"Merak," jawabku pada dua orang calo. Â "O, sini, bang. Sini. Â Ini bus kita." Â Salah seorang sok akrab mengarahkanku ke sebuah bus yang sedang ngetem. Â
Dasar nasib mujur, penumpang sudah hampir penuh. Â Jadi tak perlu terlalu lama menunggu keberangkatan.
Barangkali belum pukul 10.00 WIB, bus sudah diberangkatkan. Â Busnya non-AC. Penumpang semacam mandi sauna rame-rame di dalamnya. Â Kaca jendela sudah dibuka, tapi tak banyak menolong juga. Udara panas malah menerobos masuk ke dalam bus.
Tiba di Balaraja -- waktu itu masih lewat jalan Daendels -- bus berhenti. Â Ternyata calo-calo Terminal Grogol tadi mengutip langsung ongkos dari penumpang. Â Sejumlah penumpang protes karena ongkos tarikan calo lebih tinggi dari tarif normal. Â Terjadi pertengkaran-pertengkaran antara penumpang dan calo-calo.Â
"Kalau gak mau bayar segitu, turun di sini," ancam calo. Â Para penumpang kecut, pasrah diperas calo. Â Termasuk aku, new kid in the bus. Â Sompret, memang. Tapi sudahlah. Yang penting, selamat di jalan.
Bayangan tubuh sudah pindah ke sisi timur saat bus tiba di Pelabuhan Merak. Â Kami, penumpang, Â berebutan turun lalu bergegas menuju loket penjualan tiket feri Merak-Bakauheni.
Aku beli tiket kelas ekonomi feri "Jatra", kapal "roro" (roll-on-roll). Â Itu artinya boleh duduk di mana saja kecuali di Kelas 1 yang ada kursi berjok empuk.Â
Tak jadi soallah itu. Sehari-hari juga sudah pakai kursi kayu di kampus dan kosan. Sampai pantat kapalan rasanya.
Sepanjang waktu penyeberangan dari Merak ke Bakauheni, aku memang lebih banyak mondar-mandir di atas feri.  Memandangi ombak Selat Sunda berkejaran. Mengamati anak Gunung  Krakatau dan Kepulauan Krakatau di kejauhan.
Kalau bosan kena terpaan terik dan angin laut di dek haluan, aku jalan-jalan ke arah buritan. Sambil lihat kiri-kanan, siapa tahu ada gadis yang mengajak senyum.
Malangnya, tak ada gadis yang tersenyum. Mahasiswa skripsian memang tak menarik. Bawaannya kemrungsung dan stres melulu. Gadis tak suka itu!