Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Riset Skripsi di Tulangbawang Lampung Tahun 1984 (Bagian 2)

19 Oktober 2023   20:09 Diperbarui: 20 Oktober 2023   04:18 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kapal penyeberangan feri rute Merak Banten - Bakauheni Lampung (Foto: Instagram ASDP 191 via jppn.com)

Keberangkatanku ke Tulangbawang tertunda sekitar dua minggu. Padahal proposal lengkap sudah disetujui dospem. Kelengkapan bahan dan alat kerja lapangan juga sudah siap.

Masalahnya ketersediaan dana belum mencukupi.  Menurut hitunganku waktu itu, aku perlu dana Rp 200,000. Itu untuk ongkos perjalanan pergi-pulang ke Tulangbawang, biaya transportasi lokal, dan makanan sehari-hari. 

Aku baru punya dana Rp 150,000. Sebenarnya itu bisa saja mencukupi.  Asalkan ekstra hemat di lapangan. 

Tapi aku ingin safe-lah. Kerja riset skripsi jangan sengsara-sengsara amat.  Makanan jangan  minimalis.  

Karena itu selama dua minggu aku harus bergerilya mencari tambahan dana Rp 50,000.  Mulai dari bantu-bantu rapat organisasi gerejawi sampai bantu-bantu pengolahan data proyek penelitian dosen. l Apa saja asalkan dapat uang halal.

Kerja keras tak mengkhianati hasil.  Pada akhir bulan Januari 1984, dana sudah terkumpul total Rp 200,000.  

"Tulangbawang! I'm coming!"  Eh, ke Bandarlampung dulu, ding.

Perjalanan ke Bandarlampung

Pagi-pagi di awal Februari 1984 aku memulai perjalanan ke Tulangbawang. Dari Terminal Baranangsiang aku naik bus "Garuda" lewat Jalan Tol Jagorawi ke Terminal Cilitan Jakarta Timur. Itu sudah biasa kulakukan.

Dari Cililitan lanjut naik bus kota PPD ke Terminal Grogol Jakarta Barat. Tiba di sana sekitar pukul 09.00 WIB.

Terminal Grogol tahun 1984 adalah arena survival of the fittest.  Seorang penumpang bisa dikerubuti 2-3 calo bus.  Ditanyai terus-menerus mau ke mana.  Kalau kita bilang gak ke mana-mana, langsung dimarahi.  "Kalau gak ke mana-mana jangan ke sini kau! Ini tempat orang mau pergi ke mana-mana!"

"Merak," jawabku pada dua orang calo.  "O, sini, bang. Sini.  Ini bus kita."  Salah seorang sok akrab mengarahkanku ke sebuah bus yang sedang ngetem.  

Dasar nasib mujur, penumpang sudah hampir penuh.  Jadi tak perlu terlalu lama menunggu keberangkatan.

Barangkali belum pukul 10.00 WIB, bus sudah diberangkatkan.  Busnya non-AC. Penumpang semacam mandi sauna rame-rame di dalamnya.  Kaca jendela sudah dibuka, tapi tak banyak menolong juga. Udara panas malah menerobos masuk ke dalam bus.

Tiba di Balaraja -- waktu itu masih lewat jalan Daendels -- bus berhenti.  Ternyata calo-calo Terminal Grogol tadi mengutip langsung ongkos dari penumpang.  Sejumlah penumpang protes karena ongkos tarikan calo lebih tinggi dari tarif normal.  Terjadi pertengkaran-pertengkaran antara penumpang dan calo-calo. 

"Kalau gak mau bayar segitu, turun di sini," ancam calo.  Para penumpang kecut, pasrah diperas calo.  Termasuk aku, new kid in the bus.  Sompret, memang. Tapi sudahlah. Yang penting, selamat di jalan.

Bayangan tubuh sudah pindah ke sisi timur saat bus tiba di Pelabuhan Merak.  Kami, penumpang,  berebutan turun lalu bergegas menuju loket penjualan tiket feri Merak-Bakauheni.

Aku beli tiket kelas ekonomi feri "Jatra", kapal "roro" (roll-on-roll).  Itu artinya boleh duduk di mana saja kecuali di Kelas 1 yang ada kursi berjok empuk. 

Tak jadi soallah itu. Sehari-hari juga sudah pakai kursi kayu di kampus dan kosan. Sampai pantat kapalan rasanya.

Sepanjang waktu penyeberangan dari Merak ke Bakauheni, aku memang lebih banyak mondar-mandir di atas feri.  Memandangi ombak Selat Sunda berkejaran. Mengamati anak Gunung  Krakatau dan Kepulauan Krakatau di kejauhan.

Kalau bosan kena terpaan terik dan angin laut di dek haluan, aku jalan-jalan ke arah buritan. Sambil lihat kiri-kanan, siapa tahu ada gadis yang mengajak senyum.

Malangnya, tak ada gadis yang tersenyum. Mahasiswa skripsian memang tak menarik. Bawaannya kemrungsung dan stres melulu. Gadis tak suka itu!

Matahari sudah condong ke barat ketika feri sandar di Pelabuhan Bakauheni.  Penumpang berebut turun.  Aku pilih bersabar di belakang barisan.  Takut terdorong lalu nyemplung ke laut.

Saat berjalan di selasar gedung pelabuhan, aku merasa ada gemuruh di lambungku. Astaga, ternyata aku belum makan siang. Tadi pagi, sebelum berangkat ke Jakarta, cuma makan semangkok soto kuning di Terminal Baranangsiang, Bogor.

Setelah mengisi perut di warung di sekitar pelabuhan, aku bergegas menuju terminal bus.  Di situ sudah ngetem bus-bus menuju Bandarlampung.  Tak perlu banyak tanya ini dan itu, dengan cepat aku sudah duduk manis di dalam bus jurusan Terminal Rajabasa, Bandarlampung.

Pemandangan di sepanjang koridor kiri dan kanan jalan menuju Bandarlampung tidak banyak berubah.  Masih seperti kondisi tahun 1982, saat aku dan kawan-kawan melewati jalan itu dalam rangka studi tour ke daerah transmigrasi. Vegetasi kebun pisang, kelapa, dan petak-petak sawah silih berganti sepanjang jalan.

Aku tak terlalu antusias mengamati agroekologi sepanjang jalan.  Mungkin karena agak mengantuk.  Dampak makan kenyang di pelabuhan Bakauheni tadi.

Hari sudah menjelang sore ketika bus memasuki Terminal Rajabasa.  Turun dari bus, aku agak bingung harus pergi ke mana. Tak mungkin langsung berangkat ke Tulangbawang sore itu.  Bus terakhir jurusan ke sana sudah berangkat dari tadi.

"Ada angkot yang lewat Gereja Katedral Katolik gak, bang?" Aku bertanya pada seorang calo angkot di terminal.  Dia langsung menunjuk ke arah satu angkot yang sedang ngetem.  

Aku segera naik ke angkot itu.  Kepada supirnya kupesankan aku mau turun di Gereja Katolik Katedral.  "Ya, di Jalan Kota Raja itu," kata supir itu.  

Aku bukan hendak menumpang tidur di gereja.  Cuma mau cari informasi kepada siapa saja yang ada di situ tentang penginapan murah.  

Turun di seberang gereja, aku menyeberang dan, dasar mujur, bertemu dengan seorang lelaki paruh baya.  Dia ternyata koster di Katedral itu. 

''Di Gang Taqwa samping masjid itu ada beberapa penginapan." Koster itu memberitahuku.  

Setelah mengucapkan terimakasih, aku menyeberang jalan dan masuk menyusuri gang.  Ternyata gang itu menanjak.   Itu akses ke pemukiman yang mengokupasi sebuah bukit.  

Di puncak bukit itu akhirnya aku menemukan sebuah losmen.  Tarif kamarnya, kalau gak salah ingat, Rp 2,500 per malam.  Kamar mandi di luar. Pagi hari dapat sarapan roti bakar dan teh manis.  Ya, sudah, bungkus!

Informasi Cara ke Tulangbawang

Malam hari, sebelum berangkat tidur, aku berbincang-bincang dengan lelaki usia 50-an pemilik losmen.  Aku mau cari informasi cara mencapai Tulangbawang.

Pemilik losmen itu memberi tahu aku harus naik bus jurusan Menggala dulu dari Terminal Rajabasa. Nanti dari Menggala naik perahu klotok menyeberangi sungai Way Cakat ke Cakatnyenyak.  Dari Cakatnyenyak lalu naik angkutan desa ke Tulangbawang.

Bapak pemilik losmen itu sedikit terheran-heran melihatku.  Agak tak masuk di akalnya ada mahasiswa dari Bogor pergi jauh-jauh ke pedalaman Tulangbawang hanya untuk bikin skripsi.  "Kenapa tak di sekitar Bogor saja?" tanyanya.  Aku hanya tertawa, tak memberi jawaban. 

Malam itu aku tidur nyenyak.  Mungkin karena sudah tahu cara untuk pergi ke Tulangbawang besok pagi. (Bersambung ke Bagian 3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun