Angkutan desa bergerak menuju Tulangbawang di utara Menggala. Jalan waktu itu masih berupa batu-batu besar disusun. Â Belum diaspal. Â Itu jalan kabupaten, atau mungkin propinsi?
Permukaan jalan yang tak rata membuat angkutan terguncang-guncang dengan hebatnya. Â Semula aku mencoba melawan arah ombang-ambing tubuh. Â Tapi segera kurasakan pegal di pinggang. Â Jadi kubiarkan saja tubuhku terpontal-pontal di dalam angkutan, seperti juga tubuh-tubuh para penumpang lain.
Ajaib. Â Goncangan itu membuat bangku terasa longgar, tidak sesesak waktu masih ngetem tadi. Â Goncangan dan goyangan sepanjang jalan rupanya telah membantu pantat-pantat penumpang untuk saling menyesuaikan diri sehingga duduk menjadi lebih nyaman.
Aku mengamati koridor sepanjang kiri-kanan jalan. Â Hutan karet, kebun kopi, Â dan hutan sekunder semua. Â Itu khas ekologi budaya tertutup orang asli Lampung. Tertutup dalam artian tanah ditutupi vegerasi berupa tanaman keras berumur panjang (perenial).
Setelah perjalanan yang cukup lama, menurut ukuran rasaku waktu itu, akhirnya angkutan memasuki ruas jalan beraspal. Kiri-kanan jalan tak lagi melulu tanaman keras. Â Sudah ada tegalan atau lahan kering yang ditumbuhi tanaman palawija. Â Nah, itu ekologi budaya terbuka -- tanaman pangan musiman usia pendek -- Â bawaan transmigran dari Jawa. Â
Berarti angkutan sudah memasuki wilayah pemukiman transmigrasi Tulangbawang. Aku memastikan dengan bertanya kepada penumpang di sampingku. Dia, seorang bapak-bapak, Â mengiyakan.
"Unit empat masih jauh," katanya saat kutanyakan posisi Unit 4 Pemukiman Transmigrasi Tulangbawang. Â
"Tolong nanti aku diberitahu, ya, Pak." Â Aku minta tolong. Bapak itu mengangguk.
Aku takut terlewat soalnya.  Menurut bapak itu Unit 4 akan dicapai lebih dulu.  Setelah itu Unit 2, selanjutnya Unit 1, tujuan akhir angkutan desa yang kami tumpangi.
Aku tidak tahu sudah berapa lama terperangkap dalam angkutan desa itu. Tiba-tiba saja bapak yang duduk disampingku berteriak kepada supir.
"Pir, stop depan! Unit empat ada yang turun!"Â