Pada akhirnya bisa dikatakan, meniru orang Jawa, "Skripsi ora skripsi sing penting kompetensi." Atau meniru bunyi sebuah iklan minuman botol, "Apapun tugas akhirnya, kompetensi hasilnya."
Tapi implementasi sebuah kebijakan, tentu saja, tak semudah membalik telapak tangan. Perguruan tinggi bukan semacam Bandung Bondowoso yang bisa membangun seribu candi dalam semalam.
Mas Menteri Nadim sudah bilang transformasi skema tugas akhir, sebagai alat ukur kompetensi, ini menjadi tanggungjawab prodi/perguruan tinggi. Jadi titik kritis (critical point) kebijakan transformatif ini ada pada "kapasitas implementasi" (delivery capacity) prodi/perguruan tinggi.
Dan itu jelas bukan pekerjaan mudah.Â
Setidaknya, pertama, perguruan tinggi harus memilah mana saja prodi yang cocok memberlakukan jalur skripsi saja, non-skripsi saja, atau keduanya. Khusus untuk jalur non-skripsi harus ada penetapan bentuk tugas akhir, apakah prototipe/model teknologi, proyek sosial/fisik, atau karya seni.Â
Kedua, lalu harus dirumuskan pula kriteria-kriteria kualitas ilmiah tugas non-skripsi untuk memastikan reliabilitas dan validitas/kredibilitasnya sebagai pengukur kompetensi lulusan. Kriteria-kriteria itu harus memenuhi syarat bobot saintifik yang setara dengan produk skripsi.
Ketiga, pihak prodi/perguruan tinggi harus menyiapkan struktur dan infrastruktur pendukung kelancaran skema non-skripsi. Di garis depan, dosen-dosen harus disiapkan kapasitasnya sebagai pembimbing atau pendamping mahasiswa jalur non-skripsi, semisal pendampingan proyek.Â
Selain itu prodi/perguruan tinggi juga dituntut meningkatkan modal sosial, khususnya jaringan kerjasama dengan ragam organisasi sosial-ekonomi luar kampus. Jaringan ini penting sebagai cantolan mahasiswa melakukan tugas akhir non-skripsi.
Karena pernah menjadi dosen dan pembimbing penulisan skripsi, aku bisa memperkirakan implementasi jalur non-skripsi itu lebih kompleks dibanding skripsi. Beban akademik dosen akan bertambah dalam dan lebar karena, selain membimbing skripsi, dosen juga mungkin harus mendampingi mahasiswa non-skripsi.
Kampus Merdeka, dengan implikasi pemberlakuan jalur kompetensi skripsi (teoretikal) dan non-skripsi (praktikal), dengan demikian akan meningkatkan beban dan tanggung jawab akademik dosen dan perguruan tinggi.Â
Perguruan tinggi harus bisa menjamin bobot ilmiah tinggi pada kompetensi lulusannya, entah itu kompetensi teoretikal ataupun praktikal. Setiap lulusan perguruan tinggi harus mampu mempertanggung-jawabkan hasil tugas akhirnya, entah itu skripsi ataupun non-skripsi, secara ilmiah.