Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warok dan Kyai: Dwitunggal Patron Karakter Sosial Jawa Ponorogo?

26 September 2023   15:03 Diperbarui: 27 September 2023   10:17 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan Seni Reog Ponorogo (Foto: SHUTTERSTOCK/oki cahyo nugroho via kompas.com)

Reog adalah Ponorogo dan Ponorogo adalah reog.

Tidak ada komunitas Jawa dengan karakter budaya yang begitu distingtif seperti orang Jawa Ponorogo.  Budaya reog telah memberi warna budaya khas dan kuat pada masyarakat Ponorogo.

Mungkin hanya orang Jawa Madura yang bisa menyamai kekhasan itu dengan budaya caroknya.  Tapi hukum positif kemudian menetapkan carok sebagai tindakan kriminal.  Akibatnya budaya khas Madura itu mengalami pemudaran dari masa  ke masa.

Beda halnya dengan reog Ponorogo.  Budaya reog justru semakin berkembang di sana. Bahkan menjadi identitas kota dan kabupaten. Ponorogo mengidentifikasi diri sebagai "Kota Reog".

Tapi pada saat bersamaan, kota yang sama juga mengidentifikasi diri sebagai "Kota Santri".  Merujuk pada padatnya populasi pesantren dan santri di kota dan kabupaten itu.

Maka Ponorogo kini adalah "Kota Reog" dan "Kota Santri" sekaligus.  Menandakan terbangunnya harmoni antara budaya (reog) dan agama (Islam) dalam kehidupan masyarakat Ponorogo.

Banyak "kota santri" di Jawa.   Mulai dari Serang, Sukabumi, Cianjur,  Cirebon, Tasikmalaya, Pekalongan, Kendal, Kudus, Kebumen, Tuban, Jombang, Kediri, Situbondo, Pasuruan, Jember,  Gresik, dan Ponorogo sendiri. Tapi hanya Ponorogo yang menyandingkan "santri" (agama) dan "reog" (budaya) sebagai identitas sosialnya. 

Fakta itu menuntun pada suatu hipotesis bahwa padepokan (budaya reog) dan pesantren (agama Islam) telah bersinergi membentuk karakter khas orang Jawa Ponorogo.  Ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

Padepokan dan Pesantren

Sebelum kyai dan pesantrennya hadir di Ponorogo, warok dan padepokan reognya sudah eksis di sana.

Cikal-bakal padepokan reog terbentuk pada era Kerajaan Majapahit di abad ke-15. Menurut satu versi sejarah lokal, seni reog dikreasi oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam, seorang pujangga Majapahit yang menyingkir ke Ponorogo.

Dikisahkan Ki Ageng Kutu kecewa berat kepad Bhre Kertabumi  atau Raja Brawijaya V, raja Majapahit (1468-1474). Tersebab raja itu dinilainya korup. Juga terlalu dipengaruhi oleh istri-istrinya yaitu Amaravati (Putri Campa) dan Tan Eng Kian (Putri Cina).

Di Ponorogo Ki Ageng Kutu mendirikan sebuah padepokan. Di situ dia melatih sejumlah cantrik, anak-anak muda, dengan ilmu bela diri, kekebalan, dan kesempurnaan diri (kanuragan). Harapannya anak-anak muda itu dapat menjadi bibit kebangkitan Majapahit kembali. 

Sejatinya padepokan Ki Ageng Kutu itu adalah benih perlawanan kepada Majapahit. Tapi Ki Ageng Kutu sadar jumlah cantriknya terlalu kecil untuk bisa melawan pasukan kerajaan.

Karena itu dia memilih perlawanan halus, "sindirian", dengan mementaskan seni reog di ruang publik. Ini adalah pemanggungan praktek ilmu kanuragan dalam perang melawan kelaliman diiringi musik tradisi. Warok sebagai protagonis melawan Reog sebagai antagonis, kuasa lalim (simbol topeng macan) yang dikendalikan Cina (simbol bulu merak). 

Menurut perkisahan, Warok reog pertama adalah Suromenggolo. Dia adalah putra pertama Ki Ageng Kutu sendiri. 

Pesantren diperkirakan hadir di tengah masyarakat Ponorogo pada pertengahan abad ke-18.  Diasumsikan Masjid Tegalsari yang didirikan Kyai Ageng Muhammad Bashari (Besari) tahun 1742 adalah embrio pesantren di sana. 

Di masjid itu sejumlah tokoh Nusantara pernah menjadi "santri pertama" yang menimba ilmu agama.  Antara lain ada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono II, Pujangga Keraton Raden Ngabehi Ronggowarsito, dan Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. 

Dari masjid itu pula, atas prakarsa para keturunan Kyai Besari, lahir Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang terkenal se-Indonesia.

Cantrik dan Santri

Murid padepokan lazim disebut cantrik sedangkan murid pesantren lazim disebut santri.  Cantrik berguru (nyantrik) pada warok, pimpinan padepokan. Sedangkan santri belajar (nyantri) pada kyai, pimpinan pondok pesantren.

Dalam prakteknya, terutama di masa kini, cantrik padepokan reog itu sekaligus merupakan anggota kelompok kesenian reog. Dalam kelompok itu mereka berguru kepada warok, pimpinan reog.  

Para cantrik itu tidak hanya belajar kesenian reog, dalam berarti belajar musik, koreografi tari, dan pakem cerita reognya. Tapi juga, dan ini yang terpenting, belajar tentang ilmu hidup orang Jawa.  Dengan ilmu hidup dimaksudkan bukan saja ilmu kanuragan. Tapi juga nilai-nilai kehidupan orang Jawa atau nilai-nilai kejawen.

Warok, sesuai asal-usul katanya yaitu wewarah (pengajaran), memiliki legitimasi dan wibawa pengajaran nilai-nilai hidup kejawen. Dia disebut wong kang sugih wewarah, mampu memberi petunjuk kepada orang lain tentang hidup yang baik.

Dalam masyarakat Ponorogo, warok itu tergolong tokoh karismatis.  Dia memiliki sifat-sifat kasatria, budi pekerti luhur, dan wibawa tinggi. Juga punya peran penting di bidang budaya, sosial, dan politik lokal.

Cantrik dengan demikian belajar ilmu hidup kejawen kepada warok.  Baik dia itu cantrik gemblak, anak laki yang melayani warok, ataupun cantrik biasa, anggota kelompok seni reog.

Di pesantren para  santri belajar ilmu agama Islam kepada kyai, tokoh agama pemimpin pesantren yang ilmu agamanya tinggi dan peri hidupnya saleh.  Dia merupakan patron atau panutan sosial dalam hidup keagamaan, tapi juga di bidang lain seperti ekonomi dan politik.

Ajaran agama Islam itu bukan semata ilmu surga, tapi juga ilmu hidup di bumi.  Karena itu santri tidak melulu mempelajari isi Kitab Kuning, tapi juga ilmu-pengetahuan modern.  Karena itu santri lulusan pesantren itu ilmunya komplit, agama dan sains.

Cantrik dan santri pada awalnya mungkin adalah kategori sosial yang distingtif, walau tidak bertentangan secara diametral.  Dalam perkembangan dari masa ke masa orang Ponorogo bisa saja menjadi cantrik tapi juga santri. Sebab pada tahun 1950-an misalnya, untuk mencegah reog dijadikan PKI sebagai alat propaganda komunis lewat LEKRA, para tokoh Islam Ponorogo mendirikan organisasi KRIS (Kesenian reog Islam) dan CAKRA (Cabang Kesenian Reog Islam).

Seratus Persen Jawa, Seratus Persen Islam?

Sekurangnya sejak abad ke-18, pembentukan jiwa dan karakter orang Jawa Ponorogo merujuk pada dua patron (panutan) sosial dalam masyarakat.  Warok di padepokan reog sebagai panutan sosial-budaya (juga politik) dan kyai di pesantren Islam sebagai panutan agama dan sosial. Keduanya  merupakan dwitunggal patron karakter sosial Ponorogo.

Kendati demikian  lebih sering dikatakan reog adalah karakter dan jiwa orang Ponorogo.  Sehingga Ponorogo sendiri mengidentifikasi diri sebagai "Kota Reog". Patung reog berdiri di berbagai penjuru kota/kabupaten Ponorogo. Diperkirakan di tiap desa/kelurahan -- ada 307 desa/kelurahan (BPS, 2020) -- di Ponorogo terdapat minimal satu kelompok reog, sehingga terdapat sekitar 300 kelompok reog di sana.

Padahal pondok pesantren sendiri tak sedikit jumlahnya di Ponorogo.  Pada tahun 2022 diketahui terdapat sedikitnya 112 pesantren di kabupaten/kota Ponorogo.  Itu berarti terdapat hampir 1 unit pesantren per 3 desa/kelurahan. Tak heran bila Ponorogo disebut juga "kabupaten seratus pesantren" atau "Kota Santri". 

Fakta kehadiran atau eksistensi padepokan reog dan pesantren secara berdamingan di Ponorogo menimbulkan dugaan atau hipotesis bahwa karakter sosial orang Jawa Ponorogo dibentuk oleh nilai-nilai kejawen Jawa dan nilai-nilai agama Islam. Dua lembaga itu hadir dalam harmoni, tanpa konflik yang saling meniadakan.  Keduanya bersinergi atau berkolaborasi membentuk karakter orang Jawa Ponorogo yang unik.

Hasil sinergi dua lembaga itu, secara hipotetis juga mungkin bisa dikatakan sebagai karakter sosial "100 persen Jawa , 100 persen Islam".  Atau, mungkin dalam satu rumusan yang agak menyederhanakan, "jiwa reog iman Islam".  Ini suatu karakter sosial yang tak terbentuk pada, katakanlah, orang Jawa Surakarta atau orang Jawa Yogyakarta.

Jika benar demikian adanya maka Ponorogo mungkin merupakan model pembentukan karakter sosial yang berhasil memadu-serasikan nilai-nilai budaya lokal (reog) dan nilai-nilai agama universal (Islam).  Ini menjadi sangat menarik di tengah adanya kecenderungan untuk mempertentangkan budaya dan agama atau bahkan mensubordinasikan budaya terhadap agama.

Namun demikian simpulan-simpulan tersebut di atas masih bersifat hipotesis. Suatu riset sosial yang mendalam sudah pasti diperlukan untuk memastikan kebenaran (atau kesalahan) hipotesis-hipotesis tersebut.  Tulisan sederhana ini boleh dianggap sebagai pengantar untuk penyusunan suatu proposal riset saintifik. Semoga ada yang tertarik. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun