Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Gondrong ke Gundul: Kisah di Dua Sekolah Beda Gaya Rambut Siswa

8 September 2023   16:13 Diperbarui: 9 September 2023   10:24 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMA Kolese de Britto Yogyakarta boleh berambut gondrong (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono via tribunnews.com)

"Rambut cepak bukan tanda terpelajar, gondrong bukan tanda kurang ajar."

Soal guru gunting rambut siswa yang kepanjangan, bukan hal baru. Itu sudah terjadi sejak 1970-an, menurut pengalamanku. Kira-kira sama tuanya dengan ulah guru dedel jahitan marjin bawah rok siswi yang kependekan. 

Padahal, soal rok siswi kependekan itu, apa buruknya, sih? Kami, para siswa, suka-suka aja, tuh. Para guru pendedel rok itu macam tak pernah muda saja. 

Lupakan soal rok siswi, kembali ke masalah potongan rambut siswa.

Potongan rambut pendek itu sudah menjadi aturan disiplin sekolah bagi siswa dari SD sampai SMA sejak mula. Untuk lelaki, rambut pendek dianggap cermin perilaku sopan dan tertib. Itu perilaku pelajar. Sedangkan rambut panjang dianggap cermin perilaku kasar dan sembarangan. Itu perilaku preman.

Di balik aturan rambut pendek untuk siswa itu, memang ada kepentingan pembedaan antara pelajar dan preman. Pelajar itu cari ilmu dengan laku tertib. Preman cari makan di jalanan dengan laku anti-tertib. 

Tapi apakah potongan rambut siswa harus pendek? Tidak juga. Aku pernah mengalami masa boleh rambut panjang dan, kemudian, masa harus rambut pendek di sekolah. Aku ceritakan di bawah ini, ya.

***

Aku mengalami masa rambut panjang pada paruh pertama 1970-an. Waktu itu aku menjadi siswa SMP Seminari Menengah di Pematang Siantar. Itu sekolah calon pastor Katolik. Semua murid dan gurunya lelaki waktu itu.

Seminari itu tak memberlakukan aturan wajib rambut pendek bagi siswa. Prinsipnya, gak penting apa yang tumbuh di kulit kepalamu, tapi yang tumbuh di dalam kepalamu itulah yang terpenting. Maksudnya pertumbuhan penguasaan sains dan etika pada siswa lebih penting ketimbang urusan gaya potongan rambut.

Lagi pula, "Kami ini pengikut Yesus Sang Guru. Yesus itu gondrong. Ya, kami juga ikut gondrong." Begitu dalih kami waktu itu jika ada orang luar bertanya mengapa gondrong.

Dalih yang tak pernah dikoreksi para pastor pengajar kami di seminari waktu itu. Beberapa dari mereka juga gondrong.

Belakangan hari timbul juga pandangan bahwa rambut gondrong itu ciri orang cerdas dan kreatif. Siswa-siswa seminari memang, setahu aku, waktu itu cerdas-cerdas. Kalau bodoh, biasanya langsung drop-out jadi "eksem" (eks-seminaris).

Puluhan tahun kemudian, saat sudah di Jawa, aku baru tahu kebenaran pandangan itu. Di beberapa SMA Katolik di Jakarta, hanya anak cerdas (IP tinggi) yang boleh gondrong. Jadi kalau ada siswa rambut pendek di sekolah itu, dia pasti bodoh pada semester lalu. 

Boleh rambut gondrong, ya, aku juga ikutan gondronglah di seminari. Dan aku tak sendiri. Kami mayoritas, jika definisi gondrong adalah rambut menutupi kuping. Rambutku sendiri memanjang sampai bawah kuping. Mirip potongan rambut Beatless. Keren, kan?

Bukannya tak ada tukang cukur rambut di seminari waktu itu. Ada kelompok siswa yang ditugaskan untuk itu. Tapi mereka lebih banyak santainya. Atau cuma merapikan rambut gondrong. Yah, kalau bisa gondrong, kenapa pula harus cukur pendek.

Bila ada orang bilang rambut gondrong itu penciri orang gak sopan dan gak tertib, maka kasus seminari mematahkan anggapan itu. Kami anak-anak seminari berambut gondrong terkenal berdisiplin ketat -- walau, tentu saja, ada nakal-nakalnya.

Kami dulu di seminari tinggal di asrama dengan aturan yang ketat. Jadwal kegiatan tiap hari sudah baku, dari bangun pagi sampai bangun lagi esoknya. Telat atau mangkir, hukuman "main golf" -- istilah kami untuk membabat rumput -- sudah menanti. 

Kami bangga gondrong, cerdas, sopan, dan disiplin. Walau ada juga cilakanya.

Begini. Waktu itu kalau kami salah dalam pelajaran, guru boleh menggetok kepala, menampar pipi, menjewer kuping, atau menarik cambang ke atas.

Nah, hukuman terakhir ini sakitnya sampai tepi neraka. Maka cilakalah anak gondrong karena cambangnya gampang ditarik ke atas, hingga pantat terangkat dari bangku.

Lalu, serangan ketombe. Waktu itu kebanyakan dari kami belum kenal shampo. Jadi kami keramas menggunakan sabun mandi. Setiap sore, karena kami mandi cuma sekali sehari. Hasilnya gak optimal. Ketombe mulai meraja-lela. Garuk-garuk kepala menjadi kebiasaan baru. Bukan karena bingung, melainkan gatal.

Maka di seminari jadilah aku anak gondrong, cerdas, sopan, disiplin, dan berketombe. Ketombe itu betul-betul merontokkan nilai-nilai unggul cerdas, sopan, dan disiplin. Pasaran di hadapan cewek-cewek langsung anjlok. Untung aku anak seminari yang memantangkan pacaran. Waktu itu, ya.

***

Lulus SMP Seminari, statusku langsung eksem. Dikeluarkan. Bukan karena ketombe. Tapi karena dinilai gak bakat jadi pastor. Yo, wis, nrimo ae.

Sebagai "hukuman", karena gagal jadi pastor, aku dijebloskan bapakku ke sebuah SMA "kampung" di Porsea, Toba. Hukuman aneh. To be or not to be a pastor itu kan soal dipilih atau tak dipilih Tuhan. Lha, bapakku aja janfankan terpilih jadi pastor, terpangil pun tidak.

Aku masuk SMA itu tanpa ujian. Hebat, kan? Soalnya jumlah pendaftar lebih kecil dari jumlah daya tampung. Karena itu semua dianggap lulus tanpa ujian.

Sekolahku ini sekolah negeri. Salah satu aturan disiplinnya, siswa harus berambut pendek. Definisi rambut pendek, ya, tak melewati kuping.

Kata Pak Wakepsek di pagi hari saat pengumuman penerimaan murid, "Siswa rambutnya harus pendek. Itu tandanya kamu pelajar yang baik, sopan, dan tertib."

Wah, ada tercium bau otoritarianisme di sini. Sekolah negeri sebagai representasi kekuasaan memaksakan ukuran-ukuran sendiri. Tak perduli aspirasi siswa.

Dan cilakalah aku, eksem gondrong berketombe. Aku termasuk siswa yang akan dilarang masuk sekolah jika rambutku tak dipotong pendek. 

Karena definisi rambut panjang adalah lewat kuping, maka aku minta tukang cukur untuk ngetrim rambutku di batas kuping. Sehingga potongan rambutku model spakbor mobil, seakan kupingku semacam roda. 

Tapi akal-akalan semacam itu tak bertahan lama. Guru perazia rambut siswa muncul tanpa disangka, seperti Pak Polantas tiba-tiba nongol di tikungan verboden. Sret sret sret. Rambutku digunting random di atas telinga. Tanpa kompromi.

