Kedua, artikel "Tragedi Sigapiton yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba" (K. 15 Agustus 2019). Â Isinya mengulas konflik agraria antara warga Desa Sigapiton dan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba. dengan Tulisan ini menjadi AU dan meraih 20,110 views.
Tapi tentu saja ada tulisanku tentang isu yang menjadi perhatian Admin Kompasiana dan khalayak.  Itu karena kebetulan sesuai dengan minat dan kompetensi. Lazimnya aku ulas  dari sudut pandang yang tak umum.
Bahkan tak jarang aku juga menganggit tulisan picisan. Â Misalnya puisi picisan "Puisi Si Butet Bau Tuak" (K. 30 Juni 2023) yang meraup 24,734 views. Atau "Indonesia U-23 Gagal Juara Piala AFF 2023, Tiada Maaf untuk Erick Thohir" (K. 27 Agustus 2023) yang panen 56,516Â views.Â
Dua artikel picisan itu telah memberi jumlah K-Rewards yang, yah, lumayanlah. Â Apakah aku bangga? Â Tidak, sebab tulisan itu gak aku banget. Â Apakah aku senang? Â Ya, jumlah pembaca dan K-Rewards yang cukup besar itu aku anggap sebagai hiburanlah. Aku tak perlu serius terus di Kompasiana, bukan? Sesekali iseng berhadiah, bolehlah.
***
Pertanyaan kritisnya, Â mengapa aku bertahan sampai 9 tahun sebagai penulis tak terkenal di Kompasiana? Bahkan bukan hanya tak terkenal. Tapi juga sebenarnya tak dikenal profilnya. Â
Tentang yang terakhir ini aku punya alasan sendiri. Â Di dunia literasi aku punya prinsip begini: Â baiklah jika tulisanku menjadi alasan bagi orang untuk mengenalku, bukan sebaliknya, aku menjadi menjadi alasan bagi orang untuk mengenal tulisanku. Â Bukan aku yang penting, melainkan tulisanku.
Lantas mengapa aku tetap menulis walau tak terkenal?
Alasannya sederhana saja. Â Prinsipku begini: aku berpikir maka aku hidup. Menulis bagiku adalah sebuah proses berpikir yang menghasilkan teks pikiran berupa tulisan. Tulisan itu, saat kuagihkan di Kompasiana, menjadi pengingat bagiku dan mudah-mudahan juga bagi pembaca bahwa "aku masih hidup".
Pada saat bersamaan, menulis di Kompasiana sekaligus memberi daya hidup untukku. Sebab kegiatan itu membuat aku memikirkan apa yang akan kutuliskan besok, lusa, atau tulat. Â
Berpikir seperti itu pada hari ini, menjadi doa pengharapan untukku, bahwa aku masih akan hidup dalam satu, dua, atau tiga hari ke depan.