Kebakaran hutan bukan hal asing bagiku. Semasa kanak-kanak di kampung Panatapan (pseudonim) Toba tahun 1960-an, aku beberapa kali menyaksikan kebakaran hutan pinus saat kemarau. Kadang di sebelah timur kampung, di lereng Gunung Simanuk-manuk. Lain waktu di hutan pinus sebelah barat kampung.
Tak pernah terungkap siapa pembakarnya atau mengapa terbakar. Desas-desus yang beredar, ada orang sembarangan buang puntung rokok. Â Lalu bisik-bisik, "Kebakaran itu disengaja. Demi proyek."
Memang betul, proyek reboisasi datang seusai kebakaran. Pemborong merekrut tenaga upahan untuk gali lubang tanam. Bibit pinus baru ditanami lagi. Pemborong dapat untung, warga desa dapat uang. Semua senang.
Selanjutnya, mantri kehutanan sesekali inspeksi di tepi hutan. Sembari mengingatkan warga kampung berhati-hati. Jangan bakar-bakar sembarangan. Jangan buang puntung rokok seenaknya. Terutama saat musim kemarau.
Para orangtua juga mengingatkan anak-anaknya tentang hal itu. Guru-guru di sekolah juga mengajarkan hal serupa.
Tapi kemudian orang lupa. Masing-masing sibuk dengan urusan masing-masing. Sampai hutan pinus terbakar lagi.
Tahun 1996 aku berkunjung ke Tongging dan Paropo, di pantai utara Danau Toba. Sebelum turun ke Tongging, aku lihat lereng Gunung Sipiso-piso di sisi kiri jalan berwarna hijau pupus oleh tunas ilalang yang baru kebakaran. Di lembah Paropo, aku melihat dinding lembah tertutup ilalang dan beberapa tegakan pohon pinus. "Sering terbakar," kata orang situ, saat kutanyakan soal vegetasi yang rada aneh itu.
Demikianlah siklus kebodohan itu terjadi di Toba. Tak ada ujung-pangkalnya. Tak jelas juga siapa yang telah bertindak  bodoh dan kebodohan macam apa yang telah dilakukannya. Tapi jelas bahwa kebakaran hutan adalah buah dari kebodohan.
***
Bromo itu secara geografis terpisah jauh dari Toba. Dia di penggalan timur Pulau Jawa. Sedangkan Toba di penggalan utara Sumatra.
Waktu di Toba dulu, aku tahu Bromo dari buku pelajaran ilmu bumi. Kemudian dari gambar-gambar kalender di dinding rumah, kedai, atau toko.Â
"Suatu saat aku akan ke sana." Itu cita-citaku tahun 1970-an.
Tahun 2015 aku benar-benar pergi ke sana bersama keluarga. Naik mobil kijang tengah malam dari Malang via Probolinggo sampai Sukapura. Dilanjut naik hardtop merah turun ke lautan pasir di kawah Bromo, lalu naik ke bibir kawah di Pananjakan. Tiba subuh di situ, lalu cari posisi enak untuk menikmati mentari terbit.
Selepas fajar menyingsing, kami turun lagi ke lautan pasir. Kemudian menghitung anak tangga naik ke puncak kepundan Bromo yang masih aktif menguarkan asap. Kami bersusah-payah naik ke atas, hanya untuk menikmati asap. Sambil berpikir, apa jadinya jika seseorang menggelinding ke bawah sana.
Selebihnya adalah tur ke padang sabana penuh adas. Juga melihat bukit Teletubbies dari kejauhan. Ke Pasir Berbisik kami urung pergi, sebab kurang suka dengan bisik-bisik.
"Luar biasa." Aku takjub. Tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sebuah kaldera yang sebegitu luasnya.Â
Tapi, hei, tunggu sebentar.
Aku tiba-tiba tersadar. Bukankah aku lahir dan tumbuh di sebuah kaldera maha luas? Kaldera Toba, terdiri dari Danau Toba dan Pulau Samosir serta Dataran Uluan di timurnya, serta lembah Toba Holbung di selatan danau.Â
Aku tiap pagi di Panatapan menikmati matahari terbit di balik punggung Gunung Simanuk-manuk. Sorenya menikmati matahari terbenam di ufuk barat, di balik ribuan pucuk pinus di sebelah barat kampung.
Memang tak ada keindahan yang diakui di kampung sendiri. Perlu wawasan wisata alam dan piknik dulu ke kampung seberang. Barulah sadar dan rindu akan keindahan kampung halaman.
Begitulah. Aku ini sejatinya anak kaldera raksasa di Toba yang pada suatu ketika berkunjung ke kaldera kecil di Bromo Jawa Timur.
Pada kunjungan 2015 itu, tak terpikir olehku bahwa kawah Bromo bisa terbakar. Betul dia sumber api yang tak kunjung padam. Tapi dia tak akan membakar diri sendiri. Kecuali meletus hebat seperti kejadian 1974.
Kaldera Toba juga tak membakar diri sendiri. Setidaknya setelah letusan terdahsyat sejagad 74.000 tahun lalu. Letusan yang pada akhirnya menghasilkan air (Danau Toba) dan tanah (Samosir, Uluan, Toba Holbung) yang permai.
***
Kebakaran adalah hasil perbuatan bodoh.
Karena itu hanya orang-orang yang, entah sengaja atau tidak, berbuat bodoh yang mungkin menyebabkan kebakaran hutan, sabana, dan lingkungan lain.
Setidaknya itu yang kupelajari dari peristiwa-peristiwa kebakaran hitan pinus di kampungku dulu. Tindakan bodoh yang berulang, tanpa solusi cerdas.
Aku pikir kini, Toba dan Bromo itu dipertalikan tindakan-tindakan bodoh yang menyebabkan kebakaran hebat.
Cinta membuatmu bodoh. Api asmaranya bisa membakar habis apa saja.Â
Itulah yang terjadi di Sabana Bromo. Flare, simbol cinta yang membara sampai mengepulkan asap ke udara, dari dua sejoli yang pre-wedding, telah membakar 504 ha padang sabana dan hutan di Bromo.
Bayangkan. Itu baru pre-wedding. Kalau sampai wedding dan malam pertama, bisa-bisa kebakaran mencapai puncak Semeru.Â
Cinta membuatmu bodoh. Api cinta bisa membakar apa saja. Dan api di tangan orang yang berlaku bodoh, bisa menghanguskan segalanya. Kecuali dirinya dan kekasihnya. Itu sebabnya orang kasmaran berkata, "Dunia milik kita berdua."
Anehnya, sudah membakar Bromo, kelompok pre-wedding itu mempersalahkan pihak TNBTS, pengelola Bromo, pula. Katanya, pengelola Bromo tak menuntun mereka di sana. Gak dilarang menyalakan flare. Kebakaran, deh. "Bukan salah kami aja, dong." Kira-kira begitu kilahnya.Â
Itu ibaratnya kamu melintas di depan rumah beratap ilalang kering. Kamu jentikkan puntung rokokmu ke atap rumah itu. Sehingga terjadi kebakaran. Ketika dipersalahkan, kamu berdalih, "Lho, pemilik rumah juga salah. Dia gak mengingatkan aku tadi."
Absurd? Ya, absurd. Sekaligus bodoh.
Kebodohan itu sejatinya manusiawi. Tapi mencari berbagai pembenaran untuk membela satu tindakan bodoh adalah kejahatan.
Setiap individu warga Indonesia ini seharusnya sudah mendapat pengajaran soal kelestarian lingkungan hidup. Entah itu secara informal melalui proses ajar sosial dalam keluarga dan komunitasnya. Atau lewat pendidikan formal di sekolah.
Karena itu terlalu aneh kalau ada orang yang tidak berpikir bahwa menyalakan flare di tengah padang sabana kering saat musim kemarau tidak berisiko kebakaran. Karena itu, melakukan tindakan tersebut, tanpa mitigasi berupa misalnya penyediaan tabung pemadam api (fire extinguisher), jelas adalah tindakan bodoh.
Masa sih ada orang berpikir bisa memadamkan kebakaran padang rumput menggunakan enam botol air mineral?
Aku betul-betul heran. Ternyata sejak kebakaran hutan pinus tahun 1960-an di Toba sampai kebakaran sabana dan hutan Bromo tahun 2023 di Bromo, penyebabnya tetap sama. Tindakan bodoh pengunjung dan juga warga.
Kesimpulanku, sepanjang kebodohan tak kunjung padam, maka kita masih akan menyaksikan padang rumput/sabana, perkebunan, areal reboisasi, dan hutan menyala-nyala jadi arang. (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI