Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Gondrong ke Gundul: Kisah di Dua Sekolah Beda Gaya Rambut Siswa

8 September 2023   16:13 Diperbarui: 9 September 2023   10:24 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMA Kolese de Britto Yogyakarta boleh berambut gondrong (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono via tribunnews.com)

Lagi pula, "Kami ini pengikut Yesus Sang Guru. Yesus itu gondrong. Ya, kami juga ikut gondrong." Begitu dalih kami waktu itu jika ada orang luar bertanya mengapa gondrong.

Dalih yang tak pernah dikoreksi para pastor pengajar kami di seminari waktu itu. Beberapa dari mereka juga gondrong.

Belakangan hari timbul juga pandangan bahwa rambut gondrong itu ciri orang cerdas dan kreatif. Siswa-siswa seminari memang, setahu aku, waktu itu cerdas-cerdas. Kalau bodoh, biasanya langsung drop-out jadi "eksem" (eks-seminaris).

Puluhan tahun kemudian, saat sudah di Jawa, aku baru tahu kebenaran pandangan itu. Di beberapa SMA Katolik di Jakarta, hanya anak cerdas (IP tinggi) yang boleh gondrong. Jadi kalau ada siswa rambut pendek di sekolah itu, dia pasti bodoh pada semester lalu. 

Boleh rambut gondrong, ya, aku juga ikutan gondronglah di seminari. Dan aku tak sendiri. Kami mayoritas, jika definisi gondrong adalah rambut menutupi kuping. Rambutku sendiri memanjang sampai bawah kuping. Mirip potongan rambut Beatless. Keren, kan?

Bukannya tak ada tukang cukur rambut di seminari waktu itu. Ada kelompok siswa yang ditugaskan untuk itu. Tapi mereka lebih banyak santainya. Atau cuma merapikan rambut gondrong. Yah, kalau bisa gondrong, kenapa pula harus cukur pendek.

Bila ada orang bilang rambut gondrong itu penciri orang gak sopan dan gak tertib, maka kasus seminari mematahkan anggapan itu. Kami anak-anak seminari berambut gondrong terkenal berdisiplin ketat -- walau, tentu saja, ada nakal-nakalnya.

Kami dulu di seminari tinggal di asrama dengan aturan yang ketat. Jadwal kegiatan tiap hari sudah baku, dari bangun pagi sampai bangun lagi esoknya. Telat atau mangkir, hukuman "main golf" -- istilah kami untuk membabat rumput -- sudah menanti. 

Kami bangga gondrong, cerdas, sopan, dan disiplin. Walau ada juga cilakanya.

Begini. Waktu itu kalau kami salah dalam pelajaran, guru boleh menggetok kepala, menampar pipi, menjewer kuping, atau menarik cambang ke atas.

Nah, hukuman terakhir ini sakitnya sampai tepi neraka. Maka cilakalah anak gondrong karena cambangnya gampang ditarik ke atas, hingga pantat terangkat dari bangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun