Sedemikian tingginya nilai maknawi sawah bagi orang Batak Toba, sehingga tak lazim orang Batak menjual sawahnya kepada "orang luar". Maksudnya orang di luar dongan tubu, kerabat segaris darah patrilineal.Â
Penjualan sawah semacam itu dipandang negatif. Pertama, hal itu berarti melepas ulos na sora buruk, sumber kemakmuran, kepada orang luar.Â
Kedua, mengingat hauma adalah bagian dari golat marga atau wilayah tanah huta yang dikuasai marga raja (marga pendiri huta), maka penjualan semacam itu bermakna menjual kampung sendiri.
***
Karena sawah merupakan inti budaya orang Batak Toba, maka langgam kehidupannya berpusat pada sawah.
Aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi orang Batak Toba itu mengikuti kalender pertanian sawah. Ritus-ritusnya khas masyarakat pesawah. Dimulai dari ritus penentuan awal musim tanam sampai ritus-ritus panenan.Â
Untuk menentukan awal musim tanam, sampai awal abad ke-20, masih dilakukan ritus batu siungkap-ungkapon. Di Bakkara dulu Raja Sisingamangaraja akan mangungkap, mengangkat batu siungkap-ungkapon itu.Â
Jika di bawahnya ada semut putih, maka boleh tanam padi; jika semut merah, jangan tanam padi; jika kosong, belum saatnya tanam padi.
Di ujung musim tanam ada ritus panen. Ritus terbesar adalah pengucapan syukur dan persembahan kepada Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Besar.Â
Tradisi ini masih dipertahankan penganut Ugamo Malim, agama asli Batak, berupa perayaan Sipahalima. Dalam perayaan itu, melalui gondang bolon Batak, disampaikanlah persembahan (hasil bumi dan ternak) dan puji syukur kepada Mulajadi Nabolon.
Terkait pengelolaan sawah, orang Batak Toba kemudian menciptakan ragam kelembagaan pertanian. Dari banyak kelembagaan, ada tiga yang paling penting.