Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sembilan Tahun Menjadi Penulis Tak Terkenal di Kompasiana

16 Oktober 2023   13:02 Diperbarui: 16 Oktober 2023   17:41 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku berpikir maka aku hidup."

Kompasiana itu adalah pasar tulisan. Maka berlaku di situ hukum ekonomi pasar. Tepatnya hukum permintaan dan penawaran.

Lantas siapakah pelaku pasarnya? Tentu saja ada produsen merangkap penjual tulisan. Mereka adalah kompasianer yang memproduksi dan menawarkan tulisannya di Kompasiana. 

Di sisi lain ada konsumen atau pembeli. Mereka adalah kompasianer dan non-kompasianer yang mengakses tulisan-tulisan di Kompasiana.

Lalu, tentu saja, ada pengelola pasar. Dia berperan mengatur lalu-lintas transaksi tulisan antara produsen dan konsumen. Dia adalah Admin Kompasiana.

Tingkat transaksi tulisan di pasar Kompasiana tergantung pada dua faktor yaitu  tingkat mutu tulisan (MT) dan tingkat selera khalayak (SK) pembaca.

Kemungkinan tipe transaksinya begini:

  • Tipe 1: MT Rendah x SK Rendah: pasarnya jeblok, minim pembaca;
  • Tipe 2: MT Rendah x SK Tinggi: pasarnya lumayan bagus, bisa masuk kategori tulisan favorit. 
  • Tipe 3: MT Tinggi x SK Rendah: pasarnya jeblok, minim pembaca. Tapi bisa juga jumlah pembacanya besar, jika diangkat Admin nenjadi Artikel Utama (AU);
  • Tipe 4: MT Tinggi x SK Tinggi: pasarnya meledak, apalagi kalau menjadi AU sekaligus artikel terfavorit.

Tentu saja selalu ada kemungkinan terjadinya anomali. Semisal ada tulisan Tipe 2 yang meledak, pembacanya puluhan bahkan ratusan ribu, karena dibagikan ke banyak medsos dan masuk google trend.

Tapi kalau bicara normalnya, ya, empat tipe transaksi tulisan di ataslah yang lazim ditemukan.

Implikasi tipologi itu begini. Tipe 1 dan 3 menghasilkan penulis tak terkenal di jagad Kompasiana. Sebaliknya Tipe 2 dan 4 menghasilkan penulis terkenal -- sekurangnya berpotensi begitu.

Menjadi terkenal atau tak terkenal dengan demikian adalah pilihan bagi kompasianer. Itu bukan takdir. Tapi sesuatu yang bisa diupayakan sendiri.

***

Aku sendiri, seorang kompasianer yang aktif menulis sejak 2014 atau selama 9 tahun, tergolong penulis tak terkenal. Padahal aku sudah menulis  total 1,921 tulisan. Rata-rata 213 tulisan per tahun. Atau 4 tulisan per minggu.

Jumlah total views untuk 1,921 judul tulisanku selama 9 tahun adalah 2,026,869. Itu artinya rata-rata 1,055 vews per tulisan. 

Hebat? Jangan tertipu oleh angka-angka. Keterbacaan yang tinggi itu adalah akumulasi sejak 2014 sampai 2023.  Jadi angka 1,055 views tadi menunjuk pada keterbacaan suatu tulisan selama 9 tahun. Artinya sebuah tulisan menjaring rata-rata 117 vews per tahunnya.

Jika satu tulisan diandaikan satu buku yang diterbitkan, maka itu berarti omset penjualan buku itu hanya 1,055 eksemplar selama 9 tahun. Omset buku best seller yang membuat penulisnya terkenal minimal 50,000 eksemplar dalam waktu sekitar 3 tahun. 

Tentu pengandaian di atas tak tepat-tepat amat. Tapi itu setidaknya dapat memberi gambaran mengapa aku tak bisa menjadi penulis terkenal di Kompasiana. 

Tapi, seperti kukatakan tadi, itu sejatinya adalah pilihan. Aku sebenarnya sejak awal telah memilih untuk  tak terkenal di Kompasiana.

Aku katakan begitu sebab dari awal memang telah kuniatkan menulis hal-hal yang bukan selera khalayak luas. 

Ada dua pertimbangan yang mendasari pilihan itu.

Pertama, topik yang menjadi selera khalayak menurut pengamatanku lebih pada isu-isu kekinian yang bersifat seketika. Seringkali juga dangkal. Semisal soal pilpres, pilgub, ujaran pejabat, fitnah oposan, dan polah selebriti. Itu adalah isu yang dengan cepat hilang "terbawa angin".

Aku lebih memilih topik yang bukan selera khalayak tapi akan selalu relevan dibaca lintas tahun. Mungkin, sedikit berlebihan, semacam topik klasik yang tak mudah lapuk dimakan waktu. Semisal soal etnisitas, nilai-nilai sosial, dan riset ilmiah.

Kedua, harus ada orang yang menulis tentang hal-hal yang menurutku penting, walau itu tidak diminati khalayak luas. Sekurangnya, dengan menulis hal semacam itu, aku sedang berusaha meyakinkan khalayak bahwa ada soal-soal yang tak populer tapi penting juga diketahui.

Sebab jika semua orang menulis tentang isu-isu kekinian yang sifatnya seketika, maka dunia literasi kita hanya akan menjadi semacam sungai yang dangkal beriak riuh -- sarat sensasi (noise). Bukan seperti sungai yang dalam berisi pergolakan di dasarnya -- sarat esensi (voice). 

Maka jadilah demikian. Tulisan-tulisanku di Kompasiana lalu terpumpun pada empat topik yang jauh dari selera khalayak yaitu:

  • Sosiologi Batak Toba: tulisan-tulisan sosiologis tentang kehidupan sosial, budaya, religi, ekonomi, dan politik masyarakat Batak Toba;
  • Sosiologi Kuburan: tulisan-tulisan sosiologis tentang kematian, kuburan, dan tradisi yang menyertainya dalam komunitas tertentu;
  • Penelitian Sosial: tulisan-tulisan tentang metode penelitian kualitatif, hasil penelitian, dan kritik saintifik terhadap pernyataan-pernyataan pejabat, politisi, pengamat, dan ilmuwan.
  • Humor Satiris: tulisan-tulisan humor yang menertawakan keadaan sosial dengan menempatkan diri sendiri sebagai "subyek yang ditertawakan". Ini bukan jenis humor yang disukai khalayak karena cenderung "serius" sehingga pembaca terkendala tawanya. Lagi pula khalayak cenderung lebih menyukai gosip, bullying, dan hoaks ketimbang humor.

Saat menulis empat topik itu, aku selalu menerapkan standar mutu pribadi. Harus senantiasa logis (rasional dan empiris), etis (tak merendahkan martabat pihak lain), dan (sedapat mungkin) estetis (dalam pilihan diksi dan gaya bahasa). 

Risiko menulis topik yang tak diminati khalayak, ya, jumlah pembacanya jeblok. Tak laku. Kecuali bila tulisan itu menjadi AU, mungkin arena Admin menghargai mutunya -- kebetulan kriterianya masuk.  Maka jumlah pembaca bisa terdongkrak. 

Tapi, keuntungannya, aku bisa hadir di Kompasiana sebagai "diri sendiri" (be my self). Aku bisa menulis topik yang aku minati dan kuasai menurut bahasa dan gaya tulisku sendiri. 

Aku tak perlu memusingkan diri dengan selera Admin Kompasiana dan khalayak pembaca. Menolak untuk didikte oleh kepentingan mereka. Aku penulis merdeka, bukan penghamba selera Admin dan khalayak.

Sekadar contoh, aku bisa sebut di sini dua tulisanku di Kompasiana yang menurutku "itulah-aku". 

Pertama, artikel "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak" (K. 25 April 2019). Isinya tentang filosofi "pohon kehidupan" orang Batak.  Tulisan ini menjadi AU dan meraih 4,052 views.  

Tulisan itu telah diterbitkan juga di "Courrier International" (19 Desember 2019), koran internasional yang berbasis di Paris, Perancis (Grup Le Monde) dengan judul "A Sumatra, l'arbre gratte-ciel au carrefour des mondes".  Juga terbit dalam "Courrier International" edisi Bahasa Belanda.

Kedua, artikel "Tragedi Sigapiton yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba" (K. 15 Agustus 2019).  Isinya mengulas konflik agraria antara warga Desa Sigapiton dan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba. dengan Tulisan ini menjadi AU dan meraih 20,110 views.

Tapi tentu saja ada tulisanku tentang isu yang menjadi perhatian Admin Kompasiana dan khalayak.  Itu karena kebetulan sesuai dengan minat dan kompetensi. Lazimnya aku ulas  dari sudut pandang yang tak umum.

Bahkan tak jarang aku juga menganggit tulisan picisan.  Misalnya puisi picisan "Puisi Si Butet Bau Tuak" (K. 30 Juni 2023) yang meraup 24,734 views. Atau "Indonesia U-23 Gagal Juara Piala AFF 2023, Tiada Maaf untuk Erick Thohir" (K. 27 Agustus 2023) yang panen 56,516 views. 

Dua artikel picisan itu telah memberi jumlah K-Rewards yang, yah, lumayanlah.  Apakah aku bangga?  Tidak, sebab tulisan itu gak aku banget.  Apakah aku senang?  Ya, jumlah pembaca dan K-Rewards yang cukup besar itu aku anggap sebagai hiburanlah. Aku tak perlu serius terus di Kompasiana, bukan? Sesekali iseng berhadiah, bolehlah.

***

Pertanyaan kritisnya,  mengapa aku bertahan sampai 9 tahun sebagai penulis tak terkenal di Kompasiana? Bahkan bukan hanya tak terkenal. Tapi juga sebenarnya tak dikenal profilnya.  

Tentang yang terakhir ini aku punya alasan sendiri.  Di dunia literasi aku punya prinsip begini:  baiklah jika tulisanku menjadi alasan bagi orang untuk mengenalku, bukan sebaliknya, aku menjadi menjadi alasan bagi orang untuk mengenal tulisanku.  Bukan aku yang penting, melainkan tulisanku.

Lantas mengapa aku tetap menulis walau tak terkenal?

Alasannya sederhana saja.  Prinsipku begini: aku berpikir maka aku hidup. Menulis bagiku adalah sebuah proses berpikir yang menghasilkan teks pikiran berupa tulisan. Tulisan itu, saat kuagihkan di Kompasiana, menjadi pengingat bagiku dan mudah-mudahan juga bagi pembaca bahwa "aku masih hidup".

Pada saat bersamaan, menulis di Kompasiana sekaligus memberi daya hidup untukku. Sebab kegiatan itu membuat aku memikirkan apa yang akan kutuliskan besok, lusa, atau tulat.  

Berpikir seperti itu pada hari ini, menjadi doa pengharapan untukku, bahwa aku masih akan hidup dalam satu, dua, atau tiga hari ke depan.

Jadi bila suatu ketika nanti tidak ada lagi agihan tulisan terbaruku di Kompasiana, maka rekan-rekan kompasianer sudah tahu kemana aku pergi.(eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun