"Rambut cepak bukan tanda terpelajar, gondrong bukan tanda kurang ajar."
Soal guru gunting rambut siswa yang kepanjangan, bukan hal baru. Itu sudah terjadi sejak 1970-an, menurut pengalamanku. Kira-kira sama tuanya dengan ulah guru dedel jahitan marjin bawah rok siswi yang kependekan.Â
Padahal, soal rok siswi kependekan itu, apa buruknya, sih? Kami, para siswa, suka-suka aja, tuh. Para guru pendedel rok itu macam tak pernah muda saja.Â
Lupakan soal rok siswi, kembali ke masalah potongan rambut siswa.
Potongan rambut pendek itu sudah menjadi aturan disiplin sekolah bagi siswa dari SD sampai SMA sejak mula. Untuk lelaki, rambut pendek dianggap cermin perilaku sopan dan tertib. Itu perilaku pelajar. Sedangkan rambut panjang dianggap cermin perilaku kasar dan sembarangan. Itu perilaku preman.
Di balik aturan rambut pendek untuk siswa itu, memang ada kepentingan pembedaan antara pelajar dan preman. Pelajar itu cari ilmu dengan laku tertib. Preman cari makan di jalanan dengan laku anti-tertib.Â
Tapi apakah potongan rambut siswa harus pendek? Tidak juga. Aku pernah mengalami masa boleh rambut panjang dan, kemudian, masa harus rambut pendek di sekolah. Aku ceritakan di bawah ini, ya.
***
Aku mengalami masa rambut panjang pada paruh pertama 1970-an. Waktu itu aku menjadi siswa SMP Seminari Menengah di Pematang Siantar. Itu sekolah calon pastor Katolik. Semua murid dan gurunya lelaki waktu itu.
Seminari itu tak memberlakukan aturan wajib rambut pendek bagi siswa. Prinsipnya, gak penting apa yang tumbuh di kulit kepalamu, tapi yang tumbuh di dalam kepalamu itulah yang terpenting. Maksudnya pertumbuhan penguasaan sains dan etika pada siswa lebih penting ketimbang urusan gaya potongan rambut.