Merah"
"Kartu kuning" itu peringatan. Jika diabaikan maka bisa lanjut ke "kartu merah" (stop). Sebaliknya jika direspon positif, bisa berubah menjadi "kartu hijau" (jalan terus).Â
Pihak UNESCO ingin GKT meraih "kartu hijau". Untuk itu disampaikan tujuh butir rekomendasi peningkatan pengelolaan GKT dalam dua tahun ke depan. [4]
Pertama, pilih empat batuan dasar sebagai situs baru yang menggambarkan struktur batuan dari empat letusan utama pembentukan Kaldera Toba. Lengkapi dengan papan informasi yang gampang dipahami pengunjung biasa. Perbarui juga data 16 situs geologis yang sudah ada.
Kedua, identifikasi dan inventarisasi warisan alam, budaya, dan tak-benda yang belum ditetapkan di GKT.
Ketiga, peningkatan partisipasi pengelola GKT dalam kursus/pelatihan internasional tentang Global Geoparks yang difasilitasi UNESCO atau Global Geoparks Network (GGN).
Keempat, penguatan komunikasi intensif dengan pihak UNESCO untuk updating informasi terbaru tentang kebijakan, alur kerja, dan tugas-tugas suatu GGU.
Kelima, peningkatan eksposur GKT terutama di wilayah mitra geopark. Antara lain penambahan jumlah papan informasi, updating konten medsos dan website GKT, dan pengembangan versi Bahasa Inggris (dan lainnya) website GKT (bukan terjemahan mesin).
Keenam, penambahan logo GGN dan Asia Pacific Geoparks Network (APGN) -- selain logo Geopark dan GGU -- pada semua papan informasi, brosur promosi, pamflet, buku, dan peta GKT. Pastikan terjemahannya (Bahasa Inggris dan lainnya) akurat.
Ketujuh, penetapan kebijakan branding GKT dengan item-item yang rinci dan konkret untuk kemitraan "win-win" antara GKT dengan stakeholder. Untuk itu perlu dirinci kriteria kemitraan (a.l. tugas, hak, kewajiban). Juga diskusi dan pelatihan rutin kemitraan.
Jika dicermati, rekomendasi UNESCO tahun 2023 itu sangat spesifik, rinci, dan teknis. Bisa dibilang sebagai versi gampangnya rekomendasi 2020. Semua itu mestinya bisa dilakukan dalam setahun ke depan (Juli 2024), asalkan kapabilitas dan profesionalitas organisasi BP-GKT memadai.Â
Tapi justru hal kapabilitas dan profesionalitas organisasi itulah yang menjadi masalah utama.
Perlu Reorganisasi BP-GKT
Kaldera Toba ditetapkan Sidang Dewan Eksekutif UNESCO (Paris, 7 Juli 2020) sebagai GGU karena menunjukkan adanya keterkaitan intens antara diversitas geologis, hayati, dan budaya (tradisi) masyarakat setempat.
Keterkaitan dan kekayaan diversitas GKT itulah yang mesti dikembangkan secara berkelanjutan. Hal itu mempersyaratkan kehadiran suatu organisasi pengelola yang kapabel dan profesional.Â
Kapabilitas dan profesionalitas itulah agaknya yang minim pada BP-GKT. Disamping tujuh rekomendasi di atas, pihak UNESCO juga memberi catatan bahwa BP-GKT kurang representatif. Karena itu perlu dilakukan reorganisasi badan pengelola.
BP-GKT memang kurang representatif jika dinilai dari segi kapabilitas (delivery capacity) dan profesionalitas (etos dan keahlian kerja). Hal itu disebabkan tiga hal.
Pertama, BP-GKT bukan sebuah organisasi otonom, tapi lebih sebagai organ fungsional yang ditempelkan ke instansi pemerintah daerah yaitu Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Budparekraf) Sumatera Utara (Sumut).Â
Karena itu Ketua Umum BP-GKT dijabat secara ex-officio oleh Kepala Dinas Budparekraf. Ketua  Harian dijabat secara ex-officio dijabat Bupati Samosir (Periode 2020-2025). Ketua Umum, Ketua Harian dan jabatan-jabatan lainnya pada BP-GKT ditetapkan dengan SK Gubernur berdasar Pergub Sumut. [5]
Kedua, karena ditetapkan melalui mekanisme penunjukan, dan ketuanya adalah ex-officio, maka tak ada jaminan bahwa ketua-ketua dan pengurus Pada BP-GKT memiliki kompetensi dan profesionalitas di bidang manajemen geopark.Â
Selain itu bagi Ketua Umum dan Ketua Harian, jabatan di BP-GKT bersifat penugasan sampingan. Sudah pasti mereka fokus pada jabatan intinya (kadis dan bupati).
Ketiga, kapabilitas BP-GKT, khususnya kemampuan pelaksanaan program (delivery capacity) tidak optimal terutama karena keterbatasan dana. Dalam Pergub disebutkan sumber pendanaan adalah APBD Tingkat I dan Tingkat II. Tapi mekanisme alokasi dana tak jelas dan realisasinya tak optimal.
Bagaimanapun, implementasi rekomendasi UNESCO harus diawali dengan reorganisasi BP-GKT. Â Organisasi baru BP-GKT Â harus otonom serta kapabel dan profesional di bidang manajemen geopark.Â
Jika tidak, maka pengelolaan GKT tidak akan mengalami kemajuan. Sehingga "kartu merah" akan dijatuhkan tahun 2014.
Untuk mencegah hal itu terjadi, reorganisasi BP-GKT disarankan sebagai berikut.
Pertama, tanggung-jawab pengelolaan dan pengembangan GKT dipindahkan dari Pemprov Sumut ke suatu Konsorsium GKT yang diketuai Pemerintah Pusat, dalam hal ini bisa Kementerian Parekraf. Mungkin perlu Kepres sebagai dasar hukumnya.
Anggota konsorsium adalah instansi pemerintah pusat terkait (K-BUMN, K-Investasi, BRIN) dan pemerintah daerah terkait (Pemprov Sumut dan Pemda 7 kabupaten lingkar Kaldera Toba).
Kedua, Konsorsium GKT menetapkan struktur organisasi baru BP-GKT dan memilih pengurus inti BP-GKT Â (misalnya Direktur dan Kepala Divisi) melalui mekanisme fit and proper test. Itu untuk memastikan personalia BP-GKT adalah orang-orang yang kompeten dan profesional di bidang manajemen geopark, khususnya kaldera.
Ketiga, Â BP-GKT yang baru diberi wewenang dan tanggungjawab (oleh konsorsium) untuk merencanakan dan melaksanakan program-program aksi pengelolaan dan pengembangan GKT, khususnya memenuhi rekomendasi dari UNESCO. Â BP-GKT wajib menyampaikan laporan kinerja triwulanan, semester, dan tahunan kepada Konsorsium GKT.
Keempat, anggaran keuangan BP-GKT untuk biaya tetap (fix cost a.l. gaji) dan biaya program kerja (variabel cost) bersumber dari kontribusi masing-masing anggota Konsorsium GKT. Â Selain itu juga bisa dari sumber-sumber lain, termasuk kegiatan income generating, Â yang disetujui Konsorsium GKT. Konsorsium perlu membuat aturan mengenai anggaran keuangan ini.
Halo, Menparekraf!
Perlu gerak cepat untuk menyelamatkan GKT dari "kartu merah", atau dikeluarkan dari keanggotaan GGU. Untuk itu ada baiknya jika Menteri Parekraf Sandiaga Uno segera mengambil alih urusan manajemen GKT.Â
Halo, Pak Sandiaga!
Tolong, Pak. Segeralah bentuk Konsorsium GKT dan lakukan reorganisasi BP-GKT untuk memenuhi kaidah-kaidah otonomi, kapabilitas, kompetensi, dan profesionalitas dalam manajemen GKT.
Perjuangan mendapatkan pengakuan dunia (UNESCO) atas Kaldera Toba penuh dengan kesakitan.  Tapi kehilangan pengakuan dunia atas Kaldera Toba  sebagai anggota GGU, akan jauh lebih menyakitkan.  Bahkan, lebih dari itu, mempermalukan bangsa dan negara di mata dunia.
Holong do rohanami di ho, ale Kaldera Toba -- Kami cinta padamu, wahai Kaldera Toba. (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] "Status Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark Terancam Dicabut", voaindonesia.com (5/10/2023)
[2] "Enam Rekomendasi UNESCO untuk Pengembangan Kaldera Toba", CNN Indonesia.com (10/07/2020)
[3] Lihat website resmi GKT: calderatobageopark.org
[4] "7 Rekomendasi UNESCO soal Pengelolaan Geopark Kaldera Toba", detik.com (18/09/2023)
[5] "Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark Provinsi Sumatera Utara"; "Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/630/KPTS/2020 tentang Pengangkatan Personil Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BPTCUGGp) Provinsi Sumatera Utara".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H