Prahara Rempang hari-hari ini mengingatkanku pada satu episode serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dikisahkan Babe Sabeni dan keluarganya, termasuk Si Doel anaknya, napak tilas ke kampung asalnya. Tiba di satu titik, mereka menggelar tikar lalu duduk makan bersama. Titik lokasi itu ternyata adalah titik tengah Stadion Utama GBK Senayan.
Itu sebuah humor satir, mengundang tawa getir. Komplek GBK Senayan itu aslinya memang perkampungan etnik Betawi. Saat Presiden Soekarno membangunnya (1960-1962) untuk keperluan Asian Games IV (1962), etnik Betawi pemukim aslinya direlokasi ke kawasan baru, pemukiman Tebet sekarang.
Aku membayangkan, jika pada akhirnya Kawasan Terpadu Rempang Eco City berdiri di atas basis kekuasaan yang kursif, mengusir paksa warga asli, suatu saat kelak mungkin akan ada keluarga etnik Orang Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut yang datang napak tilas ke sana.Â
Tiba di sana mereka lantas menggelar tikar, duduk makan bersama di lapangan parkir pabrik kaca Xin Yi milik pengusaha China. Kepala keluarganya mungkin akan berkata mepada anak-anaknya, "Di sini dulu kakek-nenek buyutmu berumah."
Hal semacam itu, jika terjadi dan mungkin saja terjadi, menunjuk pada sisi kelam penggusuran komunitas asli: tragedi. Menggelikan tapi juga memilukan. Sesuatu yang terasa kentir tetapi sekaligus getir.
Tragedi penggusuran bukanlah hal baru di negeri ini, juga di negeri orang. Semenjak pertumbuhan kota dan industri melahirkan gejala gentrifikasi, penguasaan tanah oleh kelas elite industrialis dan pengembang, tragedi penggusuran telah menjadi keniscayaan. Tak ada pembangunan kota dan industri tanpa penggusuran, kecuali itu cuma di bibir.
Warga Rempang di Kepulauan Riau sana kini sedang menghadapi risiko penggusuran, sebagai konsekuensi gentrifikasi atas tanah pulau itu. Sudah ada ultimatum, tanggal 28 September 2023, tanah Rempang harus clean and clear. Warga harus pindah ke areal relokasi di Pulau Galang. Polisi dan tentara siap mengamankan, kalau perlu memiting warga yang resisten. Yo mesti kalah.
Tapi apakah warga asli Rempang, yaitu Orang Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut yang leluhurnya diperkirakan sudah bermukim di pulau itu sejak awal abad ke-19 (1834), harus digusur? Apakah tidak ada solusi sosio-planologis yang bisa mengakomodir kampung-kampung asli (16 unit) sebagai bagian integral dari Rempang Eco City?
***
Kita samakan persepsi dulu tentang gentrifikasi. Akar katanya gentry (Inggris), tuan tanah luas yang menempati posisi kelas elite aristokrat, persis setingkat di bawah kelas ningrat. Pada posisi itu, gentry lazimnya juga menjadi kelas penguasa (ruling class).