Habis sudah kebanggaanku. Bekas pengguntingan rambut di kepalaku tampak seperti pitak. Jadi bahan tertawaan para siswi sekelas. Jatuh sudah pasaranku. 

Sore setelah razia rambut gondrong, aku mengamuk. Pergi ke tukang cukur dan minta kepalaku digunduli macam rahib Budha dari biara Shaolin. Srrrt srrrt srrrt. Ketam hilir-mudik di kepalaku.

Besoknya aku pergi ke sekolah mengenakan hem putih kedodoran, tinggalan kakekku. Hasilnya, kembali aku jadi bahan tertawaan di kelas. Kata teman-teman tampilanku mirip jelangkung. Astaga, kirain macam Telly Savalas alias Kojak.

Daripada kena razia, aku dan teman-teman penggemar rambut gondrong terpaksalah pakai model "krukat" (crew cut). Apakah kami menjadi baik dengan rambut pendek? 

Tidak juga. Kami tetap doyan makian jorok, merokok di semak-semak belakang sekolah, makan gorengan lima ngaku dua di kantin, nyontek di kala perlu, godain ibu guru muda cantik lulusan IKIP Medan, dan berkelahi kalau badan terasa pegal-pegal.

Kata guru kami, itu bukan tabiat manusia terpelajar. "Baiklah," kata kami, "itu sebabnya kami belajar di sekolah ini. Kami ingin jadi terpelajar."

***

Menurut pengalamanku tak ada keterkaitan panjang rambut dengan kesopanan dan kedisiplinan siswa. Tidak bisa disimpulkan semakin pendek rambut siswa semakin sopan dan berdisiplin dia. Atau, sebaliknya, semakin panjang rambut siswa semakin kasar dan kacau-balau dia.

Anak-anak di SMP Seminari, sekolahku, dulu terkenal sopan dan disiplin walau berambut gondrong. Waktu di SMA aku dan teman-temanku diwajibkan berambut pendek. Tapi itu tak serta-merta membuat kami menjadi murid yang sopan dan disiplin. 

Potongan rambut itu cuma kemasan. Sama sekali bukan cerminan isi kepala dan hati. Akibatnya kewajiban rambut pendek, dan penegakannya lewat razia, tampak lebih sebagai pelestarian kemunafikan. Tampilan "terpelajar" faktanya "kurang ajar".

Coba perhatikan tampilan para siswa aktivis sosial tawuran. Atau para siswa tukang bully dan tukang peras adik kelas. Rambut mereka pendek-pendek juga, kan?

Jadi menurut hematku, soal rambut para suswa itu gak usalah diurusi sekolah. Hapus saja aturan wajib rambut pendek. Gak ada gunanya untuk para siswa. Toh selulus SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka bebas kok berambut gondrong. Jadi apa gunanya dilarang waktu SMA?

Dalam konteks kebijakan Merdeka Belajar kini, panjang rambut siswa juga bukan indikator profil pelajar Pancasila, bukan? Tak bisa dikatakan siswa berambut pendek atau cepak lebih Pancasilais dibanding siswa berambut gondrong. Kata pepatah lama, jangan menilai buku dari sampulnya.

Lagi pula kebijakan Merdeka Belajar mestinya memerdekakan siswa dalam mengekpresikan diri. Sejauh itu tak melanggar norma sosial, termasuk hukum. Model rambut itu bentuk ekspresi diri yang harus dihargai sebagai bagian dari HAM.

Kendati begitu, mungkin ada baiknya juga jika rambut gondrong itu dijadikan previlese siswa cerdas. Misalnyanya, kalau seorabg siswa mencapai IP minimal 3.6 semester lalu, maka pada semester ini dia mendapat previlese berambut gondrong.

Aturan itu akan membuat previlese rambut gondrong sebagai insentif belajar. Bisa memacu semangat siswa untuk mengejar prestasi akademik. Beberapa sekolah swasta sudah menerapkan aturan semacam itu. Hasilnya baik-baik saja, tuh. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun