Duc in altum. Bertolaklah ke tempat yang dalam.
Sybrandus van Rossum, OFMCap, seorang pastor Gereja Katolik tiba di Balige, Tanah Batak pada 5 Desember 1934. Itu suatu peristiwa kedatangan yang terlambat 70 tahun di belakang Gereja Protestan.
Gereja Protestan mulai berkarya di Tanah Batak pada 7 Mei 1864. Ludwig Ingwer Nommensen, zending Gereja Lutheran (Jerman) dari Rheinische Missiongessellschaft (RMG), pada hari itu tiba di Tarutung. Hanya tiga minggu berselang, dia langsung membangun Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutadame (Batak, artinya Yerusalem) di kampung Saitnihuta. Setahun kemudian, tepatnya pada 27 Agustus 1865, Nommensen yang kemudian digelari Apostel Batak itu membaptis umat Protestan Batak pertama.
Tapi tak pernah ada kata terlambat untuk pewartaan Injil Tuhan. Terbukti misionaris Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFMCap), lazim disebut Kapusin, kemudian berhasil menjadikan Tanah Batak sebagai lahan misi tersubur senusantara. Pertumbuhan umat Katolik di sana tercatat sebagai yang paling cepat dan tinggi dibanding tanah missi lainnya.[1]
Semua itu bermula dari rintisan karya misi oleh seorang pastor Katolik berkebangsaan Belanda. Dialah Pastor Sybrandus van Rossum, OFMCap.
Bertolak ke Tempat yang Dalam
Sebuah peristiwa mukjizat dari masa 2,000 tahun lalu. Dikisahkan oleh Santo Lukas Penginjil (Lukas 5: 1-11).
Pada suatu pagi Yesus naik ke perahu Simon di tepian Danau Genesaret. Dari atas perahu Dia menyampaikan ajarannya kepada khalayak yang berkumpul di bibir pantai.
Seusai mengajar, Yesus berkata kepada Simon, ”Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”
Jawab Simon, ”Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Lalu Simon dan teman-temannya bertolak ke tengah danau. Mereka menebarkan jalan di situ. Saat mengangkatnya, mereka mendapati sangat banyak ikan besar yang terjaring, sampai-sampai jala itu nyaris koyak.
Setelah peristiwa itu, Yesus meminta Simon mengikutinya untuk menjadi penjala manusia. Maka jadilah Simon, kemudian dinamai Simon Petrus, menjadi murid pertama Yesus. Kelak dia juga menjadi paus pertama Gereja Katolik.
Mukjizat penjala ikan itu menjadi inspirasi dasar bagi kegiatan misi Gereja Katolik. Duc in altum. Bertolaklah ke tempat yang dalam. Tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.
Untuk mendapat tangkapan ikan yang banyak, harus bertolak dan menjala di perairan dalam. Walau itu dengan risiko yang lebih besar. Semisal terpaan badai lebih besar. Hantaman gelombang lebih kuat.
Menjadi "penjala manusia" juga begitu. Simon Petrus dan murid-murid Yesus yang lainnya harus pergi ke tempat-tempat jauh yang belum mereka kenal. Di situ mereka harus menghadapi risiko penolakan, permusuhan, bahkan pembunuhan.
Misionaris Gereja Katolik, para penerus Simon Petrus dan kawan-kawan, juga begitu. Mereka harus berlayar ke tempat-tempat yang jauh, menemui komunitas- komunitas yang tak dikenal, lalu mengabarkan Injil di situ. Bayarannya mungkin nyawa. Tapi itu bukan alasan untuk mundur.
Misionaris Kapusin (OFMCap) juga seperti itu. Pertama kali, tahun 1905, misionaris ordo ini berkarya di Singkawang, pedalaman Kalimantan Barat. Dari situ, pada 1911 wilayah karya misi meluas ke pedalaman Pulau Sumatera.
Di Sumatera, Padang dipilih sebagai tempat kedudukan Prefektur Apostolik, yuridiksi misioner pra-keuskupan. Mgr. Liberatus Cluts, OFMCap waktu itu ditunjuk sebagai Prefek Apostolik (1911-1921). Wilayah misinya meliputi Padang (Pantai Barat, Tapanuli, Lampung), Tanjung Sakti (Bengkulu), Kutaraja (Aceh), Medan (Pantai Timur), dan Sungai Selan (Bangka, Riau, Palembang, Jambi).
