Tadi pagi aku mampir lagi di kios ikan asin milik Umi Emi -- sebut saja begitu namanya. Umi ini pedagang ikan asin senior di Pasar Belakang Gang Sapi Jaksel. Bukan hanya dari segi durasi dagang di pasar, tapi juga dari segi usia. Umi ini sudah lansia. Kutaksir usianya 70-an tahun.Â
Bayangkan, lansia 70-an tahun tiap hari membaui aneka jenis ikan asin di kiosnya. Mulai dari rebon, ikan teri, ikan kapas, ikan gabus, sampai jambal. Tapi Umi tetap sehat walafiat. Mungkin karena menurut Umi semua ikan asin dagangannya adalah ikan segar. Aku tak paham terminologi ikan asin segar itu.
Atau, kemungkinan lain, seperti ikan asin yang awet karena digarami, Umi Emi juga jadi awet karena setiap hari bersaput debu dan uap garam. Nah, jadi lansia asin, mungkin; mungkin, ya.
Aku tadi mampir di kiosnya untuk membeli ikan teri Medan. "Ini kurang bagus. Tapi ini yang paling baik yang bisa aku dapatkan," katanya waktu aku bertanya soal mutu teri Medannya. "Susah dapat teri Medan sekarang," katanya.
"Emang di mana nangkap teri Medannya, Umi," tanyaku iseng.
"Ya, di lautlah."
"Oh, iya." Nenek-nenek juga tahulah. Aku nyaris ngakak. Yah, siapa juga yang bilang ikan teri ditangkap di balong.
Tapi Umi Emi ini, sepanjang yang kutahu, sangat jujur soal ikan dagangannya. "Beli gabus pancingan aja. Lebih enak," sarannya suatu ketika saat aku mau beli ikan asin gabus balong.Â
"Ini jambal biasa. Kalau suka makan jambal roti, jangan beli ini. Kurang enak," katanya lain waktu. Betapa jujurnya. Sampai -sampai Umi melarangku membeli ikan asin jambal dagangannya.Â
Sungguh, aku tak pernah dikecewakan Umi Emi. Berkali-kali aku beli ikan asin di kiosnya, tak pernah gagal rasanya. Selalu asin. Beneran.
Tidak hanya soal mutu ikan asinnya, tapi juga soal harga. Umi selalu memberitahu harga pokok dan harga jual, sehingga ketahuan berapa untungnya. Menurutku, marjin yang diambilnya setimpallah dengan risiko membaui dan menjumputi iksn asin setiap hari. Tak banyak lansia yang mau seperti itu. Apalagi lansia pensiunan PNS atau BUMN.
"Umi penjual asin itu jujur sekali," kataku pada istriku di rumah.
"Ya, iyalah. Lansia gitu."
"Apa hubungannya?"
"Adalah. Udah capek bohong waktu mudanya. Makanya jadi jujur setelah lansia."
Bah! Kurasa itu sindiran untukku. Nyesel banget aku cerita tentang Umi Emi. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H