Keberangkatanku ke Tulangbawang tertunda sekitar dua minggu. Padahal proposal lengkap sudah disetujui dospem. Kelengkapan bahan dan alat kerja lapangan juga sudah siap.
Masalahnya ketersediaan dana belum mencukupi. Â Menurut hitunganku waktu itu, aku perlu dana Rp 200,000. Itu untuk ongkos perjalanan pergi-pulang ke Tulangbawang, biaya transportasi lokal, dan makanan sehari-hari.Â
Aku baru punya dana Rp 150,000. Sebenarnya itu bisa saja mencukupi. Â Asalkan ekstra hemat di lapangan.Â
Tapi aku ingin safe-lah. Kerja riset skripsi jangan sengsara-sengsara amat.  Makanan jangan  minimalis. Â
Karena itu selama dua minggu aku harus bergerilya mencari tambahan dana Rp 50,000. Â Mulai dari bantu-bantu rapat organisasi gerejawi sampai bantu-bantu pengolahan data proyek penelitian dosen. l Apa saja asalkan dapat uang halal.
Kerja keras tak mengkhianati hasil. Â Pada akhir bulan Januari 1984, dana sudah terkumpul total Rp 200,000. Â
"Tulangbawang! I'm coming!"  Eh, ke Bandarlampung dulu, ding.
Perjalanan ke Bandarlampung
Pagi-pagi di awal Februari 1984 aku memulai perjalanan ke Tulangbawang. Dari Terminal Baranangsiang aku naik bus "Garuda" lewat Jalan Tol Jagorawi ke Terminal Cilitan Jakarta Timur. Itu sudah biasa kulakukan.
Dari Cililitan lanjut naik bus kota PPD ke Terminal Grogol Jakarta Barat. Tiba di sana sekitar pukul 09.00 WIB.
Terminal Grogol tahun 1984 adalah arena survival of the fittest. Â Seorang penumpang bisa dikerubuti 2-3 calo bus. Â Ditanyai terus-menerus mau ke mana. Â Kalau kita bilang gak ke mana-mana, langsung dimarahi. Â "Kalau gak ke mana-mana jangan ke sini kau! Ini tempat orang mau pergi ke mana-mana!"