Penerus Mgr. Cluts adalah Mgr. Matthias Brans, OFMCap. Dia diangkat menjadi Prefek Apostolik (23 April 1921), lalu menjadi Vikaris Apostolik Padang (18 Juli 1932). Setengah tahun kemudian dia diangkat menjadi Uskup Padang yang pertama (5 Februari 1933). Kelak, tahun 1941, Mgr. Brans pindah tahta keuskupan ke Medan. Masa jabatannya berakhir tahun 1955.
Mgr. Brans itulah yang merintis karya misioner Katolik di pedalaman Tanah Batak. Dialah yang mengutus Pastor Sybrandus van Rossum, OFMCap ke Balige, tepat ke "jantung" Tanah Batak.
Tentangan dari Pemerintah Kolonial dan Zending
Masuk ke pedalaman Tanah Batak itu bukan hal mudah bagi misionaris Kapusin. Pemerintah Kolonial Belanda awalnya tak memberi izin Gereja Katolik masuk ke Tapanuli. Sebab ada peraturan yang melarang zending Protestan dan misi Katolik berkarya di satu wilayah yang sama.
Tanah Batak waktu itu sudah menjadi lahan evangelisasi zending RMG di bawah pimpinan Pendeta L.I. Nommensen. Pemerintah Hindia Belanda tak ingin timbul konflik antara zending Protestan dan misi Katolik di sana.
Tambahan pemerintah kolonial punya semacam utang budi kepada zending. Zendinglah, atau Pendeta Nommensen, yang mengundang tentara Belanda menaklukkan Tanah Batak . Semasa Perang Batak (1878-1907), pihak zending termasuk Nommensen sendiri menjadi "penunjuk jalan" bagi tentara Belanda.
Peristiwa itu mengikuti skenario "Injil di depan, bedil di belakang". Kampung-kampung yang warganya mau dikristenkan, selamat. Sedangkan kampung-kampung yang warganya tak mau dikristenkan, dan itu berarti pengikut setia Sisingamangaraja XII, dibumi-hanguskan tentara Belanda. [2]
Pihak zending RMG sendiri juga resisten. Sebab ada cita-cita RMG untuk menjadikan Tanah Batak sebagai wilayah eksklusif Gereja Protestan Lutheran. Kedatangan misi Katolik dinilai akan membuyarkan cita-cita itu.
Tapi Mgr. Brans pantang menyerah. Dia berargumen bahwa peraturan kolonial yang melarang zending dan misi di satu daerah yang sama tidaklah adil. Sebab dalam kasus Tanah Batak, masih banyak orang Batak belum beragama samawi. Tambahan lagi, pada tahun 1922 sejumlah tokoh Batak telah menyurati Mgr. Brans, mohon agar misi Katolik berkarya Tanah Batak.
Setelah melalui perjuangan penuh liku, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda luluh. Pada 12 Agustus 1933 Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberi izin bagi Misionaris Kapusin berkarya di Tapanuli atau Tanah Batak. Lalu pada 8 Februari 1934 keluar izin bagi pastor untuk menetap di Balige.
Balige, jantung Tanah Batak, sengaja dipilih sebagai pos misi Katolik karena lokasinya yang sangat strategis. Berkat pembangunan Terusan Wilhelmina (Tano Ponggol) di Pangururan (1907-1913) dan jalan raya ruas Tarutung-Parapat tahun 1917-1920, Balige telah menjadi kota yang paling terbuka ke delapan penjuru angin Tanah Batak.
Secara sosial-ekonomi, Balige pada paruh pertama 1930-an sudah menjadi kota termaju di Tanah Batak. Zending sudah mendirikan rumah sakit HKBP (1918) di sana. Sekolah-sekolah zending juga berdiri melengkapi sekolah-sekolah pemerintah. Kota ini juga dikembangkan Belanda menjadi pusat industri tenun terbesar di Sumatera. Pasar Balige terbilang paling ramai waktu itu di lingkar Danau Toba. Pelabuhannya ramai oleh perahu-perahu rakyat dari kampung-kampung di Samosir dan sisi luar danau.
Mukjizat 'Penjala Ikan' di Danau Toba
Dalam suka-cita menyambut izin tersebut, Mgr. Brans langsung menugaskan Pastor Sybrandus van Rossum, OFMCap (31 tahun) untuk karya misioner ke Tanah Batak. Pastor Rossum, waktu itu masih bertugas di Medan. Dia segera berkunjung ke Balige pada akhir September sampai awal November 1934 untuk penjajagan. Di sana dia mengontrak sebuah rumah di tepi pantai Danau Toba untuk tempat tinggalnya.
Pastor Rossum baru benar-benar datang ke Balige, untuk selanjutnya menetap di situ, pada 5 Desember 1934. Dia tiba menjelang senja, bertepatan hujan lebat mengguyur Balige.
Sambil menunggu hujan reda, di dalam rumah Pastor Rossum merenungkan misinya. Dia sudah membaca surat perutusan dari Mgr. Brans. Terngiang kata-kata uskupnya itu.
“Pastor Sybrandus, berbuatlah yang terbaik. Saya tugaskan engkau mentobatkan semua orang Batak di Toba. Carilah kontak dengan mereka di mana dan kapan engkau bisa. Carilah hubungan pada pagi hari, siang hari dan malam. Carilah hubungan seperlunya pada tengah malam. Pergilah senantiasa akan tetapi tidak boleh makan banyak biaya. Salam, Uskupmu."
Mentobatkan semua orang Batak? Mission Imposible bagi Pastor Rossum. Zending Protestan sudah menginjili Tanah Batak selama 70 tahun sebelum dia tiba. Gereja HKBP sudah berdiri di berbagai penjuru. Di Balige sendiri sejak 1881 sudah berdiri satu gereja HKBP yang megah.
Nommensen sendiri sejak 1881 sudah berdiam di Sigumpar, sebelah utara Balige. Mendirikan gereja HKBP di sana. Dari situ dia mengintensifkan kristenisasi di Toba Holbung, Uluan, dan Samosir.
Ketika hujan reda, Pastor Rossum beranjak ke luar rumah dan berjalan-jalan di tepi danau. Di keremangan malam, di bibir pantai, dia melihat dua orang nelayan sedang menata jala di atas sampannya.
"Horas be ma hita," Pastor Rossum menyapa kedua nelayan itu. Sebelum datang ke Balige, dia sudah belajar bahasa Batak sampai cukup fasih.
Kedua nelayan itu kaget dan langsung lari menjauh. Mereka mengira Pastor Rossum hantu danau. Hantu bermuka putih dengan jubah gelap.
Tapi tak lama kemudian mereka berbalik dan menghampiri Pastor Rossum. Mereka berkenalan. Seorang di antaranya penganut Protestan, seorang lagi penganut agama asli Batak. Setelah tahu Rossum adalah seorang pastor Katolik, mereka langsung bertanya apa itu Katolik. Apa bedanya dengan Protestan. Lalu apakah Katolik akan membangun sekolah untuk mereka seperti di Medan?
Itulah kontak bermakna pertama Pastor Rossum dengan orang Batak di Balige. Bukan dia yang menemui, tapi orang Batak itulah yang menjumpainya.
Besok paginya, sejumlah pemuda sekitar rumah membantu Pastor Rossum membenahi barang-barang bawaannya. Saat membuka peti milik pastor, mereka sangat terkejut melihat tumpukan Bibel (Bahasa Batak) di dalamnya. Tadinya mereka berpikir isinya adalah patung-patung sesembahan.
Mereka menyangka demikian karena telah diperingatkan guru-guru zending sebelumnya. Diberitakan secara lisan dan tulisan bahwa akan datang seorang pastor Katolik ke Balige. Umat HKBP diwanti-wanti jangan mau dipengaruhi. Sebab Katolik itu sesat: tidak membaca Bibel, menyembah Maria Ibu Yesus, menyembah patung-patung, pastornya dilarang kawin, dan tunduk pada seorang paus di Roma.
Malam harinya, dua orang nelayan yang berkenalan malam kemarin datang lagi. Kali ini mereka membawa sejumlah teman. Juga Bibel. Mereka siap memeriksa agama Katolik, apakah sesuai atau bertentangan dengan Bibel.
Itu menjadi malam yang panjang tapi menghasilkan benih-benih penerimaan orang Batak kepada Katolik. Pastor Rossum dengan sabar, ramah, dan rendah hati menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kritis dari tetamunya. Hasilnya, jika sebelumnya mereka datang dengan wajah kaku yang curiga, maka saat pulang wajah mereka berubah lega dan gembira.
Bukan itu saja. Selepas kelompok itu pulang, datang lagi kelompok lain di malam itu. Mereka mengajukan pertanyaan serupa. Apa itu Katolik? Apakah Katolik akan membuka sekolah bagus seperti di Medan?
Pastor Rossum sangat takjub akan penyelenggaraan Tuhan pada malam itu. Bukan dia yang pergi mengunjungi orang-orang Batak. Tapi orang-orang Batak itu yang datang menemuinya. Pastor Rossum seperti lampu malam di tengah danau. Orang-orang Batak itu ibarat ikan-ikan yang mendekat ke sumber terang.
Dalam buku hariannya, Pastor Rossum mencatat peristiwa malam itu sebagai "mukjizat penjala ikan". Pada malam itu dia telah mengalami mukjizat sebagai "penjala manusia". Malam itu juga dia mendapat nama baru dari orang Batak: Pastor Parosum. Itu tanda penerimaan. [3]
Pastor Rossum telah memulai hari-hari pertama karya misinya di Tanah Batak dengan mukjizat. Maka selanjutnya juga adalah mukjizat. Jauh dari kekhawatirannya akan penolakan orang Batak, hari-hari Pastor Rossum justru disibukkan oleh kunjungan utusan-utusan dari berbagai desa lingkar Danau Toba dan Samosir. Posisi Balige sebagai pusat sosial-ekonomi Tanah Batak telah memudahkan penyebaran berita kehadiran seorang pastor Katolik bernama Parosum ke segala penjuru.
Kekhawatiran pihak zending RMG terbukti juga. Bukan hanya para penganut agama asli Batak yang datang menemui Pastor Rossum. Tapi ada juga guru zending dan umat HKBP yang mengundang dia untuk mengajarkan iman Katolik kepada mereka.
Keramahan, kesederhanaan, kemurahan hati, dan ketulusan Pastor Rossum berbaur masyarakat dari segala lapisan dan golongan telah memikat orang-orang Batak. Terlebih Pastor Rossum ikut melebur ke dalam adat dan budaya Batak setempat. Kefasihannya berbahasa Batak, kesediaannya mengenakan ulos, dan kehadirannya dalam acara-acara adat adalah hal-hal yang membuat orang Batak jatuh hati kepada Gereja Katolik.
Dua pertanyaan pokok yang selalu ditujukan kepada Pastor Rossum adalah "Apa itu Katolik?" dan "Apakah Katolik akan membangun sekolah bagus seperti di Medan?"
Terbukanya Tanah Batak terhadap dunia luar, sebagai dampak kolonialisme, telah membangun kesadaran baru tentang hamajuon, kemajuan pada orang-orang Batak di Toba.
Mereka sadar bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemajuan. Acuannya adalah kota Medan. Sekolah-sekolah bagus di sana, termasuk sekolah Katolik, telah mengantar lulusannya meraih pekerjaan yang bagus di pemerintahan dan perusahaan. Sekolah adalah solusi keterbelakangan.
Itu sebabnya orang-orang Batak selalu berharap agar Pastor Rossum mendirikan sekolah Katolik di Tanah Batak. Pastor Rossum paham jalan pikiran orang-orang Batak dan tak hendak mengecewakan mereka.
Pada 1 Januari 1935, Pastor Rossum membeli sebidang tanah bekas gedung bioskop di tepi jalan di Pardede Onan. Dia lalu mendirikan sebuah gereja di situ. Gereja itu dinamai Gereja Katolik Santo Yosef. Itulah gereja Katolik pertama di Tanah Batak (diresmikan 1936).
Di belakang gereja itu, Pastor Rossum kemudian membangun gedung sederhana. Itulah gedung sekolah Katolik pertama di Tanah Batak.
Pola semacam itu diterapkan Pastor Rossum di berbagai tempat di Tanah Batak. Di mana warganya menerima ajaran Katolik, maka di situ dibangun gereja sederhana. Jika memungkinkan, di belakangnya dibangun petak sekolah. Jika tidak, maka bangunan gereja akan merangkap fungsi sekolah.
Di Tanah Batak, Pastor Rossum seakan menabur benih di lahan subur. Perkembangan jumlah orang Batak yang masuk Katolik sangat pesat. Orang Batak pertama yang menjadi Katolik dibaptis pada 12 januari 1935 di Sigompulon Pahae. Lalu tanggal 10 Februari 1935 dibaptis lagi dua orang: seorang di Hutabarat Tarutung dan seorang di Lumbanpea Balige. Lalu pada 16 Mei 1935 dibaptis lagi 26 orang di Lumbanpea Tambunan Balige.
Hanya dalam tempo setengah tahun, Pastor Rossum sudah membaptis 600 orang Batak menjadi Katolik, sebagian besar anak-anak. Sementara itu tercatat sekitar 3,200 orang dewasa menjadi Katekumen, calon baptis. [4]
Duc in altum. ”Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Pastor Rossum telah bertolak ke "tempat yang dalam" (Tanah Batak) dan "menebar jala" (karya misi) untuk "menangkap ikan" (membaptis umat).
Dalam kisah mukjizat penjala ikan (Simon dan teman-temannya) disebutkan: "Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. (Lukas 5: 6-7)
Pastor Rossum juga mengalami hal yang serupa. Permohonan orang Batak untuk dibaptis mengalir deras dari delapan penjuru Tanah Batak. Pada tahun 1936 tercatat sudah berdiri 37 gereja Katolik dan sejumlah sekolah di sana. "Jala mulai koyak" dan Pastor Rossum kewalahan mengangkatnya. Maka sejumlah pastor berkebangsaan Belanda kemudian diutus untuk mendukung karya misi yang telah dirintis Pastor Rossum di Tanah Batak.
Pastor Sybrandus van Rossum "Gembala Betlehem"
"Tuaian memang banyak tapi pekerja sedikit" (Lukas 10: 2)
Dalam konteks ayat itulah kehadiran Misi Katolik dan Zending Protestan di tanah Batak sebaiknya dimengerti. Tangan-tangan Tuhan Yesus Kristus menjamah umat-Nya di Tanah Batak lewat Pendeta L.I. Nomensen dan Pastor Sybrandus van Rossum. Nommensen masuk 70 tahun lebih dulu dari selatan, Tarutung di Lembah Silindung. Pastor Rossum menyusul masuk dari utara, Balige di Lembah Toba. Keduanya bertemu di Danau Toba.
Memang ada saja gesekan-gesekan terjadi antara misi dan zending. Itu lumrah. Pada akhirnya tujuan keduanya sama. Penyebaran Kabar Gembira, iman Kristiani, kepada orang Batak. Kabar Gembira, kemajuan rohani, yang juga diikuti dengan kemajuan sosial-ekonomi pada masyarakat Batak.
Nommensen dan Rossum sama berjasa dalam pembangunan rohaniah dan sosial-ekonomi orang Batak. Nommensen telah dikenang sebagai "Apostel Batak". Lalu dengan sebutan apakah Pastor Rossum sebaiknya dikenang?
Gereja Katolik Santo Yosef Balige, gereja Katolik pertama di Tanah Batak itu telah dijuluki sebagai "Ruma Betlehem". Rumah kelahiran Gereja Katolik di Tanah Batak. Seperti para gembala di padang menjadi saksi pertama kelahiran Yesus di Betlehem, tidakkah layak untuk mengenang Pastor Sybrandus van Rossum, OFMCap sebagai "Gembala Betlehem-Batak"? (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] P. Gentilis Aster, OFM Cap., Mukjizat di Tanah Batak: Awal Misi Katolik di Tanah Batak (Penerjemah: P. Leo Joosten, OFM Cap.), Kabanjahe: Ordo Kapusin, 2008.
[2] Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.
[3] Fr. Arie Saragih, "Pastor Katolik Ini Mengalami Mukjizat di Lokasi Balap F1H2O Danau Toba Balige", Kanal YouTube Yesus Engkau Andalanku, 26 Februari 2023.
[4] "Sejarah Misi Katolik di Tanah Batak - P. Sybrandus van Rossum dkk.", Kanal YouTube Bikap St. Fransiskus Jalmed, 19 November 2021.