Sekali waktu, seingatku tahun 1975, aku naik kapal danau keliling pulau Samosir. Waktu itu aku tergabung dalam rombongan drama "Yusuf Anak Yakub" dari Seminari Menengah Pematang Siantar. Kami mau berpentas untuk umat Gereja Katolik Pangururan, Samosir.
Rombongan bertolak dari pelabuhan Haranggaol, sebuah desa di sisi utara Danau Toba. Setelah mengarungi Tao Silalahi, lalu menyusuri terusan Tano Ponggol (Wilhelmina), kami tiba di Pangururan.Â
Setelah pementasan dan bermalam di kota itu, esoknya kami meneruskan pelayaran menyusuri sisi barat danau. Mampir di Palipi dan kemudian Onanrunggu. Setelah itu berbelok ke utara menuju Parapat.
Sepanjang jalur pelayaran itu, ada satu pemandangan agroekologis yang kerap kulihat. Sawah, sawah, dan sawah. Mulai dari Haranggaol di sisi utara-luar danau sampai di desa-desa pantai barat Samosir, antara lain Pangururan, Simbolon, Palipi, Nainggolan, dan Onanrunggu. Juga di desa-desa pada sisi barat-luar danau, antara lain Boho, Sihotang, dan Sabulan. Serta desa Lontung di pantai timur Samosir dan Sigapiton di pantai timur-luar danau.
Kemudian hari, kalau tak salah tahun 1996, aku ikut tim kecil survei eceng gondok di Danau Toba. Kembali kunikmati pemandangan sawah di Tongging dan Silalahi, dua desa di penggal utara pantai barat-luar danau. Juga di desa Ambarita, di pantai timur Samosir.
Pengetahuan tentang desa-desa persawahan itu melengkapi pengetahuanku tentang persawahan di desa-desa sepanjang jalan Trans-Sumatera dari Parapat sampai Tarutung. Pada paruh kedua tahun 1970-an aku bersekolah di sebuah SMA di Porsea.Â
Karena kerap bolak-balik ke kampung dekat Parapat di utara, dan kadang ada urusan ke Balige dan Tarutung di selatan, maka aku berkesempatan untuk melihat lebih banyak desa persawahan.Â
Kelak aku tahu areal persawahan yang terentang dari Lumbanlobu sampai Balige, dikenal sebagai Toba Holbung (Lembah Toba), adalah bentang sawah terluas di Tanah Batak. Lainnya yang juga terbilang luas adalah persawahan di Rura (Lembah) Silindung atau Tarutung dan sekitarnya.
Sampai pada titik itu, aku tak punya kesimpulan apapun kecuali bahwa orang Batak Toba adalah masyarakat pesawah. Dalam arti mata pencaharian utamanya pertanian padi sawah.Â
***
Dua buku yang kubaca kemudian hari telah memberi pemahaman baru tentang bentang persawahan di Tanah Batak.
Buku pertama, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983) karya antropolog Clifford Geertz. Dalam buku itu Geertz memperkenalkan pendekatan ekologi budaya Julian H. Steward untuk memahami pola-pola adaptasi ekologi suatu komunitas sosial. Disebutkan budaya suatu komunitas menentukan pola adaptasi ekologisnya.
Berpijak pada pendekatan itu Geertz lalu membedakan dua tipe ekologi budaya Indonesia. Ekologi budaya sawah di Jawa-Bali dan ekologi budaya ladang di Luar Jawa. Dia menyebut Jawa dengan sawahnya sebagai "Indonesia Dalam". Sedangkan Luar Jawa-Bali dengan ladangnya disebut "Indonesia Luar".
Tipologi Geertz itu tak sepenuhnya akurat. Fakta empiris menunjukkan komunitas-komunitas Batak Toba di lingkar Danau Toba hidup dalam ekologi budaya sawah. Persis seperti orang Jawa-Bali di "Indonesia Dalam". Itu artinya komunitas Batak Toba adalah fenomena "Indonesia Dalam" di "Indonesia Luar".
Kelak dari buku kedua, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993) karya sastrawan Sitor Situmorang, aku mendapat pemahaman bahwa orang Batak Toba itu aslinya adalah "komunitas lembah persawahan".
Disebutkan huta, kampung asli, orang Batak Toba selalu berlokasi di lembah-lembah lingkar Danau Toba, baik di garis pantai dalam (Samosir) maupun di garis pantau luar (Sumatera). Di situlah komunitas-komunitas Batak Toba membuka hauma, sawah, sebagai mata pencaharian utama.
Itu terjadi sejak abad XI, semenjak huta pertama Batak yaitu Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusukbuhit. Pola adapsi ekologi serupa yakni hauma diikuti orang-orang Batak Toba yang kemudian menyebar ke lembah-lembah di selatan Sianjurmula-mula.Â
Kelak menjadi huta Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, Tipang, Bakkara, Muara, Meat, Balige, Laguboti, sampai Porsea.Â
Juga diikuti orang-orang Batak yang menyebar ke lembah-lembah di timur Sianjurmula-mula, ke pulau Samosir, yaitu huta Pangururan, Simbolon, Palipi, Urat, Nainggolan, Onanrunggu, dan Lontung. Serta ke lembah Silalahi, Paropo, dan Tongging di sebelah utara.
Pada akhirnya aku tiba pada satu kesimpulan bahwa, seperti orang Jawa, ekologi budaya Batak Toba adalah persawahan. Inti budayanya adalah sawah beririgasi. Artinya nilai budaya dan struktur sosial Batak Toba berpusat pada agroekologi sawah.
***
Terkait nilai budaya, orang Batak Toba memaknai hauma atau sawah sebagai ulos na so ra buruk, kain tak kunjung lapuk.Â
Ulos dalam budaya Batak Toba dimaknai terutama sebagai sipalas tondi, penghangat jiwa. Mangulosi, menyampirkan ulos, ke tubuh seseorang berarti melimpahi jiwanya dengan kehangatan (spritual). Jiwa yang hangat menjadi pangkal kesehatan dan kesejahteraan.
Ulos, kain tenun khas Batak, bisa lapuk. Walau berkah kehangatan jiwa yang dihantar melaluinya tak akan lapuk.Â
Sebaliknya hauma, sawah, adalah ulos yang tak kunjung lapuk. Sebab secara fisik sebidang sawah tak akan lapuk atau membusuk.
Hauma itu adalah sumber "kehangatan jiwa dan raga". Dengan kata lain sumber kehidupan. Atau hauma secara spesifik adalah sumber pangan boras, beras yang memberi energi (kehangatan) bagi jiwa dan raga.
Karena itu juga dalam masyarakat Batak Toba beras dimaknai sebagai si pir ni tondi, penguat jiwa (roh). Jika hula-hula (pemberi istri) datang memberkati boru (penerima istri), maka hula-hula itu akan menaburkan boras si pir ni tondi di atas kepala borunya.
Pewarisan sawah dari orangtua kepada anak dalam masyarakat Batak Toba dengan demikian dimaknai sebagai pemberian ulos na sora buruk, sumber hidup yang kunjung lapuk.Â
Karena menganut sistem patriarkat, warisan sawah turun kepada anak laki-laki. Namun budaya Batak Toba tetap memberi ruang pemberian sebidang sawah kepada anak perempuan. Hal itu disebut hauma pauseang, sebidang sawah tanda kasih sayang. Di situ sawah dimaknai sebagai simbol kasih.
Sedemikian tingginya nilai maknawi sawah bagi orang Batak Toba, sehingga tak lazim orang Batak menjual sawahnya kepada "orang luar". Maksudnya orang di luar dongan tubu, kerabat segaris darah patrilineal.Â
Penjualan sawah semacam itu dipandang negatif. Pertama, hal itu berarti melepas ulos na sora buruk, sumber kemakmuran, kepada orang luar.Â
Kedua, mengingat hauma adalah bagian dari golat marga atau wilayah tanah huta yang dikuasai marga raja (marga pendiri huta), maka penjualan semacam itu bermakna menjual kampung sendiri.
***
Karena sawah merupakan inti budaya orang Batak Toba, maka langgam kehidupannya berpusat pada sawah.
Aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi orang Batak Toba itu mengikuti kalender pertanian sawah. Ritus-ritusnya khas masyarakat pesawah. Dimulai dari ritus penentuan awal musim tanam sampai ritus-ritus panenan.Â
Untuk menentukan awal musim tanam, sampai awal abad ke-20, masih dilakukan ritus batu siungkap-ungkapon. Di Bakkara dulu Raja Sisingamangaraja akan mangungkap, mengangkat batu siungkap-ungkapon itu.Â
Jika di bawahnya ada semut putih, maka boleh tanam padi; jika semut merah, jangan tanam padi; jika kosong, belum saatnya tanam padi.
Di ujung musim tanam ada ritus panen. Ritus terbesar adalah pengucapan syukur dan persembahan kepada Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Besar.Â
Tradisi ini masih dipertahankan penganut Ugamo Malim, agama asli Batak, berupa perayaan Sipahalima. Dalam perayaan itu, melalui gondang bolon Batak, disampaikanlah persembahan (hasil bumi dan ternak) dan puji syukur kepada Mulajadi Nabolon.
Terkait pengelolaan sawah, orang Batak Toba kemudian menciptakan ragam kelembagaan pertanian. Dari banyak kelembagaan, ada tiga yang paling penting.
Pertama, raja bondar. Ini adalah kelembagaan pengairan sawah. Raja Bondar menunjuk pada fungsi pengelolaan sumber air irigasi dan pembagiannya secara adil ke seluruh areal sawah milik warga huta.
Kedua, mamola pinang. Ini suatu kelembagaan penyakapan sawah. Jika ada warga yang luasan sawahnya terlalu sempit, maka dia dimungkinkan mamola pinang kepada pemilik sawah luas. Mamola pinang itu serupa bagi hasil 50 : 50, persis pinang dibelah dua, setelah dikukrangi biaya produksi.
Ketiga, marsiadapari. Ini adalah kelembagaan pertukaran tenaga, yaitu tolong-menolong atau sambatan dalam proses pengolahan sawah mulai dari pencangkulan, penanaman, penyiangan, sampai panenan. Ini adalah cara konsolidasi tenaga kerja untuk menjamin pengelolaan sawah berlangsung secara tepat waktu.
Dengan ekologi budaya sawah, maka sawah menjadi ukuran kemakmuran bagi orang Batak Toba. Orang makmur adalah parhauma na bidang, pemilik sawah luas. Sebaliknya orang miskin adalah parhauma sapartataringan, pemilik sawah seluas pertapakan tungku.
***
Sekarang ini Kawasan Danau Toba sedang dikembangkan menjadi destinasi wisata. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah inti budaya sawah Batak Toba akan disubordinasikan pada pada pariwisata?Â
Orang Batak Toba sejak abad ke-11 tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat petani sawah lembah. Inti budayanya adalah sawah, bukan wisata. Jika sekarang ada pengembangan relung wisata, maka hendaknya itu bukan transformasi dari persawahan ke pariwisata.Â
Pilihan bijak adalah menempatkan sawah dan wisata pada posisi setara. Interaksi antara keduanya lalu didisain sebagai pola sinergi yang saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.
Semoga demikian Horas! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H