Dari semua nomine K(ompasiana) Awards 2023, Ayah Tuah itu satu-satunya yang "kurang ajar".
Kenapa kubilang begitu?
Karena dia satu-satunya lansia kinyis-kinyis, anasir Late Baby Boomers yang tanpa kemaluan (=rasa malu) bisa-bisanya nyempil di tengah para Gen XYZ nomine K-Awards.  Coba, apa namanya itu kalau bukan  kegenitan.
Itu kan gak pantas banget. Mencemari reputasi ke-jaim-an kaum lansia Kompasiana.
Tapi, ya, sudahlah. Aku anggap Ayah Tuah mewakili para lansia yang akhir-akhir ini semakin tersisih di Kompasiana.Â
Yah, begitulah hukum regenerasi. Yang muda datang, yang tua senang. Siapa tahu bisa dapat  "daun muda", bukan?
Dan ...
... sejatinya Ayah Tuah adalah lansia seniman puisi sejenis itu. Maksudku, dia adalah pengharu-biru hasrat para gadis Gen YZ yang masih "hijau".
Coba simak larik puisinya ini:
"Aku tidak tahu tempat seperti apa
yang akan kita tinggali nanti
Sebuah pulau terpencil, dengan pantai berpasir putih, ombak yang tenang, laut yang jernih" (Sebuah Tempat Untukmu, Untukku, K.25-08-2023)
Gadis muda mana yang tak akan mabuk kepayang dengan kata-kata yang meniupkan hawa surga itu?Â
"Uda Ayah, bawalah daku pergi," rengeknya. Kubayangkan begitu.
Atau ini:
"Kau memandangku, tersenyum
Meledakkan magma dalam tubuhmu
Ruangan mendidih
Membentuk embun
Pada keningmu
Pada tubuhku" (Pada Sebuah Ruang, K. 12-08-2023)
Perempuan muda mana yang tak ingin pada posisi sarat gairah macam itu di hadapan Ayah Tuah?Â
Tentu, dalam kasus itu, Ayah Tuah mesti dibayangkan sebagai lelaki idaman setiap perempuan muda yang membuat para punggawa K-Pop BTS gigit jari.
Atau bait ini .... Ups, cukup. Nanti bisa kena aturan plagiat.
Aku hanya mau bilang: Semua pemuisi di Kompasiana hebat, tapi tak ada yang sehebat Ayah Tuah.Â
Tak ada yang bisa menyaingi Ayah Tuah dalam urusan jumlah keterbacaan puisi. Kecuali satu orang: Felix Tani dengan pseudo-puisinya yang menipu.
Aku sengaja sebut nama kompasianer Felix Tani di sini. Aku sendiri.
Sebabnya antara Ayah Tuah dan Felix Tani ada permusuhan serupa bara dalam sekam. Sewaktu-waktu tertiup kentut halus saja, langsung menyala dan menyalak.
Ada banyak perkara yang meniup-niup perseteruan itu sesewaktu. Tapi itu tak mungkin diceritakan di sini tanpa serasa mengiriskan bilah sembilu di atas luka lama. Hanya Joker yang bisa melakukannya sembari tertawa lebar.
Kukatakan pangkal soalnya saja.
Aku terlalu iri pada Ayah Tuah atas kesaktiannya menata diksi puitis. Sampai-sampai aku mengumpat: "Bajingan! Kenapa aku gak bisa seperti kamu!"
Sudah menjadi pilihanku memusuhi orang hebat. Sebab dengan cara itulah aku bisa melawannya sembari menyerap ilmunya.
Itulah yang kulakukan pada Ayah Tuah. Kumusuhi dia, kuseret-seret pada perseteruan tanpa ujung. Demi menyerap ilmu puisiologinya.
Hasilnya? Lumayan. Aku sudah bisa bikin judul yang menggoda. Isinya? Ojo takon!
Tapi imanku mengajarkan "cintailah musuhmu seperti kamu mencintai dirimu sendiri". Â
Maka sebagai sesama lansia aku mencintai Ayah Tuah seperti aku mencintai diri sendiri.
Kata "cinta" mungkin lebay, ya. Pakai kata "sayang" saja.
Sayangilah Ayah Tuah, lansia kompasianer itu. Kamu sayang pada kakek-nenek, ayah-bunda, atau suami/istrimu yang sudah lansia, bukan?
Buktikan itu dengan mem-vote hanya dan hanya Ayah Tuah sebagai Best in Fiction K-Award s2023. Itu tandanya kamu sayang pada lansia.
Seperti aku, lansia juga, sayang pada lansia bernama Ayah Tuah, seperti dia juga menyayangiku. Buktinya telah ku-vote dia.
Eh, sebentar. Aku dan Ayah Tuah saling menyayangi?Â
Bah, jijay kalipun itu. Emangnya kita laki lansia apaan, ya Uda. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H