Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Riset Skripsi di Tulangbawang Lampung Tahun 1984 (Bagian 3)

20 Oktober 2023   17:29 Diperbarui: 23 Oktober 2023   15:18 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu pojok pasar lama Menggala. Aku pernah lewat di sini saat berjalan menuju pelabuhan penyeberangan ke Cakatnyenyak (Foto: duniaindra.com)

Esok harinya, subuh aku sudah bangun. Langsung ke kamar mandi buang hajat sekalian mandi pagi.  Itu kebiasaanku, waktu itu.

Habis mandi dan bersalin, aku mengemasi barang bawaan ke dalam ranselku.  Lalu keluar kamar menuju ruang depan.  Di situ disuguhi pemilik losmen setangkup roti selai dan segelas teh manis hangat untuk sarapan.

Masih terasa lapar.  Aku turun ke bawah, ke arah jalan raya, lewat gang.  Mau cari warung makan.  Ketemu satu warung sederhana. Aku makan di situ, sekenyangnya.

Sekitar pukul 07.00 WIB, setelah membayar sewa kamar losmen, aku turun ke jalan raya.  Hanya beberapa menit setelah menyeberang, aku sudah duduk manis di dalam angkot menuju Terminal Rajabasa.

Tiba di Rajabasa, aku segera berjalan ke arah bus-bus yang sedang ngetem.  Lazimnya di terminal bus, calo-calo berebutan bertanya hendak kemana aku pergi.

"Mau pulang ke Menggala."  Aku menjawab begitu agar tak terkesan sebagai orang luar-Lampung yang gak tahu apa-apa. Membangun kesan bahwa aku ini tergolong "akamsi" (anak kampung sini).

Itu manjur.  Seorang calo dengan cukup ramah mengarahkanku ke satu bus tiga-perempat yang sedang ngetem. Di bagian atas kaca depannya tertulis "Rajabasa - Menggala".  Aman, tak salah lagi.

Dari Rajabasa ke Menggala

Setelah menunggu sekitar satu jam, bus bergerak ke arah utara menuju Menggala. 

Aku duduk di bangku samping jendela.  Tetanggaku seorang lelaki usia 30-an.  Dia orang Menggala, menurut pengakuannya. Kepadanya aku tanyakan berapa ongkus bus ke Menggala. Jadi aku tak akan tertipu atau ditipu calo atau kondektur lagi.

Aku mencoba menghitung kota-kota kecil yang dilewati bus dalam perjalanan ke Menggala.  Pertama ketemu Branti, lalu Gunungsugih dan Terbanggi Besar.  Selanjutnya Bandar Agung dan Gunungbatin.  

Agroekologi sepanjang jalan itu khas paduan Lampung dan Jawa.  Selang-seling perumahan, hutan karet, sawah, dan tegalan.  Hutan karet itu agroekologi khas Lampung.  Sedangkan sawah dan tegalan adalah agroekologi bentukan orang Jawa, generasi pertama dan kedua transmigran.

Saat bus tiba di Gunungbatin, penumpang sebelahku perjalanan ke Menggala mungkin sekitar satu jam lagi.  Dia orang Menggala dan pernyataannya benar.  

Saat turun di Menggala, penumpang tetangga dudukku itu memberitahu jalan menuju pelabuhan perahu klotok untuk menyeberang ke Cakatnyenyak.  Orang berniat baik memang akan ketemu dengan orang baik. 

Aku menyusuri trotoar di depan toko-toko pasar lama menuju pelabuhan.  Bangunan-bangunan tua sepanjang kiri-kanan jalan menandai usia kota itu.  Menggala termasuk kota tertua di Lampung.

Jarak dari pelabuhan Menggala ke pelabuhan Cakatnyenyak sebenarnya sangat dekat. Seberang-seberangan dipisahkan Sungai Way Cakat.  Hanya saja arus sungai itu terbilang deras, sehingga perahu harus menghilir dari Menggala ke Cakatnyenyak. Kalau ambil jalur lurus memotong sungai, perahu pasti akan terbawa ke hilir.

Sebenarnya sudah dibangun jembatan Way Cakat untuk menghubungkan Menggala dan Cakatnyenyak.  Tapi jembatan itu belum tuntas selesai, sehingga belum dioperasikan.

Perahu klotok merapat ke Pelabuhan Cakatnyenyak.  Para penumpang turun ke tepi sungai, lalu naik ke atas, ke tempat angkutan desa ngetem menunggu penumpang.

Dengan cepat angkutan desa itu sudah sarat penumpang.  Menurutku jumlahnya berlebihan, malah.  Aku duduk di bangku belakang, pada sisi kiri bak.  Isinya sesak, seperti juga bangku di sisi kanan.  Gang di antara bangku itu penuh dengan barang-barang bawaan penumpang, termasuk ranselku yang terbilang besar. 

Begitulah angkutan desa di daerah terpencil.  Semua penumpang dipaksakan masuk karena jumlah rit operasinya terbatas.  Kalau ketinggalan angkutan, ya, terpaksa harus bermalam di Menggala. 

Aku merasa diriku seperti ikan sarden dalam blek.  Sesak gak bisa gerak.  Setiap penumpang, laki-laki dan perempuan, seperti menjadi baji bagi yang lainnya. 

Aku sempat berpikir bagaimana kalau sampai kebelet kencing dalam perjalanan. Bagaimana  solusinya?  "Kenapa tadi aku tak mengantongi sebutir kerikil kecil?"  Aku menyesali diri telah melupakan kiat "anti-kencing" itu.

Dari Menggala ke Tulangbawang

Angkutan desa bergerak menuju Tulangbawang di utara Menggala. Jalan waktu itu masih berupa batu-batu besar disusun.  Belum diaspal.  Itu jalan kabupaten, atau mungkin propinsi?

Permukaan jalan yang tak rata membuat angkutan terguncang-guncang dengan hebatnya.  Semula aku mencoba melawan arah ombang-ambing tubuh.  Tapi segera kurasakan pegal di pinggang.  Jadi kubiarkan saja tubuhku terpontal-pontal di dalam angkutan, seperti juga tubuh-tubuh para penumpang lain.

Ajaib.  Goncangan itu membuat bangku terasa longgar, tidak sesesak waktu masih ngetem tadi.  Goncangan dan goyangan sepanjang jalan rupanya telah membantu pantat-pantat penumpang untuk saling menyesuaikan diri sehingga duduk menjadi lebih nyaman.

Aku mengamati koridor sepanjang kiri-kanan jalan.  Hutan karet, kebun kopi,  dan hutan sekunder semua.  Itu khas ekologi budaya tertutup orang asli Lampung. Tertutup dalam artian tanah ditutupi vegerasi berupa tanaman keras berumur panjang (perenial).

Setelah perjalanan yang cukup lama, menurut ukuran rasaku waktu itu, akhirnya angkutan memasuki ruas jalan beraspal. Kiri-kanan jalan tak lagi melulu tanaman keras.  Sudah ada tegalan atau lahan kering yang ditumbuhi tanaman palawija.  Nah, itu ekologi budaya terbuka -- tanaman pangan musiman usia pendek --  bawaan transmigran dari Jawa.  

Berarti angkutan sudah memasuki wilayah pemukiman transmigrasi Tulangbawang. Aku memastikan dengan bertanya kepada penumpang di sampingku. Dia, seorang bapak-bapak,  mengiyakan.

"Unit empat masih jauh," katanya saat kutanyakan posisi Unit 4 Pemukiman Transmigrasi Tulangbawang.  

"Tolong nanti aku diberitahu, ya, Pak."  Aku minta tolong. Bapak itu mengangguk.

Aku takut terlewat soalnya.  Menurut bapak itu Unit 4 akan dicapai lebih dulu.  Setelah itu Unit 2, selanjutnya Unit 1,  tujuan akhir angkutan desa yang kami tumpangi.

Aku tidak tahu sudah berapa lama terperangkap dalam angkutan desa itu. Tiba-tiba saja bapak yang duduk disampingku berteriak kepada supir.

"Pir, stop depan! Unit empat ada yang turun!" 

"Syukur kepada-Mu Tuhan, akhirnya aku sampai juga dengan selamat di antah berantah ini."  Aku bersorak dalam hati, bersyukur perjalanan dua hari dari Bogor ke Tulangbawang segera akan berakhir. (Bersambung ke Bagian 4)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun