Bromo itu secara geografis terpisah jauh dari Toba. Dia di penggalan timur Pulau Jawa. Sedangkan Toba di penggalan utara Sumatra.
Waktu di Toba dulu, aku tahu Bromo dari buku pelajaran ilmu bumi. Kemudian dari gambar-gambar kalender di dinding rumah, kedai, atau toko.Â
"Suatu saat aku akan ke sana." Itu cita-citaku tahun 1970-an.
Tahun 2015 aku benar-benar pergi ke sana bersama keluarga. Naik mobil kijang tengah malam dari Malang via Probolinggo sampai Sukapura. Dilanjut naik hardtop merah turun ke lautan pasir di kawah Bromo, lalu naik ke bibir kawah di Pananjakan. Tiba subuh di situ, lalu cari posisi enak untuk menikmati mentari terbit.
Selepas fajar menyingsing, kami turun lagi ke lautan pasir. Kemudian menghitung anak tangga naik ke puncak kepundan Bromo yang masih aktif menguarkan asap. Kami bersusah-payah naik ke atas, hanya untuk menikmati asap. Sambil berpikir, apa jadinya jika seseorang menggelinding ke bawah sana.
Selebihnya adalah tur ke padang sabana penuh adas. Juga melihat bukit Teletubbies dari kejauhan. Ke Pasir Berbisik kami urung pergi, sebab kurang suka dengan bisik-bisik.
"Luar biasa." Aku takjub. Tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sebuah kaldera yang sebegitu luasnya.Â
Tapi, hei, tunggu sebentar.
Aku tiba-tiba tersadar. Bukankah aku lahir dan tumbuh di sebuah kaldera maha luas? Kaldera Toba, terdiri dari Danau Toba dan Pulau Samosir serta Dataran Uluan di timurnya, serta lembah Toba Holbung di selatan danau.Â
Aku tiap pagi di Panatapan menikmati matahari terbit di balik punggung Gunung Simanuk-manuk. Sorenya menikmati matahari terbenam di ufuk barat, di balik ribuan pucuk pinus di sebelah barat kampung.
Memang tak ada keindahan yang diakui di kampung sendiri. Perlu wawasan wisata alam dan piknik dulu ke kampung seberang. Barulah sadar dan rindu akan keindahan kampung halaman.